Sabtu, 24 Oktober 2015

Kamis, 22 Oktober 2015

Sejarah Gereja: Charlemagne (Karolus Agung - Carolus Magnus)

 Charlemagne (Karolus Agung -  Carolus Magnus)
(Fr. Poliaman Purba, S.Fil.)

  1. Riwayat Singkat
            Charlemagne (Inggris: Charles the Great, Belanda: Karel de Grote, Jerman: Karl der Grosse, Latin: Carolus Magnus) lahir pada tanggal 2 April tahun 742 di dekat kota Aachen, Eropa bagian Utara.  Charlemagne adalah anak yang tertua dari ibunya yang bernama Bertrade dan ayahnya yang bernama Pepin si Cebol (“Pepin the Short”). Saudaranya yang lebih muda bernama Carloman. Kakeknya bernama Charles Martel, seorang pemuka bangsa Franks, yang pada tahun 732 berhasil memenangkan percobaan kaum Muslim yang berusaha menaklukkan Perancis dalam pertemuran di Tours.
            Hanya sedikit yang diketahui mengenai masa muda Charlemagne. Para sejarawan yakin bahwa Bertrade memberi pengajaran-pengajaran kepada Charles muda. Charles muda belajar membaca bahasa Latin di sekolah biara tetapi dia tidak pernah (bisa) menulis. Selain itu, Charles muda juga menerima pengajaran agama/rohani dari ibunya, Bertrade, dan Abbot Fulrad, seorang teman karib dan orang kepercayaan ayahnya Raja Pepin III. Kelak nanti devosinya kepada Gereja menjadi suatu gerakan yang kuat dan luar biasa dalam hidupnya dan karya-karyanya.
            Eginhard, sekretarisnya, melukiskan Charlemagne sebagai seorang dengan wajah yang ceria dan ramah. Pembawaannya elegan dan tegas. Charlemagne memiliki postur tubuh yang tinggi (sekitar 2 meter lebih) dan berotot dan berambut pirang. Karakter Charlemagne cukup kontradiktif. Pada zaman ketika hukuman atas penaklukan/kekalahan adalah kematian, Charlemagne beberapa kali menyelamatkan nyawa musuh-musuh taklukannya. Namun pada tahun 782 di Verden, saat terjadinya pemberontakan orang-orang Saxon, dia memerintahkan agar memenggal kepala orang-orang Saxon sekitar 4.500 orang. Dia juga memaksa kaum klerus dan bangsawan untuk memperbaiki cara hidup mereka, tetapi di sisi lain dia menceraikan dua dari empat isterinya tanpa alasan. Dia memaksa raja-raja dan para pangeran untuk berlutut di depan kakinya[1].
           
  1. Charlemagne sebagai Raja Franks
            Tahun 751 Pepin dinyatakan sebagai raja bangsa Franks, sehingga mengakhiri kelemahan dinasti Merovingran, mendirikan dinasti baru yang kini disebut Carolingian, sesudah Charlemagne. Tahun 768 Pepin meninggal dunia dan kerajaan bangsa Franks diwariskan kepada kedua puteranya, Charlemagne dan Carloman. Pada umur 26 tahun Charlemagne dengan saudaranya Carloman mewarisi kerajaan Franks. Tetapi pada tahun 771 Carloman mendadak meninggal sehingga pada umur 29 tahun Charlemagne menjadi raja tunggal di kerajaan Franks yang telah menjadi kerajaan terkuat di Eropa.
            Hal yang cukup penting dalam sejarah adalah penaklukan Charlemagne atas Saxony, suatu daerah luas di sebelah utara Jerman. Ini diperlukan tidak kurang dari 18 kali pertempuran; yang pertama tahun 772 dan yang terakhir tahun 804. Faktor-faktor agama sudah barang tentu menjadi penyebab mengapa perang melawan bangsa Saxon begitu ketat dan berdarah. Orang-orang Saxon itu pagan - tak beragama. Charlemagne memaksa mereka memeluk agama Kristen. ”Setiap warga Saxon yang tidak dibabtis dan mencoba untuk menyembunyikan fakta itu dari saudara-saudaranya dan menolak untuk dibabtis harus dihukum mati”[2], demikian peraturan Charlemagne bagi bangsa Saxon. Mereka yang menolak dibabtis atau belakangan balik lagi murtad jadi pagan dijatuhi hukuman mati. Menurut taksiran, tak kurang dari seperempat penduduk Saxon terbunuh dalam proses penaklukan agama secara paksa ini.
            Charlemagne juga melakukan serbuan ke bagian selatan Jerman dan barat daya Perancis, untuk mengukuhkan pengawasannya atas daerah-daerah itu. Untuk mengamankan perbatasan timur kerajaannya, Charlemagne melakukan serentetan penyerbuan terhadap bangsa Avar[3]. Sesudah itu Charlemagne membabat habis seluruh kekuatan Angkatan Bersenjata Avar. Kendati daerah-daerah sebelah timur Saxony dan Bavaria tidak diduduki bangsa Franks, negeri-negeri lain yang mengakui kekuasaan Franks membentang luas mulai Jerman hingga Croatia.
            Charlemagne juga mencoba mengamankan daerahnya di perbatasan bagian selatan. Tahun 778 dia pimpin penyerbuan ke Spanyol. Penyerbuan ini tidak berhasil, tetapi Charlemagne bisa juga mendirikan daerah kekuasaan di Spanyol bagian utara, terkenal dengan sebutan "Spanish March" yang mengakui kedaulatan kekuasaan Charlemagne[4].
            Bangsa Franks melakukan lima puluh empat kali pertempuran dalam jangka waktu empat puluh lima tahun selama pemerintahannya. Sebagai hasil begitu banyak peperangan yang membawa kemenangan, Charlemagne berhasil menyatukan hampir seluruh Eropa Barat di bawah kekuasaannya. Pada puncak kejayaannya, kerajaannya terdiri dari sebagian besar Perancis sekarang, Jerman, Swis, Austria, Negeri Belanda, tambah sebagian besar Italia dan banyak lagi daerah-daerah perbatasan. Sejak jatuhnya Kekaisaran Romawi, tak ada satu negara pun yang punya daerah kekuasaan seluas itu.

  1. Sacrum Imperium Romanum
            Tahun 799 Charlemagne menerima berita bahwa suasana buruk telah timbul lagi di Roma. Paus Leo III, yang menggantikan Paus Adrianus I, telah diserang oleh orang-orang sewaktu mengadakan perarakan pada hari St. Markus. Mereka menolak Paus dari kudanya, menindisnya lalu mencoba mengeluarkan lidah dan matanya. Tidak berhasil. Mereka lalu menyeretnya ke sebuah gereja, lalu memukulnya dan melepaskannya berbaring di depan altar. Sangkanya ia telah wafat. Paus sadar kembali dan dengan bantuan pangeran Spoleto ia lari ke luar kota dan melaporkan kesemuanya itu kepada Charlemagne, yang berada di Paderborn. Charlemagne menerimanya dengan kehormatan besar lalu mengembalikannya ke Roma. Semua mereka yang telah mengadakan pencobaan pembunuhan itu ditangkap dan dipenjarakan[5].
            Puncak paling tinggi atau paling tidak yang paling termasyur dari pemerintahan Charlemagne terjadi di Roma pada hari Natal tahun 800. Di Gereja St. Petrus Roma, dari altar Paus Leo III mengenakan mahkota emas di atas kepala Charlemagne. Sementara itu jemaat yang berjejal tanpa henti-hentinya melantunkan aklamasi ritual. Hadirin yang ada di gereja serentak berseru, ”To Charles the August, crowned by God, great and pasific emperor, long life and victory!”[6]. Pada hari itu, Paus mengumumkan bahwa dia adalah Kaisar Romawi. Ini berarti Kekaisanan Romawi Barat yang sudah hancur tiga abad sebelumnya bangkit kembali dan Charlemagne merupakan pengganti Augustus Cesar yang sah.
            Pemahkotaan Charlemagne terjadi atas karya pimpinan tertinggi Gereja. Peristiwa ini dipandang sebagai fusi antara unsur-unsur Frankhi dan Romawi, di bawah pengaruh Gereja, yang memiliki peranan menentukan dalam genesis peradaban Abad Pertengahan. Secara politis gelar baru Charlemagne (kaisar) menumbuhkan harga diri. Kaisar adalah pelanjut dan pembangkit kekaisaran Roma. Berkat peristiwa tahun 800 itu lahirlah Sacrum Romanum Imperium (Kekaisaran Romawi Suci) dan terjadilah hubungan erat antara masyarakat keagamaan dan sipil[7].
            Kaisar dan Paus sama-sama memerintah, akan tetapi dalam  bidangnya masing-masing. Kaisar adalah penasihat Gereja; ia diharuskan melindungi Gereja dalam waktu kesusahan melawan musuh duniawi. Paus berhak meletakkan mahkota kaisar atas kepala kaisar. Tetapi baik paus maupun kaisar adalah manusia biasa dan bukan malaikat; sering timbul pertentangan pendapat dan kaisar itu merasa dirinya kuat dan berpengaruh hendak menguasai Gereja juga[8]. Dan dalam prakteknya, paus dikurung dalam “sakristi”. Tugas utamanya adalah melayani pelbagai jenis peribadatan dan kultus. Hal-hal lainnya (yang tidak berhubungan dengan ibadat dan kultus) menjadi wewenang kaisar. Charlemagne cukup sering melakukan intervensi dalam masalah gerejawi[9]. Charlemagne semata-mata berikhtiar membela kepentingan-kepentingan agama. Sebab ia menyadari bahwa ia dilantik oleh Allah untuk melaksanakan misi tersebut.

  1. Menghidupkan Kembali Pendidikan dan Seni
            Charlemagne adalah seorang pembaharu yang tak kenal lelah. Dia berusaha memperbaiki kualitas warganya dengan berbagai macam cara. Dia menetapkan (membuat) mata uang untuk mengembangkan perdagangan, mencoba membangun sebuah terusan Rhino-Danube, dan mengembangkan metode-metode pertanian yang lebih baik. Dia terutama berusaha mengembangkan pendidikan dan menyebarkan Kristianitas kepada seluruh kalangan masyarakat[10].
            Charlemagne cukup menekankan pengembangan yang lebih baik di bidang pendidikan. Ia gemar akan pengetahuan. Ia sendiri pandai berbicara Latin serta pandai mempergunakan bahasa Yunani. Ia juga memberi perhatian untuk ilmu-ilmu perbintangan dan teologi. Pujaannya ialah St. Agustinus yang telah menghasilkan De Civitate Dei, yang biasanya dibacakan apabila ia bersantap. Di sekelilingnya berkumpul para ahli (sarjana); mereka bertindak sebagai penasihatnya dan dikirim ke segala wilayahnya sebagai komisaris (Misi Dominici)[11].
            Agar memberikan kemungkinan kepada rakyat jelata untuk turut mengecap pendidikan itu, Charlemagne mendirikan tiga macam sekolah:
  1. Sekolah desa: dijaga oleh pastor paroki untuk pelajaran sekolah rendah. Dikisahkan pada suatu waktu, Charlemagne melihat seorang anak miskin yang belajar keras dan seorang anak bangsawan yang lamban. Dia menjanjikan hadiah yang besar kepada anak yang sungguh-sungguh belajar itu, sementara kepada  anak bangsawan dengan tegas ia berkata bahwa dia kurang menghargai dia meskipun dia keturunan bangsawan dan tidak akan mendapat kemurahannya sedikit pun.
  2. Sekolah  musik: untuk biarawan. Charlemagne mendukung pelayanan-pelayanan gereja, khususnya biara-biara. Kepala penasihatnya, Alcuin, seorang rahib Inggris yang mengawasi kemajuan-kemajuan dalam liturgi dan musik sakral, membuat musik sehingga liturgi menjadi selaras dengan kebutuhan Roma.
  3. Sekolah biara dan katedral: di sana diajarkan tujuh macam pengetahuan yakni Trivium: ilmu berkhotbah dan semantik dan Quadrivium: ilmu pasti, ilmu bumi, ilmu perbintangan, ilmu musik dan ilmu ke-Tuhan-an.
            Penghidupan kembali ini, yang sering juga disebut “renesains Karolinger”, merupakan suatu langkah panjang ke depan. Hal ini timbul dari inisiatif kaisar. Penghidupan kembali ini khususnya bersifat agama.  Ia menghendaki bahwa kaum klerus harus mempunyai tingkat pengetahuan yang tinggi. Para imam harus lebih berkhotbah lebih sering dan lebih baik. Maka dari itu, Charlemagne menyarankan penyediaan-penyediaan khotbah-khotbah yang mempergunakan karya-karya Bapa-Bapa Gereja. Ia menandaskan pula bahwa khotbah itu harus diberikan dalam bahas daerah apabila masyarakat tidak mengerti bahasa Latin. Dia juga giat dalam pembaharuan disiplin biara. Untuk itu ia mendatangkan dari Monte Casino satu salinan dari peraturan Santo Benediktus, lalu disuruhnya dibuat lebih banyak salinan lagi[12].
            Charlemagne juga mengorganisir satu sekolah istana (palace school) di Aachen untuk melatih putra-putranya sediri serta putri-putri keluarganya dan pembesar-pembesar negara. Di bawah pemerintahan pendahulunya sekolah yang semacam itu juga telah ada, akan tetapi tujuan sekolah itu ialah untuk memberikan kepada putra-putranya raja dasar pendidikan militer. Charlemagne menambahkan lagi pendidikan intelektual; dan selama pimpinan Alcuin, sekolah itu merupakan pusat pendidikan guru yang mempunyai nama baik. 
  
  1. Kematian Charlemagne
            Tahun 813 Charlemagne mendatangkan anaknya Louis ke istana Aachen. Di hadapan sidang umum yang dihadiri oleh biarawan serta awam dan dengan persetujuannya, Charlemagne menyatakan dengan resmi bahwa Louis adalah penggantinya dan ahli waris dari segala wilayahnya. Tanggal 28 Januari 814 ia wafat setelah diperkuat dengan doa serta Sakramen Mahakudus. Ia dikebumikan di basilika yang didirikannya sendiri.





                [1] Compton’s: Pictured Encyclopedia and Fact Index, vol. 3 (Chicago: F.E. Compton and Company, 1961), hlm. 208-209.
                [2] Michael Collins dan Matthew A. Prince, The History of Christianity (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 90.
                [3] Orang Avar berdarah Asia, ada hubungannya dengan bangsa Hun, dan mereka menguasai daerah yang luas, yang kini terkenal dengan Hongaria dan Yugoslavia.
                [4] Jack Heraty, “Charlemagne”, dalam New Chatolic Encyclopedia, vol. III (Washington DC: USA Associates Inc., 1967), hlm. 497-498.
                [5] H. Embuiru, Geredja Sepandjang Masa (Ende: Nusa Indah, 1967),  hlm. 103-104.
                [6] Compton: Pictured Encyclopedia and Fact Index ... , hlm. 209.
                [7] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang Menjadi Peristiwa: Sketsa Sejarah Gereja Abad I-XV (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 124.
                [8] H. Embuiru, Geredja ... , hlm. 104.
                [9] Eddy Kristiyanto, Gagasan yang ... , hlm. 125.
                [10] Compton: Pictured Encyclopedia and Fact Index ... , hlm. 210.
                [11] H. Embuiru, Geredja ... , hlm. 104.
                [12] H. Embuiru, Geredja ... , hlm. 105.

Senin, 19 Oktober 2015

Lagu: Bangun Dunia cipt. poly purba

Lagu Wajib Festival MUDIFRA Regio Tapanuli
Tema: Geopark Kaldera Toba dan Kaum Muda
Saat kumendengar suara burung di alam...
Wahai sahabatku.... marilah kita bangun dunia... sebab inilah waktunya untuk kita....



Budaya: Marga dalam Simalungun

MARGA DALAM  SIMALUNGUN
(Poliaman Purba, S.Fil.)

  1. Pengantar 
Suatu kebiasaan Orang Batak yang masih ada sampai sekarang ialah bila bertemu dengan sesama orang Batak mereka akan saling menanyakan/memperkenalkan marganya. Kemudian setelah itu, pembicaraan akan berjalan seperti biasa. Inilah kekhasan orang Batak, sebab semua orang Batak pasti memiliki marga. Kebiasaan ini sudah merupakan tradisi dalam budaya Batak (dalam konteks ini Batak Simalungun). Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunan segaris berdasarkan garis keturunan pria (patrilineal). Selain menunjukkan identitas keluarga, marga juga menunjukkan apakah seorang itu Batak Toba atau Batak Karo atau Batak Simalungun atau Batak Pakpak ataupun Batak Mandailing.

  1. Sistem Marga
Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunan segaris berdasarkan garis keturunan pria/patrilineal. Ada empat marga besar di kalangan masyarakat Simalungun. 1) Purba, 2) Saragih, 3) Damanik, dan 4) Sinaga. Keempat marga ini, dengan pengecualian marga Damanik yang tak terbagi ke dalam submarga, terbagi lagi ke dalam submarga atau garis keturunan (marga) sbb:

Purba
Saragih
Sinaga
Damanik
Tondang
Garingging
Bonor

Girsang
Sumbayak
Uruk

Dasuha
Munthe
Sitopu

Tanjung

Lingga

Pakpak



Tambak



Siboro



Sidabalog



Sidagambir



Sigumonrong




Secara praktis ikatan-ikatan kekerabatan ini lebih berfungsi pada tingkatan submarga daripada tingkatan marga. Kebanyakan submarga ini dapat ditelusuri genealoginya hingga ke tingkat generasi seorang nenek moyang milik bersama, sedangkan pada tingkatan marga hal ini jarang dapat dibuktikan. Maka dalam memberikan nama keluarga, seorang Batak dapat memilih untuk menggunakan nama marga ataupun submarganya. Karena nama keluarga Purba Girsang dianggap terlalu panjang atau terdapat banyak nama keluarga Purba yang ada di lingkungannya, seseorang dapat memilih namanya untuk dikenal sebagai Tuan Girsang dan bukan sebagai Tuan Purba. Namun marganya tetap marga Purba dan pada dokumen-dokumen resmi atau undangan acara perkawinan, baik marga maupun submarganya biasanya turut dicantumkan.

Istilah marga ini selalu digunakan untuk mengidentifikasikan seorang pria dengan marganya. Bila seorang Batak berkata,”Dia dari marga Purba”, kata marga yang di gunakan di sini langsung menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang pria. Istilah analog bagi kaum wanita adalah boru (anak perempuan). “Dia boru Damanik” berarti “Ia (perempuan) bermarga Damanik”. Namun bila wanita Damanik ini mengucapkan marga ayahnya, ia tidak menggunakan istilah marga namun istilah yang digunakan adalah panogolan. Silsilah masing-masing individu, berdasarkan identitas orang tuanya terdiri dari empat buah unsur: marga, submarga, panogolan dan subpanogolan. Misalnya:

Marga
Purba
Boru
Sinaga
Submarga
Tambak


Subboru
Bonor












Marga
Purba


Boru
Purba
Submarga
Tambak


Subboru
Tambak
Panogolan
Sinaga


Panogolan
Sinaga
Subpanogolan
Bonor


Subpanogolan
Bonor

  1. Identitas Kekerabatan
Identitas kekerabatan paling menentukan bagaimana seorang Batak harus memandang seorang Batak yang lain dan mengarahkan perilaku yang pantas terhadap yang bersangkutan, sehingga semua orang Batak (Simalungun) terlibat dalam martutur atau martarombo (menanyakan silsilah yang bersangkutan) sebagai salah satu aspek percakapan yang pertama kali dilakukan. Martutur/martarombo penting dalam memilih pasangan hidup; karena aturan mengenai pernikahan eksogami dalam kaitannya dengan marga diberlakukan dengan ketat. Dalam hal ini pernikahan tidak boleh dilangsungkan antara dua orang bermarga sama, meskipun mereka keturunan dari sub-panogolan yang berbeda jauh selama sekian tingkat keturunan. Hal ini ditabukan sebagai suatu praktik incest dan diganjar dengan hukuman sangat berat atau bahkan ganjaran berupa hukuman mati.

  1. Refleksi dalam Iman Kristiani 
Manusia tidak pernah lepas dari budaya. Sejauh penulis yang ketahui, bagi seorang Kristen budaya/tradisi tidak pernah menjadi penghalang dalam menghayati  iman Kristiani. Demikian juga halnya dengan budaya/tradisi dalam budaya Batak, dalam hal ini Batak Simalungun. Sistem marga dan tradisi martutur/martarombo mampu masuk ke dalam penghayatan iman Kristiani.

Sistem marga dalam budaya Batak (Simalungun) mampu memunculkan ikatan persaudaraan di antara sesama marga. Mungkin sebelumnya tidak pernah saling mengenal tetapi oleh karena mempunyai marga yang sama, seorang Batak mampu menjalin hubungan dengan sesama marganya. Marga telah mampu mengikat persaudaraan antar sesama Batak. Demikian juga halnya dengan iman Kristiani. Iman akan Yesus telah mampu mempersatukan bukan hanya sesama marga atau suku melainkan antarsuku, bahasa, kebudayaan, bangsa/ras dan kenegaraan. Babtisan telah mampu memunculkan ikatan persaudaraan di antara kita meskipun terdapat perbedaan marga, suku, bahasa, budaya, bangsa ataupun negara. Sama seperti sistem marga dalam budaya Batak, babtisan Kristiani juga telah mempersatukan kita sebagai saudara dalam Kristus. Kita bukan lagi dihubungkan oleh ikatan darah melainkan oleh ikatan air (babtisan).

Jadi, sistem marga dalam budaya Batak (Simalungun) telah mampu memunculkan hal-hal yang baik dalam kekerabatan. Marga telah mampu menghubungkan jalinan yang mungkin sebelumnya tidak ada. Memang rasanya terkesan eksklusif, tetapi ada hal yang cukup baik terdapat didalamnya. Selain itu juga, jika dikembangkan lebih jauh lagi, bukan hanya sebatas marga lagi yang menyatukan. Bisa dikarenakan sama-sama memiliki marga, dengan kata lain sama-sama orang Batak. Kita kembangkan lebih jauh lagi, hubungan antar sesama dijalin oleh karena iman akan Kristus. Bahkan akhirnya hubungan kita akan berdasarkan cinta kasih. Cinta kasih melebihi marga, suku, bangsa, bahasa, budaya bahkan agama. Kesadaran akan cinta kasih akhirnya akan menjadi dasar bagi kita untuk berelasi dengan sesama.

  1. Penutup
Budaya Batak Simalungun dalam hal marga tidak belawanan dengan iman Kristiani yang kita yakini. Dan sebagai manusia yang berbudaya, kita tidak boleh terlepas dari budaya yang kita miliki melainkan selalu melestarikannya. Sebab budaya menunjukkan identitas diri, maka sudah sewajarnya kita menghidupinya dalam iman Kristiani tentunya. Seperti yang diungkapkan dalam uppasa Simalungun,
            Dulang si dua rupa                                         Boras na satumba
            Goran ni bulung-bulung                                 Iboan hu Jakarta
            Ulang ma hita lupa                                         Horas hita haganupan
            Adat ni Simalungun                                         Ituppaki Tuhan Naibata[1]








Daftar Pustaka

Jansen, Arlin Dietrich. Gonrang Simalungun. Medan: Bina Media Perintis, 2003.
Purba, Angelo. Uppasa Simalungun. Medan: Bina Media Perintis, 2001.
Saragih, Sortaman. Orang Simalungun. Depok: CV. Citama Vigora, 2008.





[1] P.Angelo Purba OFMCap. Uppasa Simalungun. hlm. 75 dan 85

Rabu, 14 Oktober 2015

Filsafat: Filsafat yang Membumi - Poly Gibran

Filsafat yang Membumi
(Poliaman Purba, S.Fil.)
Pengantar
Pada umumnya, orang menganggap bahwa filsafat itu merupakan suatu pembicaraan yang sulit dan abstrak. Bagi kebanyakan orang, filsafat adalah suatu ilmu yang mengawang-awang atau kerap disebut tidak mendarat. Pengalaman beberapa orang menyangkut filsafat pada umumnya juga sama, khususnya bagi orang-orang yang pernah mempelajari filsafat. Filsafat kerap dianggap tidak relevan dengan situasi konkret yang sedang dialami. Mengapa ilmu ini kerap terasa jauh dan kerap dihindari oleh banyak (calon) pastor dan orang pada umumnya? Apakah filsafat itu sangat penting?

Filsafat dan Hidup Sehari-hari
Pada dasarnya pengetahuan filsafat timbul dari pengalaman sehari-hari. Maka, biar bagaimana pun filsafat tidak akan pernah terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Berfilsafat bukanlah suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh segelintir ahli saja, melainkan merupakan salah satu ciri dari kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan suatu kegiatan yang terbuka bagi setiap orang[1]. Berfilsafat pada pokoknya terjadi di tengah-tengah kejadian hidup sehari-hari. Menurut hakikatnya filsafat selalu bertautan dengan permenungan sehari-hari. Maka, menjadi sesuatu yang salah jika dinyatakan bahwa filsafat itu mengawang-awang atau tidak mendarat.

Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara harafiah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencari kebijaksanaan[2]. Jadi, filsafat pada hakikatnya mengarah pada suatu kebijaksanaan hidup yang bisa diterapkan dalam hidup sehari-hari. Berefleksi atau merenung secara rasional menjadi metode yang digunakan dalam berfilsafat. Objek filsafat itu sendiri adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia. Filsafat tidak bisa lepas dari kebijaksanaan sehari-hari yang menyangkut pengalaman hidup.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa kerap terjadi pertentangan antara pengalaman sehari-hari dan filsafat. Dalam kenyataannya sering muncul suatu konflik antara pengalaman sehari-hari dan filsafat. Sekalipun demikian, ada baiknya selalu diingat juga bahwa filsafat lahir atas dasar pengalaman hidup manusia. Biarpun antara pengalaman sehari-hari dan filsafat kadang-kadang terjadi pertentangan, filsafat tetap berhubungan erat dengan pengalaman sehari-hari. Filsafat mencari akar-akar pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Filsafat hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari[3].

Filsafat bagi Religius Muda
Sebagian besar imam kita berkarya untuk paroki. Mereka melayani umat lewat perayaan Ekaristi dan berbagai macam perayaan sakramental lainnya. Mereka mendengarkan umat yang berkeluh kesah tentang persoalan sehari-hari, memberikan nasihat, membangun Gereja bersama-sama umat. Kebanyakan aktivitas mereka sangat konkret karya pastoral[4].

Berbagai kuliah filsafat selama tiga atau empat tahun diberikan kepada para calon imam selama pendidikan menuju imamat. Sebelum para calon imam menerima pendidikan teologi secara intensif, mereka terlebih dahulu menyelesaikan kuliah filsafat. Filsafat bertindak sebagai “alat bantu teologi” sehingga para calon imam mempunyai dasar yang kuat untuk mempelajari teologi lebih lanjut. Dengan demikian, filsafat sangat penting bagi pendidikan calon imam/religius.

Tanggapan para religius muda terhadap filsafat pada umumnya berbeda-beda. Para calon imam/religius terlebih dahulu dibekali hidup rohani yang kuat selama satu, dua dan bahkan sampai tiga tahun misalnya TOR (Tahun Orientasi Rohani) untuk calon imam diosesan atau tahun novisiat untuk calon imam biarawan. Setelah melewati masa tersebut mereka akan mulai menggeluti studi filsafat selama empat tahun. Kehidupan spiritual yang telah dihidupi selama TOR atau novisiat mulai “dirasuki” oleh filsafat yang kritis dan rasional. Hal ini memberikan kesan tertentu bagi para religius muda. Religius muda dihadapkan pada suatu hal yang baru dan menantang.

Aktualisasi Filsafat
Apakah filsafat yang telah dipelajari di bangku kuliah memberikan pengaruh terhadap hidup para religius muda? Pertanyaan ini akan selalu bergema bagi para religius muda yang sedang memulai menggeluti studi filsafat. Suatu mata kuliah akan sungguh-sungguh bermanfaat apabila mata kuliah tersebut memberikan pengaruh nyata kepada mahasiswa yang sedang mempelajarinya. Daya guna filsafat diharapkan teraplikasi dalam hidup sehari-hari sebagai seorang religius.

Filsafat menuntun seseorang untuk mampu berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi suatu realitas[5]. Kemampuan tersebut dibutuhkan dalam hidup berkomunitas agar mampu menyeimbangkan keutuhan pribadi seseorang. Spiritualitas yang matang digabungkan dengan pola pikir yang kritis dan rasional. Ini akan menghasilkan suatu keseimbangan sehingga mampu menciptakan suasana yang nyaman dalam hidup komunitas.

Setelah mengetahui hakikat dan fungsi filsafat, hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengaktualisasikan filsafat tersebut dalam hidup. Filsafat akan menuntun seseorang untuk semakin bijaksana dalam menjalani hidup kesehariannya. Kebijaksanaan diperlukan untuk membangun hidup yang lebih baik sebagai seorang religius muda. Menjadi seorang filsuf muda bukan harus seperti Sokrates yang dihukum mati karena mempertahankan pendapatnya, melainkan menjadi filsuf religius yang mencari kebijaksanaan dalam hidup. Seperti pendapat Pytagoras, menjadi filsuf ialah menjadi orang yang mencintai kebijaksanaan.

Sikap praktis yang bisa diterapkan dalam mengaktualisasikan filsafat ialah sikap untuk selalu berefleksi atau merenung. Dalam berhadapan dengan realitas, religius muda semakin dilatih untuk bersikap kritis, serius, mendasar, mendalam, dialogis, rasional, reflektif dan bertanggung jawab. Dengan ini filsafat menjdai sesuatu hal yang nyata dan dapat dialami. Religius muda yang berkompeten ialah religius muda yang tidak hanya mampu menjawab soal-soal ujian seputar filsafat melainkan religius muda yang menerapkan apa yang bisa diterapkan. Alhasil, pepatah Latin tetap bergema yakni, non scholae sed vitae discimus[6].

Penutup
Anggapan filsafat sebagai ilmu yang mengawang-awang/tidak mendarat mulai terkikis apabila filsafat itu sudah mulai terbiasa diaktualisasikan secara konkrit dalam hidup sehari-hari. Filsafat yang membumi akan terasa cukup menolong untuk memahami dan mengerti segala sesuatu. Filsafat meneruskan hasrat manusia yang selalu sadar akan dirinya sendiri dan akan dunia. Filsafat mencari akar-akar pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Itulah sebabnya mengapa filsafat hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari, karena di sana bersumberlah kemampuan kita untuk menilai sesuatu.




            [1] C.A. van Peursen., Orientasi di Alam Filsafat, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. 1985.), hlm.
            [2] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,  (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1975.),  hlm. 13.
                [3] C.A. van Peursen, Orientasi... , hlm.
            [4] Menurunkan Filsafat ke Bumi, (dalam majalah Hidup (Jakarta) no. 4 thn ke 61),  hlm. 4.
            [5] William S. Sahakian Ph.D, Realms of Philosophy, (Cambridge: Schenkman Publishing Company, Inc.. 1965.),  hlm. xv-xvi.
                [6] Artinya : kita belajar bukan untuk sekolah (nilai) melainkan untuk hidup. 

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....