Senin, 19 Oktober 2015

Lagu: Bangun Dunia cipt. poly purba

Lagu Wajib Festival MUDIFRA Regio Tapanuli
Tema: Geopark Kaldera Toba dan Kaum Muda
Saat kumendengar suara burung di alam...
Wahai sahabatku.... marilah kita bangun dunia... sebab inilah waktunya untuk kita....



Budaya: Marga dalam Simalungun

MARGA DALAM  SIMALUNGUN
(Poliaman Purba, S.Fil.)

  1. Pengantar 
Suatu kebiasaan Orang Batak yang masih ada sampai sekarang ialah bila bertemu dengan sesama orang Batak mereka akan saling menanyakan/memperkenalkan marganya. Kemudian setelah itu, pembicaraan akan berjalan seperti biasa. Inilah kekhasan orang Batak, sebab semua orang Batak pasti memiliki marga. Kebiasaan ini sudah merupakan tradisi dalam budaya Batak (dalam konteks ini Batak Simalungun). Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunan segaris berdasarkan garis keturunan pria (patrilineal). Selain menunjukkan identitas keluarga, marga juga menunjukkan apakah seorang itu Batak Toba atau Batak Karo atau Batak Simalungun atau Batak Pakpak ataupun Batak Mandailing.

  1. Sistem Marga
Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunan segaris berdasarkan garis keturunan pria/patrilineal. Ada empat marga besar di kalangan masyarakat Simalungun. 1) Purba, 2) Saragih, 3) Damanik, dan 4) Sinaga. Keempat marga ini, dengan pengecualian marga Damanik yang tak terbagi ke dalam submarga, terbagi lagi ke dalam submarga atau garis keturunan (marga) sbb:

Purba
Saragih
Sinaga
Damanik
Tondang
Garingging
Bonor

Girsang
Sumbayak
Uruk

Dasuha
Munthe
Sitopu

Tanjung

Lingga

Pakpak



Tambak



Siboro



Sidabalog



Sidagambir



Sigumonrong




Secara praktis ikatan-ikatan kekerabatan ini lebih berfungsi pada tingkatan submarga daripada tingkatan marga. Kebanyakan submarga ini dapat ditelusuri genealoginya hingga ke tingkat generasi seorang nenek moyang milik bersama, sedangkan pada tingkatan marga hal ini jarang dapat dibuktikan. Maka dalam memberikan nama keluarga, seorang Batak dapat memilih untuk menggunakan nama marga ataupun submarganya. Karena nama keluarga Purba Girsang dianggap terlalu panjang atau terdapat banyak nama keluarga Purba yang ada di lingkungannya, seseorang dapat memilih namanya untuk dikenal sebagai Tuan Girsang dan bukan sebagai Tuan Purba. Namun marganya tetap marga Purba dan pada dokumen-dokumen resmi atau undangan acara perkawinan, baik marga maupun submarganya biasanya turut dicantumkan.

Istilah marga ini selalu digunakan untuk mengidentifikasikan seorang pria dengan marganya. Bila seorang Batak berkata,”Dia dari marga Purba”, kata marga yang di gunakan di sini langsung menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang pria. Istilah analog bagi kaum wanita adalah boru (anak perempuan). “Dia boru Damanik” berarti “Ia (perempuan) bermarga Damanik”. Namun bila wanita Damanik ini mengucapkan marga ayahnya, ia tidak menggunakan istilah marga namun istilah yang digunakan adalah panogolan. Silsilah masing-masing individu, berdasarkan identitas orang tuanya terdiri dari empat buah unsur: marga, submarga, panogolan dan subpanogolan. Misalnya:

Marga
Purba
Boru
Sinaga
Submarga
Tambak


Subboru
Bonor












Marga
Purba


Boru
Purba
Submarga
Tambak


Subboru
Tambak
Panogolan
Sinaga


Panogolan
Sinaga
Subpanogolan
Bonor


Subpanogolan
Bonor

  1. Identitas Kekerabatan
Identitas kekerabatan paling menentukan bagaimana seorang Batak harus memandang seorang Batak yang lain dan mengarahkan perilaku yang pantas terhadap yang bersangkutan, sehingga semua orang Batak (Simalungun) terlibat dalam martutur atau martarombo (menanyakan silsilah yang bersangkutan) sebagai salah satu aspek percakapan yang pertama kali dilakukan. Martutur/martarombo penting dalam memilih pasangan hidup; karena aturan mengenai pernikahan eksogami dalam kaitannya dengan marga diberlakukan dengan ketat. Dalam hal ini pernikahan tidak boleh dilangsungkan antara dua orang bermarga sama, meskipun mereka keturunan dari sub-panogolan yang berbeda jauh selama sekian tingkat keturunan. Hal ini ditabukan sebagai suatu praktik incest dan diganjar dengan hukuman sangat berat atau bahkan ganjaran berupa hukuman mati.

  1. Refleksi dalam Iman Kristiani 
Manusia tidak pernah lepas dari budaya. Sejauh penulis yang ketahui, bagi seorang Kristen budaya/tradisi tidak pernah menjadi penghalang dalam menghayati  iman Kristiani. Demikian juga halnya dengan budaya/tradisi dalam budaya Batak, dalam hal ini Batak Simalungun. Sistem marga dan tradisi martutur/martarombo mampu masuk ke dalam penghayatan iman Kristiani.

Sistem marga dalam budaya Batak (Simalungun) mampu memunculkan ikatan persaudaraan di antara sesama marga. Mungkin sebelumnya tidak pernah saling mengenal tetapi oleh karena mempunyai marga yang sama, seorang Batak mampu menjalin hubungan dengan sesama marganya. Marga telah mampu mengikat persaudaraan antar sesama Batak. Demikian juga halnya dengan iman Kristiani. Iman akan Yesus telah mampu mempersatukan bukan hanya sesama marga atau suku melainkan antarsuku, bahasa, kebudayaan, bangsa/ras dan kenegaraan. Babtisan telah mampu memunculkan ikatan persaudaraan di antara kita meskipun terdapat perbedaan marga, suku, bahasa, budaya, bangsa ataupun negara. Sama seperti sistem marga dalam budaya Batak, babtisan Kristiani juga telah mempersatukan kita sebagai saudara dalam Kristus. Kita bukan lagi dihubungkan oleh ikatan darah melainkan oleh ikatan air (babtisan).

Jadi, sistem marga dalam budaya Batak (Simalungun) telah mampu memunculkan hal-hal yang baik dalam kekerabatan. Marga telah mampu menghubungkan jalinan yang mungkin sebelumnya tidak ada. Memang rasanya terkesan eksklusif, tetapi ada hal yang cukup baik terdapat didalamnya. Selain itu juga, jika dikembangkan lebih jauh lagi, bukan hanya sebatas marga lagi yang menyatukan. Bisa dikarenakan sama-sama memiliki marga, dengan kata lain sama-sama orang Batak. Kita kembangkan lebih jauh lagi, hubungan antar sesama dijalin oleh karena iman akan Kristus. Bahkan akhirnya hubungan kita akan berdasarkan cinta kasih. Cinta kasih melebihi marga, suku, bangsa, bahasa, budaya bahkan agama. Kesadaran akan cinta kasih akhirnya akan menjadi dasar bagi kita untuk berelasi dengan sesama.

  1. Penutup
Budaya Batak Simalungun dalam hal marga tidak belawanan dengan iman Kristiani yang kita yakini. Dan sebagai manusia yang berbudaya, kita tidak boleh terlepas dari budaya yang kita miliki melainkan selalu melestarikannya. Sebab budaya menunjukkan identitas diri, maka sudah sewajarnya kita menghidupinya dalam iman Kristiani tentunya. Seperti yang diungkapkan dalam uppasa Simalungun,
            Dulang si dua rupa                                         Boras na satumba
            Goran ni bulung-bulung                                 Iboan hu Jakarta
            Ulang ma hita lupa                                         Horas hita haganupan
            Adat ni Simalungun                                         Ituppaki Tuhan Naibata[1]








Daftar Pustaka

Jansen, Arlin Dietrich. Gonrang Simalungun. Medan: Bina Media Perintis, 2003.
Purba, Angelo. Uppasa Simalungun. Medan: Bina Media Perintis, 2001.
Saragih, Sortaman. Orang Simalungun. Depok: CV. Citama Vigora, 2008.





[1] P.Angelo Purba OFMCap. Uppasa Simalungun. hlm. 75 dan 85

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....