DAMPAK
PERANG PADRI DI TANAH BATAK
(Suatu Refleksi Historis atas
Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak)
Poliaman Purba S.Fil.
Poliaman Purba S.Fil.
A. Pendahuluan
Perang Padri[1]
adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di
kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan
perang yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum
berubah menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. Perang Padri dimulai dengan
munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri/Ulama terhadap
kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut
Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau – Sumatera Barat dan
sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud adalah perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat
matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual
formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan Kaum Adat yang padahal telah
memeluk agama Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum
Padri/Ulama, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Adapun perang Padri ini
merembes sampai ke daerah Tanah Batak bagian Selatan, Tengah dan Utara, secara
khusus daerah Mandailing dan Angkola. Hingga tahun 1833, selain dari aspek
sosial, politik dan adat, perang Padri memberikan dampak tersendiri bagi orang
Batak di bidang kehidupan religius/beragama. Di bawah ini akan dipaparkan
secara sederhana tentang dampak perang Padri bagi orang Batak dalam kaitannya
dengan perjumpaan agama Islam dan Kristen di Tanah Batak.
B. Selayang
Pandang Agama Islam di Tanah Batak Selatan dan Utara
Tanah Batak merupakan
sebagian dari wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Sumatera Utara.
Penginjilan masuk ke daerah Tanah Batak pada abad ke-19 yang sebagian besar
penduduknya beragama tradisional (beragama suku). Pada tahun 1842, Tanah Batak
pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda meliputi suatu keresidenan
Tapanuli yang sebelumnya mencakup masuknya provinsi Sumatera Barat.[2]
Sebagian besar dari
Tanah Batak meliputi Pakpak-Dairi, Samosir, Silindung, Pantai Barat (Sibolga
dan sekitarnya), Angkola dan Mandailing dan sebagian kecil meliputi Tanah Karo
dan Simalungun. Di daerah Mandailing dan Angkola, sebagai dampak dari pergaulan
dengan tetangga mereka di pesisir timur Sumatera Utara maupun Minangkabau yang
telah menganut Islam sejak abad ke-16, sebagian besar masyarakat Batak telah
masuk Islam jauh sebelum tahun 1820. Ada salah faktor yang membuat masyakat
Batak tertarik masuk Islam adalah faktor ekonomi, karena sebagian besar kaum
Islam adalah pedagang dan membawa keuntungan secara ekomonis.[3]
Namun proses islamisasi
menjadi lebih gencar karena adanya invasi perang Padri di bawah pimpinan Imam
Bonjol dari Minangkabau. Dengan adanya
perang Padri yang melanda ke Tanah Batak, membawa dampak dalam proses
pengkristenan di Tanah Batak, khususnya di bagian utara. Hal ini disebabkan
oleh tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara. Peristiwa ini
mengantar masyarakat Batak ke bentuk kepercayaan baru yakni Kristen. Pada tahun
1863 di Tanah Utara agama Kristen dapat berkembang dengan baik.[4]
Perang Padri berawal
dari pertentangan dari kaum adat dan kaum ulama di Minangkabau. Kaum adat
mendapat tekanan dari kaum ulama (Padri) hingga mengakibatkan konflik senjata
yang tidak terelakkan. Karena situasi yang terjepit, kaum adat meminta bantuan
kepada Belanda. Dengan adanyanya situasi tersebut situasi semakin memuncak
khususnya di daerah Minangkabau sehingga konflik menyebar ke arah
Mandailing-Tapanuli Selatan. Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol dari
Minangkabau menerobos Tanah Batak hingga ke jantung Tanah Batak (Silindung dan
Toba) sambil mengislamkan penduduknya dengan cara kekerasan dan kekejaman.
Banyak penduduk yang tidak bersedia masuk Islam dibunuh.[5]
Gerakan Padri ini
merupakan gerakan pembaharuan Islam puritan di dataran tinggi Minangkabau.
Gerakan ini mulai dilancarkan pada tahun 1803 oleh tiga haji yang baru pulang
dari Mekkah. Orang Minangkabu yang merupakan tetangga orang Batak di sebelah
selatan Tanah Batak mempunyai sistem matrilineal dan telah memeluk Islam
mungkin pada abad ke 16 atau ke-17. Perang saudara di antara kaum Padri dan
kaum adat berubah menjadi perang kolonial pada tahun 1821 ketika Belanda
mengintervensi dan berpihak kepada kaum adat. Pada tahun yang sama, salah
seorang pemimpin religional Padri, Tuanku Rao menyerbu Mandailing-Tapanuli
Selatan. Selain memaksa agama mereka, kaum Padri membakar dan merampas serta
memerintah dengan teror.[6]
Invasi pasukan Padri ke
Tanah Batak khususnya Mandailing di bawah pimpinan Tuanku Rao dilaksanakan
dengan sistem kekerasan yang tidak hanya dilatarbelakangi motif politik dan
keagamaan tetapi juga alasan balas dendam pribadi. Tuanku Rao dengan nama asli
Pongki Nangolngolan Sinambela lahir sekitar tahun 1787 yang adalah keturunan
Raja Si Singamangaraja VIII dan IX; ayahnya Gindoporang Sinambela adalah anak
dari Si Singamangaraja VIII, saudara
dari Si Singamangaraja IX. Sedangkan ibunya Gana boru Sinambela adalah putri
dari Si Singamangaraja XI. Dengan adanya hubungan incest antara paman dengan kemenakannya, Pongki Nangolngolan
dibesarkan ibunya di Singkel tetapi pada usia 9 tahun, ia kembali ke kampung
halamannya di Bakkara, namun hal itu menjadi aib bagi masyarakat setempat. Demi
menjaga dan menutup aib tersebut, Pongki Nangolngolan disingkirkan dan akhirnya
terdampar di Minangkabau. Di sanalah, ia masuk Islam dan mendapat beberapa nama
baru: Muhammad Zainal Amiruddin alias Umar Khattab dengan gelar Tuanku Rao.[7]
Pada
tahun 1816 Tuanku Rao dan Tuanku Lelo memimpin invasi Padri ke Tanah Batak yang
mencapai puncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara. Perang Padri ini
menewaskan ribuan orang baik karena penyerangan bersenjata maupun wabah epidemi
akibat perang tersebut. Perang Padri ini merupakan suatu upaya untuk mengislamisasi
masyarakat Tanah Batak. Perang Padri ini menciptakan luka bagi orang Batak.
D. Dampak
Perang Padri bagi Orang Batak
Perang Padri yang
berpuncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara mengakibatkan ratusan ribu
orang tewas, baik karena penyerangan bersenjata maupun epidemi (wabah penyakit
pes akibat perang itu). Pengalaman traumatik ini membuat banyak orang Batak di
bagian Utara – boleh jadi hingga sekarang ini – melihat Islam sebagai momok,
dan membuat masyarakat Batak mengalami “impasse” (kebuntuan, kemacetan
perkembangan) di segala bidang, baik dalam masyarakat maupun dalam kerohanian,
dan keadaan ini kelak ikut mendorong mereka menerima agama Kristen. Dengan kata
lain, tanpa disadari dan disengaja, perang Padri telah “mempersiapkan”
pengkristenan Tanah Batak, khususnya di bagian utara.[8]
Menurut pendapat J.
Pardede, seorang penulis sejarah Kekristenan di Tanah Batak, serbuan pasukan
Padri ini ke Tanah Batak memang hanya berlangsung singkat, namun berhasil
menggoncangkan kepercayaan terhadap agama tradisional dan kedudukan raja-raja
dinasti Sisingamangaraja sebagai “raja-datu”, yakni “dewa yang dapat dilihat
dan yang rohnya dapat kita kenal”. Untuk penduduk Tanah Batak Selatan dan
Utara, pendudukan Paderi merupakan malapetaka terbesar sepanjang masa, yang
mengakibatkan korban ratusan ribu jiwa dan kerugian materi yang tak terhingga
nilainya. Untuk Tanah Batak Selatan, tentara Padri berjasa menghapuskan –
sekurang-kurangnya menipiskan – kegelapan/jahiliah dan menanamkan bibit-bibit
agama Islam, sehingga setengah abad kemudian Tanah Batak Selatan sudah
didominasi agama Islam (Ugama Silom
Bonjol). Paganisme in splendid
isolation telah didobrak dan agama tradisional ini dirasakan tidak cocok
lagi dengan tuntutan zaman.[9]
Untuk Tanah Batak
Utara, tentara Padri berjasa membuka kemungkinan berkembangnya agama Kristen.
Kedengarannya sebagai suatu kontradiksi, tetapi alasannya sederhana sekali.
Dengan tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara, penduduk
mengerti bahwa kuasa khusus dinasti Singamangaraja dengan “sahala harajaon”
(sifat kekuasaan) dan “sahala hasangapon” (sifat dihormati)-nya ternyata
tidaklah lestari. Dengan goncangnya kepercayaan terhadap wibawa khusus Raja
Singamangaraja, turut pula goncang kepercayaan terhadap agama tradisional. Di
atas reruntuhan kepercayaan itulah sejak 1863 di Tanah Batak Utara dapat
berkembang agama Kristen.[10]
Pada tahun 1833,
pasukan Belanda mengalahkan pasukan Padri. Setelah itu, pemerintah Hindia
Belanda menata administrasi pemerintahan kolonial di daerah Mandailing dan
Angkola. Sejak waktu itu, perkembangan Islam justru semakin pesat, karena
didukung oleh pemerintah kolonial. Agama Islam menyebar dengan cepat ke seluruh
Tapanuli Selatan yang telah menjadi aman itu, kendati kaum Padri kalah. Para
pemimpin menganggap bahwa agama asli tidak dapat dipulihkan kembali, sehingga
kemudian mereka menganut agama Islam dan mencontoh cara-cara berpakaian dan unsur-unsur
budaya Melayu-Islam lainnya. Ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi
suatu pilihan. Waktu itu hampir tidak ada misionaris, dan sulit bagi Belanda
untuk menyebarkan agama Kristen karena tindakan semacam itu akan membahayakan
seluruh strategi yang mengharapkan bantuan golongan “hitam” (Muslim anti-Padri
dan pro-adat) di Sumatra Barat. Sejak kurun 1850-an berbagai kelompok Kristen
mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses islamisasi.[11]
Pada situasi seperti
itulah para zendeling – dari Belanda, kemudian Jerman, yaitu dari badan zending
Rheinische Missions – Gesellschaft (RMG)
– datang dan bekerja di lingkungan masyarakat Batak (karena itu cabangnya di
Tanah Batak disebut juga Batakmission);
mula-mula di Tapanuli Selatan dan Tengah yang mayoritas sudah Islam ini. Di
sana-sini RMG berhasil mengkristenkan sejumlah penduduk yang sudah beragama
Islam, termasuk pemuka masyarakat. Pada tahun 1876 penduduk daerah Sipirok,
misalnya, 10% beragama Kristen, dan pada akhir abad ke-19 meningkat menjadi
21%.[12]
Walaupun berhasil
mengkristenkan sejumlah penduduk dan tokoh, namun para zendeling RMG lebih
banyak menghadapi penolakan, bahkan ada dari antara mereka yang sudah Kristen
kembali ke agama Islam. Mereka menghalalkan perpindahan agama demi mengamankan
ataupun meraih jabatan sebagai raja atau kepala kampung. Dan gejala seperti ini
muncul lagi nanti setelah zaman Jepang, pada zaman Revolusi. Sementara itu di
sisi lain, banyak orang Batak di Tapanuli Selatan terdorong menjadi Islam
justru karena mereka melihat zending dan kekristenan sebagai bagian dari
kekuatan imperialis Barat. Menghadapi kenyataan penolakan itu, sudah sejak 1863
beberapa zendeling RMG (antara lain I.L. Nommensen) mengambil keputusan untuk
masuk ke jatung Tanah Batak, yaitu di bagian utara, yang sebagian besar
penduduknya masih menganut agama suku, walaupun ada juga yang terus melanjutkan
pekerjaan mereka di daerah Selatan.[13]
Setelah bekerja di
jantung Tanah Batak, para zendeling RMG harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
salah seorang raja orang Batak, yaitu Si Singamangaraja XII, yang nota bene
telah lama menjalin hubungan baik dengan Aceh yang Islam (kendati Si
Singamangaraja XII sendiri tidak pernah menjadi Islam), menghambat pekerjaan
zending karena beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah
Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Melalui perjuangan yang berat,
akhirnya Nommensen dan beberapa rekannya dari badan zending RMG berhasil
membangun komunitas Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak. Dengan demikian
komunitas Kristen Batak hidup di tengah-tengah himpitan. Di satu pihak mereka
harus hidup berdampingan dengan komunitas Islam Batak, terutama yang ada di
Selatan dan Tengah, sedang di pihak lain mereka harus menghadapi Belanda yang
berniat menjajah mereka. Memang tidak sedikit orang Batak Kristen yang menjadi
pegawai atau pejabat di dalam tatanan sistem pemerintah kolonial Belanda
(seperti juga dari kalangan Batak Islam), tetapi tidak sedikit pula yang sadar
bahwa mereka terjajah, sehingga bangkit berjuang melawan penjajahan.[14]
RMG sendiri berharap
bahwa pemerintah kolonial membantu mereka menginjili masyarakat Batak yang
masih beragama suku, dalam rangka membendung terobosan Islam ke kawasan utara
Tanah Batak. Tetapi hingga akhir abada ke-19 hal itu tidak terjadi, karena
pemerintah Hindia Belanda secara formal-institusional dan berdasarkan
undang-undang hanya memberi bantuan atau subsidi kepada RMG sejauh menyangkut
kegiatan yang merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, antara lain di
bidang pendidikan dan kesehatan. Kalaupun ada pejabat pemerintah kolonial yang
mendukung penginjilan, menurut penjelasan resmi pemerintah, hal itu lebih
merupakan sikap dan minat pribadi dari pejabat yang bersangkutan. Karena itu,
tak jarang pihak zending menuduh pemerintah mendukung Islam, antara lain karena
pemerintah tidak mengizinkan badan zending menggunakan dana subsidi untuk
membiayai karya penginjilan. Sementara itu pihak Islam sebaliknya juga menilai
bahwa pemerintah kolonial tidak adil, terlalu memihak kepada zending atau orang
Kristen, terutama sejak akhir abad ke-19. Akibatnya, sering kali tak
terhindarkan terjadinya ketegangan segitiga: zending (bersama umat Kristen),
pemerintah kolonial, dan masyarakat Islam.[15]
E. Refleksi
Penulis
Dari uraian historis
singkat di atas, kita melihat bahwa perang Padri membawa dampak yang cukup
membekas bagi orang Batak. Perang Padri sebenarnya mengakibat luka yang cukup
dalam dalam sejarah etnis suku Batak. Harus diakui bahwa beberapa bagian dari
sejarah kelam ini tampaknya sengaja disamarkan atau direduksi, misalnya tentang
pembantaian mengerikan atas etnis suku Batak yang tidak mau masuk Islam dalam
jumlah yang cukup besar. Bahkan ada sejarahwan yang berpendapat bahwa
pembantaian yang berlandaskan dakwah Islam yang dilakukan oleh pasukan Padri,
di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol, adalah suatu usaha
pemusnahan etnis. Mungkin pendapat ini terlalu berani dan ekstrim. Namun,
kiranya kenyataan ini patut dikaji lebih objektif lagi.
Pelajaran penting yang
penulis petik dari analisis historis ini adalah kiranya kita semakin hati-hati
dengan gerakan, lembaga, atau orang apa pun yang menggunakan kedok agama untuk
memprovokasi orang melakukan kekerasan terhadap sesamanya. Kiranya pelajaran
ini masih sangat aktual hingga saat ini di Indonesia. Masih sering muncul
adanya klaim yang membenarkan kekerasan untuk membela “Yang Suci” atau “Yang
Ilahi”. Secara konkrit itu diwujudkan dengan membunuh sesama manusia atas kedok
perintah Tuhan, mengatas-namakan Tuhan.
Bagi penulis,
adalah hal menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi
Azra, Ma (guru besar sejarah dan rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah – Jakarta) dalam kata pengantarnya dalam buku “Sejarah Perjumpaan
Kristen dan Islam di Indonesia” yang dikarang oleh Pdt. Prof. Dr. Jan S.
Aritonang. Ia mengatakan bahwa ada tiga tanda yang paling relevan di Indonesia
yang menjadi tanda bahaya agama menjadi jahat. Pertama, klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claims). Setiap agama – khususnya Kristen dan Islam
– mengandung klaim-klaim kebenaran yang merupakan landasan keimanan, di mana
seluruh struktur dan institusi agama berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran
tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai
satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya
yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan
manusia. Kedua, klaim kebenaran
mutlak bukan hanya mengakibatkan terjadinya abuse
terhadap kitab suci, tetapi juga mendorong munculnya misionarisme yang
sangat bersemangat dengan menggunakan segala macam cara demi “menyelamatkan
orang-orang berdosa”, baik di lingkungan pemeluk agama sendiri dan dengan
pemeluk agama lain. Ketiga, pada
tahap selanjutnya, perjumpaan lebih keras bisa terjadi, ketika semua ini
diikuti dengan declaration of holy war
untuk mencapai agenda-agenda dan tujuan yang bertentangan dengan kesucian agama.[16]
Menurut Azyumardi Azra, perjumpaan
yang keras antara Kristen dan Islam di Indonesia bersumber setidak-tidaknya
dari lima faktor. Pertama, penerbitan
tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan pihak agama tertentu tentang agama
lain yang dipandang para pemeluknya tidak sesuai dengan apa yang mereka imani
dan karena itu dianggap mencermarkan/menistakan agama mereka. Dalam hal ini
juga termasuk tulisan-tulisan (biasanya tidak jelas sumbernya) yang berisi
“rencana”penyebaran agama. Kedua,
usaha penyebaran agama secara agresif. Ketiga,
penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan
rumah ibadah tanpa izin jelas di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu.
Keempat, penetapan dan penerapan
ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran
agama. Kelima, kecurigaan timbal
balik berkenaan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia.[17]
Gagasan atau ide
yang mengatakan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan bisa dianggap
sebagai teknik untuk menghindari konflik keagamaan sepertinya sebuah paham yang
paradoksal, sebab tampaknya perbedaan agama seakan-akan justru lebih banyak
mendorong lahirnya lebih banyak konflik ketimbang menyelesaikannya. Kebebasan
beragama dapat dilihat sebagai bagian dari masalah dan sama sekali tidak
menjadi bagian dari solusi. Dalam kenyataannya, pengamatan ini, sampai suatu
kadar yang tertentu, mengandung kebenarannya juga, sebab pelaksanaan kebebasan
beragama atau berkeyakinan memang bisa mendorong lahirnya konflik dengan mereka
yang tidak berbagi keyakinan yang sama.[18]
Berangkat
dari tema tulisan ini, penulis mengelaborasi pendapat Romo Mudji Sutrisno, SJ
menyangkut fenomena kekerasan atas nama agama yang sedang hangat akhir-akhir
ini di Indonesia. Di masa depan, kiranya agama mempunyai dua fungsi yang mesti
ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi
kritis-profetis hendak mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai
yang dilupakan, terutama hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu, kita mesti
berani pula melakukan auto-kritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu
formalistis. Fungsi agama sebagai pembebasan mengarah kepada semakin
dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih
mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang
mekanistik.[19]
Bagi manusia, agama
memberikan kerangka pengertian hidup. Tidak hanya berdasarkan enak tidak enak,
tetapi memberikan dimensi kualitas hidup: menunjuk mana yang baik dan lebih
baik, mana yang lebih benar, lebih manusiawi, dan lebih sesuai dengan panggilan
manusia dalam Tuhan. Warta pokok agama Kristen tercermin dalam Injil yang
mengatakan bahwa Allah mencintai, menebus, dan merukunkan satu sama lain. Dalam
wujud kabar gembira Injil ini adalah jalan dialog, jalan cinta, bukan
kekerasan, kebencian, atau permusuhan. Martin Luther King Jr. pernah berkata:
“Kegelapan takkan pernah sanggup mengusir kegelapan. Hanya teranglah yang
sanggup mengusir kegelapan.” Kekerasan tidak dapat menyelesaikan kekerasan.
Bahkan, membuatnya menjadi lingkaran setan balas dendam. Tindakan kekerasan
memiliki kelemahan besar: justru membuat tindakan itu membuahkan apa yang
sebenarnya ingin dilenyapkan. Kekerasan hanya akan memperbanyak kejahatan.
Kebencian bahkan tidak mampu mengusir kebencian. Yang dapat mengusir kebencian
hanyalah cinta. “Ada satu yang mesti dipegang teguh, bahwa bencana jangan
diperangi dengan menciptakan bencana yang lebih besar lagi,” kata Paus Paulus
VI dalam Populorum Progessio.
Bibliografi
Aritonang,
Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan
Islam di Indonesia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015.
Lindholm,
Tore dkk (ed.). Kebebasan Beragama atau
Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Sutrisno,
Mudji. Ide-ide Pencerahan. Jakarta:
Penerbit Obor, 2004.
Van Schie,
G. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani
dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3. Jakarta: Penerbit Obor, 1995.
[1] Adalah kurang jelas dan pasti
kata “padri/paderi” ini berasal dari terminologi mana. Ada yang berpendapat
bahwa kata ini berasal dari kata “Pidari” nama tempat di Sumatera Barat, dan
ada pula yang berpendapat kata paderi berasal dari kata “Padre”, bahasa
Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama. [Lihat G. Van Schie
Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam
Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995),
hlm. 77.]
[2] G. Van Schie Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam
Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995),
hlm. 77.
[3] G. Van Schie Rangkuman Sejarah ..., hlm. 77.
[4] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di
Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 101.
[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[6] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 107-108.
[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 108.
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108.
[10] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108-109.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 109-110.
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 110-112.
[13] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 113.
[14] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 114-115.
[15] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 115.
[16] Azyumardi Azra, “Kata
Pengantar”, dalam Jan S. Aritonang, Sejarah
Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia,
2015), hlm. xv.
[17] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar”
..., hlm. xv-xvi.
[18] Malcolm D. Evans, “Analisis
Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara
Menyelesaikan Konflik”, dalam Tore Lindholm, dkk (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (Yogyakarta:
Kanisius, 2010), hlm. 93-94.
[19] Mudji Sutrisno, “Agama Inklusif”
dalam Mudji Sutrisno, Ide-ide Pencerahan
(Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hlm. 261-262.
Tulisan anda tidak masuk akal, dalam penyebaran Islam tidak dikenal pemaksaan, buktinya sekarang banyak sekali orang Kristen, Hindu, Budha bahkan atheis yg masuk Islam dengan Sukarela.
BalasHapusMereka yang masuk Islam rata2 adalah orang2 yang intelek tinggi, jadi masuk Islam karena pemahsman, bukan krn mie instant, spt yg dilakukan orang yg keluar dari Islam hanya demi mie instant, bukan krn pemahaman rohani dan logika.
Saya juga berharap begitu. kenyataannya ISIS meneror kristen dimanapun. teror thdp polisi adalah efek samping, karena polisi harus menjaga keamanan negara. para teroris berbendera islam juga dibela oleh para pengacara muslim. Bagi saya Islam hanyalah alat kaum Luciferian untuk melenyapkan kekristenan baik secara halus dan santun maupun secara brutal. Luciferian adalah musuh alami kekristenan, juga sebaliknya. Agama atau doktrin atau ideologi apapun yg berkeinginan kekristenan lenyap adalah alat kaum Luciferian
HapusPertarungan di dunia ini hanya bermuara pada Yesus dan Lucifer. Yesus Anak Tuhan yg taat, Lucifer anak Tuhan yg memnerontak. Siapapun yg benci kekristenan memiliki roh Antikristus di dalamnya. 4 detail gugling: Albert Pike 'we control islam to destroy the west'
Itu kan zaman sekarang yg anda katakan tidak dengan pemaksaan. Tidak boleh disamakan dengan zaman dulu yg kenyataannya menggunakan kekerasan dan pemaksaan.
Hapushanya tuhan palsu yg berkenan dengan semua keterpaksaan. untungnya Yesus tidak mengajarkan bahwa org kristen yg tak ke gereja hari minggu harus diberi hukuman oleh negara. seandainya Yesus mengajrkan shariah kristen, tentulah Yesus tak layak jadi Mesias. Jika saya Tuhan saya tak akan membiarkan manusia ciptaan saya untuk diintimidasi agar percaya saya Tuhan. Tetapi hukuman di akhir kesempatan untuk percaya telah saya sediakan. Bukan pemerintah atau org lain yg memberi hukuman itu tapi saya sendiri sebagai Tuhan.
BalasHapusLebih baik anda jangan sok tahu, urus agamamu dulu bro jangan diurus agama lain lebih baik kita urus agama masing masing biarlah sejarah itu terukir dan kita selaku yang hidup harus menata lebih baik untuk generasi kita
HapusTrinity concept of mainstream is not biblical. Tawhid is not trinity, tawhid is monotheistic. Trinity is oneness not one. www.jesusking.xyz
BalasHapusArtikel ini hanya menunjukkan kebodohan penulisnya saja. Sebagai bukti sejarah,kenyataanya kaum Adat bersedia bergabung kembali bersama kaum Paderi nantinya dalam memerangi belanda(yang notabene adalah pembawa Kekristenan di Nusantara).Makanya di Minang sekarang dikenal dengan adat basandi syarak,syarak basandi Kitabullah.
BalasHapusTulisan yang sangat tendensius. Saya orang Minang merasa terusik dengan isi tulisan anda
BalasHapuskadang kebenaran memang sulit diterima.
HapusBaca adab perang dalam Islam, perempuan, anak2, bahkan tumbuhan dilarang dibunuh dan dirusak
BalasHapusTapi kentaanya itulah yg terjadi dimasa lalu.
Hapus