Makna dan Nilai Musik Gonrang
bagi Masyarakat Simalungun
(Poliaman Purba, S.Fil.)
A. Pengantar
Gonrang
adalah salah satu hasil dari kesenian masyarakat Simalungun yang mempunyai
struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun. Gonrang adalah salah satu hasil karya seni masyarakat Simalungun. Gonrang memiliki fungsi dalam kehidupan
masyarakat Simalungun. Gonrang itu
sendiri terdiri dari beberapa macam alat musik yang masing-masing memiliki
makna. Gonrang tidak bisa terlepas
dari acara adat dalam budaya Simalungun. Secara spontan kehadiran Gonrang dalam budaya Simalungun bermakna
ganda yakni bersifat religi/sakral/adat dan bersifat rekreatif. Gonrang dalam masyarakat Simalungun
memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Selain itu gonrang juga mengungkapkan suatu cita/harapan, karakter, sifat,
cita rasa seni dari masyarakat Simalungun.
B. Masyarakat Simalungun
1. Topografi dan Letak Geografis
Daerah Simalungun adalah daerah yang diapit oleh wilayah Asahan, Deli
Serdang, Dairi dan Tapanuli. Hal ini memberi gambaran bahwa tanah Simalungun
“didesak” dari segala penjuru, sehingga wilayah Simalungun itu menjadi simou, dan sampai sekarang sulit
menentukan dari mana sampai ke mana daerah Simalungun itu. [1]
Walaupun demikian dapat juga diketahui bahwa wilayah Simalungun membentang dari
daerah tinggi Raja, Serbelawan, Pematang Siantar, Panei Tongah, Raya, Purba,
Saribu Dolok, sampai pada pinggiran Danau Toba: Haranggaol, Tiga Ras, Sidamanik
dan Sindar Raya. Wilayah Simalungun mempunyai tanah yang subur dan pemandangan
yang indah. Tak mengherankan bila sayur-mayur dan buah-buahan yang terbaik
menjadi andalan utama masyarakat Simalungun.
2. Siapakah Suku Batak
Simalungun?
Simalungun adalah salah satu
dari sub Batak dan sekaligus menjadi nama sebuah kabupaten di Sumatera Utara.
Barangkali tidak banyak orang non Batak yang mengetahui keberadaan suku
Simalungun. Karena secara kuantitatif, masyarakat Simalungun adalah kelompok
minoritas bila dibandingkan dengan sub Batak Toba. Simalungun merupakan salah
satu suku dalam Batak di antara sub lainnya, yakni: Toba, Karo Mandailing, Pakpak
dan Angkola. Meskipun Simalungun adalah tanah leluhur orang Simalungun, namun
belakangan ini secara statistik orang Simalungun hanyalah penduduk masyarakat
peringkat ke 3 setelah Jawa dan Toba. Orang Simalungun lebih banyak berdomisili
di luar daerah Simalungun.
Asal-usul nama Simalungun sebenarnya masih menjadi pertanyaan: dari
mana asal-usul kata “Simalungun”? Ada beberapa pendapat yang dapat
menjelaskannya:[2]
1. Menurut Drs. U.H. Damanik, Simalungun berasal dari kata si-ma-lungun. Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan dan lungun berarti sunyi atau rindu.
2. Menurut Drs. K. Sipayung, Simalungun berasal dari siou-ma-lungun. Siou berarti daerah, ma
adalah awalan dan lungun adalah sunyi
atau sepi. Jadi Simalungun berarti daerah yang sepi.
3. Menurut T. Ms. Purba Raya, Simalungun berasal dari Silaou-ma-lungun. Dengan
menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Nagur. [3]
4. Menurut D. Kenan Purba SH, Simalungun berasal dari Sima-lungun,
sima artinya sisa dan lungun berarti kesedihan. Jadi
Simalungun berarti sisa dari kesedihan.
Dari sekian banyak pendapat tentang
asal-usul nama simalungun, kebanyakan
orang menerima kata simalungun
berasal dari simou-lungun, sesuai dengan pendapat D. Kenan
Purba SH. Simou artinya samar-samar
yaitu antara nampak dan tidak kelihatan dengan jelas, tetapi jelas ada dan lungun berarti sunyi/lengang, karena
wilayah itu dulunya adalah sepi.
2. Asal-usul Suku Simalungun
Berbicara tentang asal-usul suku Simalungun sering mengundang kontroversi
dan beraneka ragam penuturan. Namun yang dipakai sebagai patokan adalah bahan
yang mempunyai bukti penelitian sejarah
yang kuat. Menurut penelitian ilmiah, seluruh penduduk nusantara berasal dari
Hindia Belakang (India Selatan). “Menurut penelitian Prof. G. Ferrard, seorang
antropolog Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke nusantara terjadi
dalam dua gelombang. Periode pertama disebut Proto Melayu dan periode yang kedua disebut Deutero Melayu”.[4]
Proto Melayu datang sekitar tahun
1000 SM dan mendiami pesisir pantai nusantara. Kelompok ini diyakini sebagai
nenek moyang suku Batak (Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias. Dan Deutero Melayu datang sekitar tahun 500
SM dan mendesak kelompok Proto Melayu
untuk pindah ke pegunungan. Dan kelompok ini diyakini sebagai nenek moyang dari
suku Jawa.[5]
3. Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Simalungun pada umumnya ialah berladang (marjuma) dan membuka hutan (mangimas) untuk menanam padi, ubi dan
jagung sebagai bahan makanan pokok. Di daerah yang lebih subur dan tinggi sekarang, masyarakat menanam sayur-sayuran
dan buah-buahan. Profesi lain yang tidak kalah pendapatannya dengan bertani
ialah menyadap nira (maragad).
4. Bahasa
Masyarakat Simalungun memakai bahasa yang sama, tetapi masing-masing
daerah punya dialek yang khas dan berbeda. Walaupun mempunyai dialek yang
berbeda, pada umumnya masyarakat yang berlainan dialek mengerti dan tahu
maksudnya. Ada empat dialek yang terdapat di Simalungun, yaitu: dialek Silima
Kuta, dialek Raya, dialek Topi Pasir (tepi pantai) dan dialek Jahe-Jahe. Dan
aksara yang terdapat di Simalungun disebut surat
si sapuluh siah.
5. Marga di Simalungun
Ada empat marga (nama keluarga) asli Simalungun yang populer dengan
akronim SISADAPUR, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba.
Keempat marga ini dihubungkan dengan raja-raja yang pernah berkuasa di
Simalungun. [6]
Selain keempat marga itu, ada juga marga lain yang jelas berasal dari
Simalungun. Di Simalungun bawah ada: Sitorus,
Manurung dan Butar-Butar. Dan di Simalungun atas ada: Sipayung, Silalahi, Simanjorang, Sitopu, Lingga dan Sinurat.[7]
6. Sistem Kemasyarakatan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Simalungun masih sangat kental
dengan warisan pengaruh dari India, yakni dengan adanya kasta dalam masyarakat.[8]
Stratifikasi-stratifikasi itu terdiri dari:
- Golongan Partuanon (Upper Class)
Golongan ini adalah golongan bangsawan, raja, para menteri
dan wakil-wakil raja di wilayah kekuasaan.
- Golongan Parumaha (Middle Class)
Golongan ini dihuni oleh kelompok masyarakat yang bebas,
tidak punya hubungan darah dengan raja. Mereka adalah rakyat biasa, pemilik ladang
dan yang menjalankan roda perekonomian rakyat. Kaum parumaha adalah orang yang siap diminta melayani raja (baik sebagai
tentara maupun menyediakan kebutuhan kerajaan).
- Golongan Jabolon (Lower Class)
Masyarakat yang termasuk dalam kasta ini adalah budak atau
tenaga kerja kasar yang bekerja untuk orang kaya dan raja. Golongan jabolon (budak) adalah orang-orang yang
kemerdekaannya dibatasi. Golongan jabolon
juga termasuk orang yang terlantar karena orang tua yang tidak jelas, tawanan
perang dan orang yang tidak bisa melunasi hutangnya.
7. Sistem Religi
Suku Simalungun kuno memiliki kepercayaan yang berhubungan dengan
pemakaian mantera-mantera dari dukun (datu) disertai persembahan kepada roh-roh
nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada 3 dewa, yaitu: dewa di atas
(dilambangkan dengan warna putih), dewa di tengah (dilambangkan dengan warna
merah), dan dewa di bawah (dilambangkan dengan warna hitam). Tiga warna yang
mewakili dewa-dewa (putih, merah dan hitam) mendominasi ornamen suku Simalungun
mulai dari pakaian (ulos) sampai pada
hiasan rumahnya (gorga).
C. Ansambel Musik Gonrang Simalungun
- Mitologi Gonrang
Pada
suatu bulan purnama, turunlah ke dunia ini seorang wanita cantik bernama Rambu Di Bulan dan bertemu dengan seorang
laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Setelah beberapa lama pasangan suami
istri ini akhirnya mempunyai sembilan orang anak; dua laki-laki dan tujuh
perempuan. Kesembilan orang itu bernama; Rahat
Dipanei, Sahat Manandar, Nondarhayani Bulan, Bangkisania, Rongga Huning,
Horainim, Samainim, Medainim, dan Dongmaranim. Setelah dewasa, mereka
berniat untuk mengadakan upacara Tetabuhan dan kedua orang tuannya
memenuhi keinginan anaknya. Anak yang tertua yaitu Rahat Dipanei tergerak hatinya untuk membuat seperangkat alat
musik. Kemudian ia membuat tujuh buah gendang (gonrang) sesuai dengan jumlah saudara perempuannya yang dikerjakan
selama tujuh hari. Rahat Dipanei
memberi ketujuh gonrang itu sesuai
dengan nama ketujuh saudarinya. Untuk memulai upacara maka ditentukan hari
perayaannya yang jatuh pada hari Sukra,
yang mempunyai makna pengasih. Sebelum gendang dibunyikan terlebih dahulu
disiapkan kebutuhan peradatan untuk upacara itu, antara lain; nitak botara siang, galuh sitabar (pisang), sangka
ampilit, silanglang habungan,
lampuyang. Kemudian sekapur sirih disuguhkan (isurdukkon) kepada rombongan panggual
sebagai penghormatan untuk memulai membunyikan gendang, dimana gual akan segera dimulai.
Beberapa
lama setelah upacara itu, Rahat Dipanei kawin dengan si Rangga Huning. Pada
pesta perkawinan itu, juga ditabuh gendang. Pada acara perkawinan ini, gonrang
yang dipakai hanya enam buah. Hal ini untuk menjaga kemungkinan terulangnya
kembali peristiwa masa lalu terhadap keluarganya, di mana adik perempuan mereka
yang paling bungsu (Dongmarainim) hilang, yang diduga diambil oleh orang
Bunian, semacam roh halus, pada upacara manggual
yang pertama. Dari perkawinan Rahat Dipanei dengan Rangga Huning ini lahirlah
anaknya yang bernama Tuan Somarliat, yang mempunyai kesaktian. Dia mampu
mengobati segala jenis penyakit dan mampu mengusir roh-roh jahat.[9]
- Gonrang Simalungun
Dikalangan masyarakat Simalungun gonrang merupakan musik utama yang
selalu hadir dalam acara-acara besar Simalungun seperti pernikahan, kematian
dan pesta-pesta adat.[10]
Namun dalam perjalanan waktu musik tradisional ini sudah mulai kurang diminati
oleh masyarakat Simalungun. Peranan alat musik gonrang dalam acara-acara besar
Simalungun telah diambih alih oleh musik keyboard
dan alat musik modern lainnya. Gonrang sendiri mulai mengalami gejala
kemunduran sejak tahunn 1940-an dan bahkan hampir punah total. Penyebab
kemunduran gonrang ini diakibatkan
antara lain: pertama para misionaris Protestan yang masuk ke Simalungun dan
melarang pemakian alat musik gonrang
karena dianggap terlalu kuat berhubungan dengan upacara-upacara animisme, kedua
peristiwa revolusi sosial yang terjadi di Simalungun yaitu istana kerajaan yang
ada di Simalungun dibakar, yang yang ketiga akibat hilangnya minat kaum muda
masyarakt Simalungun untuk belajar
alat-alat musik gonrang Simalungun.
- Gonrang Seperangkat Alat Musik
Istilah gonrang mencakup dua arti. Pertama, gonrang berkaitan langsung dengan alat musik gendang yang merupakan
istilah generetik bagi setiap jenis alat musik tabuh. Kedua, gonrang sebagai alat musik dengan
seperangkat alat musik Batak Simalungun yang lengkap, terdiri dari: gonrang (gonrang sipitu-pitu atau gonrang
bolon dan gonrang sidua-dua ),
gong (ogung dan mongmongan masing-masing dua buah), sarunei (satu buah), dan sitalasayak
atau talasayak (dua buah).
a.
Gonrang
Gonrang adalah alat tabuh yang dibuat
dari kayu. Di kalangan masyarakat Simalungun, ada dua jenis komponen musik gonrang yaitu gonrang sipitu-pitu atau gonrang
bolon dan gonrang sidua-dua atau gonrang dagang. Pemberian nama terhadap
alat musik ini dilatarbelakangi oleh jumlah gonrang
yang dipakai. Gonrang sipitu-pitu
karena gonrang yang dipakai terdiri
atas tujuh buah.
Cara membuatnya sebagai berikut: Mula-mula
memilih salah satu jenis kayu yang akan digunakan, kemudian memotongnya sesuai
dengan ukuran yang diperlukan. Bagian dalam kayu dilobangi sehingga menjadi
sebuah tabung, yang biasa disebut baluh.
Umumnya penampang bagian muka (bohi)
lebih besar dari bagian ekor (ihur).
Pada bagian ekor baluh ditutup dengan
papan atau kayu yang berbentuk bundar, sedangkan bagian muka dipasangakn kulit
binatang, biasanya kulit kerbau atau kulit lembu yang diikat dengan rotan.
Permukaan kulit inilah yang dipukul dengan alat pemukul (stik) sehingga gonrang
mengeluarkan suara yang nyaring.[11]
1)
Gonrang
sipitu-pitu
Gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon adalah alat musik yang
terdiri dari tujuh buah gonrang. Gonrang
yang paling besar disebut jangat,
yang berfungsi sebagai bassnya. Dua alat
tabuh yang paling kecil disebut hat
dan ting (digabungkan menjadi hatting), berfungsi sebagai nada yang
paling tinggi. Penabuh jangat dan hatting masing-masing satu orang. Mereka
bertugas memainkan gonrang sedemikian
rupa dengan pola irama yang konstan untuk masing-masing jenis gual yang dibawakan. Keempat baluh lainnya disebut panongah (penengah), karena memang
posisinya berada di tengah (antara jangat
dan hatting). Keempat alat tabuh ini
dimainkan oleh seorang penabuh sedemikian rupa secara improvisasi berdasarkan
alunan melodi sarunei. Para penabuh
memainkan gonrang sedemikian rupa
dengan tetap memperhatikan harmoni bunyi musik pada setiap gual yang dibawakan.
2)
Gonrang sidua-dua
Gonrang sidua-dua atau gonrang dagang terdiri dari sepasang alat musik gonrang. Pasangan yang satu disebut jangat, yaitu alat tabuh yang berukuran besar dan nadanya lebih
rendah. Padanan untuk kata jangat itu
sendiri dalam bahasa Indonesia adalah inti atau sari. Oleh sebab itu jangat memegang peranan yang inti dalam
permainan musik gonrang Simalungun. Jangat berfungsi untuk membawakan pola
irama yang yang berkaitan dengan nuansa gual
atau jenis gual tertentu. Pola yang
dibawakan, sebagai dasar bagi irama yang dimainkan, diulang terus menerus
hingga gual tersebut selesai
dimainkan
Pasangan
yang satu lagi disebut tikkah, yaitu
alat tabuh yang berukuran yang lebih kecil dan bernada lebih tinggi. Kata tikkah berasal dari kata kerja manikkah yang artinya “menemani” dan
“menentang”. Funsinya sesuai dengan arti
kata “menemani” dan “menentang”, artinya tikkah
dimainkan diantara ataupun sesudah ketukan bunyi pukulan pada jangat, yaitu mengisi uang kosong
diantara ketukan tersebut dengan rumusan irama tertentu atupun dengan
improvisasi. Namun walaupun gonrang sidua-dua ini hanya terdiri dari atas dua buah gonrang dan dianggap kurang lengkap, tetapi dari segi musik jumlah
ini dianggap cukup memenuhi fungsinya.[12]
b.
Gong
Gong
merupakan salah satu kompenen yang penting yang terdapat dalam musik gonrang Simalungun. Gong ini sama dengan
gong yang ada pada suku Jawa atau suku lain. Yang membuat berbeda ialah bahwa
gong yang ada dalam musik gonrang Simalungun
terdiri dari dua jenis ukuran. Ukuran yang lebih besar “sibaggalan” (dua buah) disebut ogung,
sedangkan yang lebih kecil “sietekan”
disebut mongmongan.[13]
1)
Ogung
Ogung merupakan komponen dalam musik gonrang Simalungun, yang terbuat dari logam perunggu atau kuningan.
Ogung ini terdiri dari sepasang gong
berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 30-40 cm, yang pada bagian
pusatnya terdapat tonjolan. Pada umumnya gong-gong yang dipakai untuk ogung dalam
musik gonrang Simalungun memiliki
ukuran yang kurang lebih sama.
Kentungan atau alat pemukul yang dipakai untuk memukul gong tersebut
sangatlah mudah untuk membuatnya. Karena hanya terbuat dari tongkat dengan
ukuran tertentu yang mana salah satu ujungnya dibebatkan seutas kain atau karet
dengan kuat.[14]
Suara ogung akan terdengar nyaring
apabila bagian tengahnya dipukul dengan alat pemukul. Kedua ogung dipukul sedemikian rupa secara
silih berganti, sesuai dengan ritme lagu yang sedang dimainkan. Fungsi kedua ogung ini sangat vital, yakni sebagai
penentu mad sebuah lagu atau gual
yang sedang dibawakan. Karena sifatnya yang konstan dan stabil, ogung menjadi kerangka irama dasar bagi
seluruh ansambel musik gonrang.
2)
Mongmongan
Mongmongan adalah sepasang gong yang
memiliki ukuran lebih kecil dari ogung,
berdiameter antara 15-20 cm. Pada umumnya mongmongan
terbuat dari kuningan, bentuknya bundar dan pada bagian tengah terdapat
benjolan. Ukuran kedua mongmongan ini
tidak persis sama, ada yang lebih besar (mongmongan
banggal) dan ada yang lebih kecil (mongmongan etek). Mongmongan
dimainkan dengan cara memukul tonjolan dengan sebuah tongkat (tanpa dibebat
atau dililit dengan kain atau karet), sehingga menghasilkan suara yang lebih
tinggi. Sama seperti ogung, fungsi mongmongan adalah sebagai kerangka irama
dasar gonrang. Biasanya mongmongan dipukul silih berganti dengan
frekuensi ganda dari pukulan ogung.[15]
c.
Sitalasayak
Komponen
keempat dalam musik gonrang adalah sitalasayak atau talasayak, yakni terdiri
dari sepasang piringan gembreng (simbal) yang memiliki ukuran yang sama terbuat
dari logam kuningan. Tetapi pada masa kini komponen keempat dalam musik gonrang ini sudah jarang kita temukan
dalam permainan musik gonrang.
Hilangnya sitalasayak ini dari
permainan musik gonrang tidak
diketahui penyebabnya dengan pasti. Dugaan orang mungkin disebabkan oleh
keberadaan gonrang pada zaman modern
ini. Selain itu sitalasayak juga
dianggap tidak terlalu penting dan peranannya tidak terlalu vital dalam
ansambel musik gonrang Simalungun.[16]
d.
Sarunei
Komponen
kelima dalam musik gonrang Simalungun
yakni sarunei. Sarunei adalah sejenis alat musik tiup yag terdiri atas tiga bagian
penyusunnya, yakni: baluh, nalih, dan sigumbangi. Baluh atau laras terbuat dari jenis kayu yang
keras. Panjang baluh kira-kira 38 cm.
Baluh dilobangi sedemikian rupa mulai
dari bagain ujung yang satu hingga ujung yang satu lagi. Pada permukaan baluh diberi lubang suara sebanyak
tujuh, satu lubang pada bagian bawah dan enam lubang pada bagian atas baluh.
Dalam proses pembuatan baluh ini cukup sulit dan membutukan keterampilan yang khusus
dan disertai dengan alat-alat khusus pula.
Nalih adalah bagian perantara baluh
dengan lidah atau anak ni sarunei
(buluh getar). Panjang nalih kira-kira
4 hingga 6 cm. Pada bagian bawah galuh
dipasangkan sigumbangi yang terbuat dari kayu atau bambu dengan panjang
setengah atau dua sepertiga dari panjang baluh.
Sigumbangi berfungsi untuk menambah
volume suara sarunei. Sigumbangi digunakan pada saat acara-acara adat. Jika sigumbangi dilepas, menurut kepercayaan
orang Simalungun, maka musik yang dimainkan bukan lagi berkenaan dengan acara
adat, atau malah ditabukan dalam adat.[17]
Sarunei adalah komponen utama dalam
rangkaian ansambel gonrang. Fungsi sarunei adalah sebagai melodi utama gual, sedangkan alat musik lainnya
sebagai sarana pendukung bagi bunyi melodi utama.
D. Musik Gonrang Simalungun dan Kegunaannya
Pembagian karya musik Gonrang Simalungun merupakan akibat
langsung dari kecermatan masyarakat tradisional Simalungun dalam hal-hal
kepantasan pada suasana tertentu. Sebelum kita melihat musik Gonrang Simalungun dan kegunaannya, pada
bagian pertama dan kedua kita akan melihat beberapa jenis upacara dan istilah
yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu rakyat serta hubungannya
dengan musik gonrang.
1. Jenis upacara yang termasuk melibatkan penggunaan musik gonrang, yaitu:
a.
Manraja
yaitu upacara pemahkotaan atau pengangkatan seorang raja baru. Upacara
ini diikuti oleh para wewenang keagamaan atau datu maupun oleh adat sebagai
peneguh.
b. Pemakaman Raja
c.
Mangalo-alo Tamuei yaitu acara yang diiringi
musik gonrang dan juga penari untuk
menyambut kedatangan tamu. Biasanya para pembesar atau tamu raja (agung).
d.
Pembuatan Losung Boras yaitu tempat menumbuk
padi menjadi beras atau beras menjadi tepung pada masa itu.
Ø Manogu losung yaitu pada saat anak muda kampung berusaha memindahkan kayu besar
bahan untuk pembuatan losung dari
hutan ke kampung. Maka, untuk menghibur mereka supaya tidak merasa lelah, diutuslah
seorang anak gadis untuk menari-nari dan menghibur mereka sepanjang perjalanan
dari tengah hutan sampai kampung.
Ø Marsapu-sapu yaitu sebuah acara untuk anak muda-mudi ketika peresmian losung dilangsungkan.
e. Memasuki rumah baru
f.
Ritual-ritual, seperti: perasukan, penyucian
spiritual, dan pengusiran setan (roh jahat)
g.
Pesta Marrondang Bittang yaitu sebuah perayaan meriah atas panen (sering
juga disebut sebagai pesta panen).
2. Istilah-istilah yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu
rakyat dan hubungannya dengan musik gonrang,
seperti:
a.
Doding dan Ilah
dalam bahasa Indonesia diartikan secara kasar “nyanyian”. Pada masyarakat
tradisional Simalungun, istilah doding
dan ilah mempunyai arti yang berbeda.
Dikatakan doding jika dinyanyikan
oleh satu orang (solo) dan jika dinyanyikan oleh banyak orang (nyanyian
bersama) mereka sebutlah itu ilah.
Namun, pada akhir-akhir ini, bilamana doding
dan ilah diadaptasikan ke dalam
bentuk ragam karya musik gonrang,
maka tidak akan dijumpai adanya perbedaan secara musikal antara kedua jenis
lagu tersebut. Satu-satunya yang membuat kedua jenis lagu ini mudah dikenali
pada suatu karya musik gonrang yaitu
karena kedua jenis lagu ini menggunakan judul khas yang disertai dengan nama
daerah asal lagu tersebut. Seperti: Ilah
Hinalang, Ilah Siborou, atau Ilah
Si Pagar Tongah. Juga judul-judul
lagu seperti doding Sinondang, Doding
Hutabayu, dan doding Panei,
menunjukkan daerah asal lagu tersebut.
b.
Inggou sebuah istilah bahasa Simalungun yang
berkaitan erat dengan istilah doding
dan ilah. Konsep makna yang benar
untuk istilah ini sangat sukar untuk didefinisikan namun, arti inggou yang hampir mendekati yaitu
bentuk-bentuk cara mengekspresikan rasa kesedihan dan kerinduan yang merupakan
fokus dari konsep inggou tersebut.
c.
Gual sebuah istilah dalam bahasa Simalungun
yang paling lazim digunakan saat mengutarakan mengenai suatu lagu untuk
ansambel musik gonrang.
3. Musik Gonrang dan Kegunaannya
a.
Musik Gonrang sebagai jenis lagu : Gual
Ada dua klasifikasi dasar dalam
karya-karya musik gonrang. Yang
pertama gual yang dianggap bersifat gembira dan sedih, dan yang kedua gual yang bergantung pada makna lagu tersebut dan suasana saat gual tersebut dibawakan pada saat
upacara-upacara adat atau dibawakan secara khusus untuk maksud sebagai hiburan
atau penggembira.
b.
Musik Gonrang sebagai upacara
Ø Gual Parahot
Dalam pengelompokannya, seluruh gual menggunakan kata parahot dan sering disebut dengan
istilah gual parahot. Seluruh gual parahot terbagi menjadi dua
kategori: yang pertama gual yang
berkenaan dengan sifat Tuhan yaitu gual
parahot urutan 1 sampai dengan 12 dan yang kedua gual yang berkaitan dengan sifat manusia dan alam gaib atau
kehidupan fana di bumi (sifat keduniaan) yaitu gual parahot urutan 13 sampai dengan 16.
Gual
parahot harus dimainkan pada urutan yang tetap dan tidak dapat diubah-ubah.
Selain sebagai sarana penghormatan kepada Tuhan dan kehidupan manusia, gual
ini juga bisa dikatakan sebagai “ritus
pembukaan” dalam seluruh rangkaian acara. Karena itu harus didengarkan dengan
penuh rasa hormat sambil merenungkan makna gual
tersebut
Pada kesempatan ini kita akan
melihat ke 16 buah gual parahot dalam
budaya Simalungun secara berurutan dan maknanya secara singkat. Parahot Habian yaitu mengacu kepada
sifat Tuhan yang Mahabesar, Mahatinggi,
dan Mahakuasa. Parahot Gunung mengacu
kepada kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Ibarat kita berdiri di atas gunung dan
melihat semua keindahan ke mana kita memandang. Parahot Sidua Jangat mengungkapkan pujian akan kebijaksanaan Sang
pencipta yang Mahatinggi. Parahot Ujian
Pandei mengungkapkan ke Mahakuasaan Tuhan yang mengetahui, mendengar dan
melihat segala sesuatu. Parahot matua.
Parahot Narandungan Boru. Parahot Nanrandungan Habian. Parahot Hundu-hunduma
Tuhan. Parahot Hundu-hundulma Puang. Parahot Rambing-ranbing Habian. Parahot
Rambing-rambing Tanoh Jawa. Parahot Rambing-rambing Raya Tongah. Parahot
Dangul-Dangul. Parahot Tus-tus Balai Gonjang. Parahot Potik Layam. Dan Parahot
Basaian.
Ø Gual Adat
Setelah rangkaian gual parahot[18]
berakhir, acara dilanjutkan dengan gual
adat. Pada kesempatan ini penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon) dan segenap undangan diperkenankan untuk menari
sesuai dengan gilirannya masing-masing. Urutan didasarkan atas kedekatan
seseorang dengan pihak Hasuhutan Bolon.
Pada kesempatan ini, hubungan kekerabatan Tolu
Sahundulan dan Lima Saodoran
jelas ditampakkan, di mana kelima kelompok adat tersebut akan menari
bersama-sama (tortor riap).[19]
Ø Gual Rahatan
Setelah
rangkaian gual adat selesai, maka
selanjutnya akan ditampilkan gual rahatan
atau sering disebut dengan gual
hiburan. Pada kesempatan ini, semua undangan bebas meminta gual untuk dibawakan sesuai dengan pilihan undangan yang hadir itu.
Selain itu, kesempatan ini menjadi kesempatan bagi kaum muda dan anak-anak melatih
diri untuk belajar manortor dengan
bimbingan orang tua.[20]
c.
Musik Gonrang sebagai Tortor Kekerabatan
Tortor merupakan tarian
tradisional daerah Simalungun. Setiap gerakan tortor merupakan kesesuaian antara gerak, pola, dan ketentuan
dengan musik khas dalam tortor
Simalungun. Pada dasarnya, pengertian manortor
bukan hanya sekedar menarik dan melenggak-lenggok, tapi lebih dari itu. Bahwa
setiap gerakan yang diciptakan di dalam sebuah tortor mempunyai makna simbolik yang mendalam. Lagi, tortor tidak bisa dipisahkan dengan gonrang. Artinya, tortor akan dibawakan apabila gonrang
dibunyikan, demikian sebaliknya.
Pada suatu acara pesta, semua
undangan yang hadir turut serta manortor
sebagai ungkapan kegembiraan dan keterlibatan di dalam pesta itu. Demi kelancaran
dan untuk memastikan bahwa semua yang hadir terlibat dalam acara tarian, maka
dibuatlah suatu pedoman atau ketentuan mengenai urutan menari. Urutan
ditentukan atas dasar kedekatan seseorang dengan pihak penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon). Intinya, pada saat manortor (menari) dalam harmoni
kekerabatan masyarakat Simalungun.
E. Makna Gonrang bagi Masyarakat Simalungun
Membudayanya
masyarakat Simalungun terlukis secara khas dan musik tradisional gonrang. Dengan bentuk dan karakternya
yang unik, gonrang menjadi salah satu
wahana untuk mengekspresikan eksistensi jati dirinya secara utuh dan mendalam.
Kedalaman seorang Simalungun baik menyangkut isi pikiran, hati, imajinasi serta
luapan emosionalnya dimediasi/diperantarai
dalam dan melalui gonrang. Gonrang
menjadi pemuat nilai-nilai budaya
Simalungun secara simbolik. Penyampaian kembali nilai-nilai budaya itu terjadi
secara simbolik pula. Adapun nilai simbolik-kultural musik gonrang, yakni: nilai religius, nilai sosial dan nilai estetis.
a) Nilai Religius
Religi
dalam konteks budaya Simalungun bukanlah agama dalam arti sebenarnya
(formal-institusional). Religi orang Simalungun sebagai landasan nilai dan
budaya, selalu terarah dan terasosiasi pada religi tradisional dan orisinal.
Sebutan Makhluk Ilahi dalam konteks religius masyarakat Simalungun ialah Naibata.
Pengakuan
terhadap Naibata sebagai penguasa
segala sesuatu menjadi landasan yang cukup mendasar yang meresapi seluruh perikehidupan masyarakat Simalungun.
Nilai-nilai religius-kultural ini termuat secara simbolik dalam penyajian gonrang (margonrang), khususnya dalam rangkaian gual parahot. Dalam rangkaian gual
parahot tampak dengan jelas bagaimana orang Simalungun menunjukkan sikap
hormat dan sembah sujud di hadapan Yang Ilahi. Orang Simalungun meyakini bahwa
kesejahteraan hanya dicapai bila memperoleh berkat dari Naibata. Alasan mengapa gual
parahot tidak boleh ditarikan dimaksudkan agar setiap orang dapat
memusatkan perhatian pada makna gual
tersebut.
Selain
itu, bagi orang Simalungun memainkan alat musik tabuh secara tradisional
merupakan salah satu cara untuk memanggil arwah para leluhur. Tujuannya adalah
agar para kerabat yang masih hidup di dunia ini dapat “berdialog” dengan arwah
atau roh leluhur dari yang bersangkutan. Dialog dengan roh leluhur terjadi
dengan perantaraan seorang datu yang
bertindak sebagai perantara roh leluhur.
Orang
Simalungun juga percaya akan tonduy
dan begu-begu. Di kalangan orang
Simalungun tradisional terdapat berbagai upacara ritual untuk memanggil tonduy. Jika menurut penglihatan seorang
datu seseorang mengalami sakit akibat
tonduy-nya meninggalkan tubuhnya,
maka segera diadakan upacara mardilo
tonduy (memanggil tonduy) atau
biasa disebut maranggir. Upacara
ritual ini bertujuan untuk mengajak atau memanggil tonduy-nya agar memasuki tubuhnya, sehingga dapat pulih kembali.
Dalam upacara ritual ini, penyertaan musik gonrang
sangat diperlukan. Dari sini tampak bahwa musik gonrang memiliki nilai religius bagi masyarakat Simalungun. Religi
orang Simalungun diungkapkan dalam musik gonrang
yakni dalam berbagai upacara ritual keagamaan masyarakat Simalungun
tradisional.
b) Nilai Sosial
Dapat
dikatakan bahwa penyajian gonrang
turut mengintensifkan tatanan sosial masyarakat Simalungun dengan meneguhkan
ikatan kekerabatan, sebagai alat komunikasi dan sebagai sarana hiburan. Kekuatan
kekerabatan dihadirkan melalui penegakan adat dalam kehidupan sehari-hari
melalui acara-acara seperti tari-tarian adat, yang ditampilkan hampir pada
setiap acara pesta. Pada acara adat, gonrang
hadir sebagai perantara (mediasi) yang membantu mempererat hubungan
kekerabatan.
Gonrang bersama dengan tarian adat (tortor)
mengintensifkan kelekatan hubungan kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran.
Relasi dengan sesama semakin terjalin erat karena pada saat manortor setiap orang mempunyai
kesempatan untuk bertemu dengan anggota kelompok kekerabatan Tolu Sahundulam Lima Saodoran secara
hangat dan penuh persaudaraan. Gual
yang dipilih pada saat manortor
adalah gual yang mengingatkan pihak tondong, boru dan sanina akan tata
krama keharmonisan sikap dan perilaku di antara mereka.
Nilai
sosial lain yang dikandung oleh musik gonrang
yaitu penyajian gonrang juga menjadi
sarana komunikasi. Dalam dan melalui gonrang,
orang Simalungun menyadari sepenuhnya tentang suasana hati yang sedang
dikomunikasikan, baik melalui lirik maupun nada musik pengiringnya. Gual yang bertempo cepat menunjukkan
suasana gembira dan bahagia. Gual
yang bertempo lambat menunjukkan nuansa kesedihan, kecemasan dan kesepian, yang
ditampakkan dalam inggou Simalungun.
Bagi orang Simalungun membawakan inggou
merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menyampaikan dan
mengkomunikasikan kedalaman isi hati, yang menunjukkan karakter khas orang
Simalungun.
Selain
itu, menampilkan gonrang adalah
kesempatan yang mendatangkan suasana hiburan bagi orang Simalungun. Salah satu
realitas kehidupan masyarakat agraris adalah rutinitas kerja yang
berkesinambungan dan kurang kegiatan alternatif untuk dijadikan sarana hiburan.
Pada masyarakat Simalungun tradisional, baik kaum tua maupun kaum muda, harus
mengadakan acara “selingan” agar terbebas dari rutinitas kerja yang membosankan
serta menghasilkan suatu suasana yang baru .
Pesta
merupakan salah satu bentuk acara selingan, khususnya pesta yang menyertakan
musik gonrang. Pada masyarakat
Simalungun tradisional
c) Nilai Estetis
Orang
Simalungun menghayati nilai-nilai estetis dalam musik gonrang yang mengungkapkan suasana hati dan pengakuan akan
keindahan. Pargonrang menciptakan
musik sedemikian rupa demi pemenuhan dan pemaknaan suatu gual dengan merumuskan simbol-simbol pada musik. Para pemain musik gonrang bertugas memfasilitasi
pengungkapan suasana hati pada masing-masing situasi upacara dengan cara
“menghidupkan” gual yang dibawakan.
Misalnya dalam tortor sombah yang
dibawakan oleh boru yang ditujukan
pada tondong-nya. Sikap sombah diwujudkan dengan mengatupkan
kedua telapak tangan dengan ujung jari menghadap ke atas dan disentuhkan pada
dahi. Dengan sikap merendah seperti ini, pihak boru menghampiri pihak tondong
sebagai wali dari Tuhan Yang Mahatinggi. Sambil menarikan tortor sombah, pihak boru
memohonkan surung dayung (kasih
sayang yang manja) dari tondong-nya. Sebaliknya,
bila pihak tondong hendak melimpahkan
berkat kepada boru-nya, gual yang dipilih adalah gual parahot rambing-rambing, karena gual ini berkaitan dengan aspek Tuhan
aspek Tuhan Yang Mahatinggi sebagai sumber belas kasih dan berkat. Sebagai
wujud pelimpahan berkat, pada saat menari pihak tondong berulang kali merangkul, mengusap wajah serta menumpangkan
tangan di atas kepala boru-nya. Selain
mengungkapkan kedalaman suasana hati,
alunan musik gonrang juga dapat menghantar kita kepada pengalaman
estetis yakni pengalaman akan keindahan.
Sebagai
karya seni musikal, penyajian musik gonrang
memuat nilai-nilai keindahan di dalamnya. Musik gonrang dengan berbagai jenis gual-nya
mampu menghantar para pendengar kepada pengalaman estetis sesuai dengan
karakteristik masing-masing gual. Arlin
Dietrich dalam bukunya mengatakan bahwa:
Gonrang
music is fundamentally a succession of variations created bu ornamentation and
elaboration on an essential melody. The emotion-producing qualities of musical
sound also cannot be proved unquestionably, although the phenomenon of
musicians being “carried away by the music” seems to be valid.
F. Penutup
Gonrang adalah salah satu karya seni musikal orang Batak Simalungun. Perannya
amat dekat dengan orang Batak Simalungun, khususnya sebagai pengiring dalam
upacara-upacara adat dan keagamaan (dalam masyarakat tradisional). Ansambel
musik gonrang bukan hanya sebagai
suatu apresiasi seni semata, melainkan juga sebagai wahana untuk mengungkap
eksistensi dan jati dirinya dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, para leluhur
dan sesamanya. Selain itu, gonrang
sebagai suatu karya seni tradisional tetap mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan struktur adat dan budaya Simalungun yang mendasarinya, yaitu Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Kesalingtergantungan
antara musik gonrang dengan konteks
budaya Simalungun merupakan suatu hasil dari peradaban yang diciptakan oleh
orang Simalungun.
Musik
gonrang mengandung nilai-nilai yang
cukup berarti bagi masyarakat Simalungun yakni nilai religius, nilai sosial dan
nilai estetis. Nilai religius terwujud dalam terlibatnya musik gonrang dalam upacara-upacara keagamaan
(ritual-ritual) dalam masyarakat Simalungun. Nilai sosial tampak dari
pentingnya musik gonrang dalam
acara-acara adat Simalungun yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada
kebudayaan Simalungun. Dan nilai estetis terungkap dalam penghayatan orang
Simalungun akan musik gonrang sebagai
karya seni musikal yang memuat suatu pengalaman estetis. Nilai-nilai ini saling
terkait satu sama lain dan membentuk suatu keharmonisan dalam budaya
Simalungun. Musik gonrang adalah
karya seni yang berharga dari masyarakat Simalungun.
[2] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...hlm. 12.
[3] Kerajaan Nagur adalah kerajaan pertama di Simalungun yang kuat dan
bersatu sebelum pecah menjadi 4 kerajaan. Kerajaan Nagur tercerai berai akibat
tidak bisa mengatur pemerintahan dan akibat timbulnya wabah sampar yang menelan
korban jiwa dalam jumlah yang banyak.
[8] Sortaman Saragih, Orang
Simalungun..., hlm. 80.
[10]
Gonrang Simalungun, http://Purbasigumonrang.blogspot.com/2009/05gondang-simalungun.htm
(tanggal 16 Mei 2010).