Jumat, 13 November 2015

Budaya: Makna dan Nilai Musik Gonrang bagi Masyarakat Simalungun

Makna dan Nilai Musik Gonrang
bagi Masyarakat Simalungun
(Poliaman Purba, S.Fil.)
    
          A.    Pengantar

            Gonrang adalah salah satu hasil dari kesenian masyarakat Simalungun yang mempunyai struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun. Gonrang adalah salah satu hasil karya seni masyarakat Simalungun. Gonrang memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat Simalungun. Gonrang itu sendiri terdiri dari beberapa macam alat musik yang masing-masing memiliki makna. Gonrang tidak bisa terlepas dari acara adat dalam budaya Simalungun. Secara spontan kehadiran Gonrang dalam budaya Simalungun bermakna ganda yakni bersifat religi/sakral/adat dan bersifat rekreatif. Gonrang dalam masyarakat Simalungun memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Selain itu gonrang juga mengungkapkan suatu cita/harapan, karakter, sifat, cita rasa seni dari masyarakat Simalungun.

B.     Masyarakat Simalungun

1.      Topografi dan Letak Geografis
Daerah Simalungun adalah daerah yang diapit oleh wilayah Asahan, Deli Serdang, Dairi dan Tapanuli. Hal ini memberi gambaran bahwa tanah Simalungun “didesak” dari segala penjuru, sehingga wilayah Simalungun itu menjadi simou, dan sampai sekarang sulit menentukan dari mana sampai ke mana daerah Simalungun itu. [1] Walaupun demikian dapat juga diketahui bahwa wilayah Simalungun membentang dari daerah tinggi Raja, Serbelawan, Pematang Siantar, Panei Tongah, Raya, Purba, Saribu Dolok, sampai pada pinggiran Danau Toba: Haranggaol, Tiga Ras, Sidamanik dan Sindar Raya. Wilayah Simalungun mempunyai tanah yang subur dan pemandangan yang indah. Tak mengherankan bila sayur-mayur dan buah-buahan yang terbaik menjadi andalan utama masyarakat Simalungun.

2.      Siapakah Suku Batak Simalungun?
Simalungun adalah salah  satu dari sub Batak dan sekaligus menjadi nama sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Barangkali tidak banyak orang non Batak yang mengetahui keberadaan suku Simalungun. Karena secara kuantitatif, masyarakat Simalungun adalah kelompok minoritas bila dibandingkan dengan sub Batak Toba. Simalungun merupakan salah satu suku dalam Batak di antara sub lainnya, yakni: Toba, Karo Mandailing, Pakpak dan Angkola. Meskipun Simalungun adalah tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistik orang Simalungun hanyalah penduduk masyarakat peringkat ke 3 setelah Jawa dan Toba. Orang Simalungun lebih banyak berdomisili di luar daerah Simalungun.
Asal-usul nama Simalungun sebenarnya masih menjadi pertanyaan: dari mana asal-usul kata “Simalungun”? Ada beberapa pendapat yang dapat menjelaskannya:[2]

1. Menurut Drs. U.H. Damanik, Simalungun berasal dari kata si-ma-lungun. Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan dan lungun berarti sunyi atau rindu.
2. Menurut Drs. K. Sipayung, Simalungun berasal dari siou-ma-lungun. Siou berarti daerah, ma adalah awalan dan lungun adalah sunyi atau sepi. Jadi Simalungun berarti daerah yang sepi.
3. Menurut T. Ms. Purba Raya, Simalungun berasal dari Silaou-ma-lungun. Dengan menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Nagur. [3]
4. Menurut D. Kenan Purba SH, Simalungun berasal dari Sima-lungun, sima artinya sisa dan lungun berarti kesedihan. Jadi Simalungun berarti sisa dari kesedihan.
            Dari sekian banyak pendapat tentang asal-usul nama simalungun, kebanyakan orang menerima kata simalungun berasal dari simou-lungun, sesuai dengan pendapat D. Kenan Purba SH. Simou artinya samar-samar yaitu antara nampak dan tidak kelihatan dengan jelas, tetapi jelas ada dan lungun berarti sunyi/lengang, karena wilayah itu dulunya adalah sepi.

2.      Asal-usul Suku Simalungun
Berbicara tentang asal-usul suku Simalungun sering mengundang kontroversi dan beraneka ragam penuturan. Namun yang dipakai sebagai patokan adalah bahan yang mempunyai  bukti penelitian sejarah yang kuat. Menurut penelitian ilmiah, seluruh penduduk nusantara berasal dari Hindia Belakang (India Selatan). “Menurut penelitian Prof. G. Ferrard, seorang antropolog Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke nusantara terjadi dalam dua gelombang. Periode pertama disebut Proto Melayu dan periode yang kedua disebut Deutero Melayu”.[4] Proto Melayu datang sekitar tahun 1000 SM dan mendiami pesisir pantai nusantara. Kelompok ini diyakini sebagai nenek moyang suku Batak (Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias. Dan Deutero Melayu datang sekitar tahun 500 SM dan mendesak kelompok Proto Melayu untuk pindah ke pegunungan. Dan kelompok ini diyakini sebagai nenek moyang dari suku Jawa.[5]

3.      Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Simalungun pada umumnya ialah berladang (marjuma) dan membuka hutan (mangimas) untuk menanam padi, ubi dan jagung sebagai bahan makanan pokok. Di daerah yang lebih subur dan tinggi  sekarang, masyarakat menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Profesi lain yang tidak kalah pendapatannya dengan bertani ialah menyadap nira (maragad).

4.      Bahasa
Masyarakat Simalungun memakai bahasa yang sama, tetapi masing-masing daerah punya dialek yang khas dan berbeda. Walaupun mempunyai dialek yang berbeda, pada umumnya masyarakat yang berlainan dialek mengerti dan tahu maksudnya. Ada empat dialek yang terdapat di Simalungun, yaitu: dialek Silima Kuta, dialek Raya, dialek Topi Pasir (tepi pantai) dan dialek Jahe-Jahe. Dan aksara yang terdapat di Simalungun disebut surat si sapuluh siah.

5.      Marga di Simalungun
Ada empat marga (nama keluarga) asli Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Keempat marga ini dihubungkan dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Simalungun. [6] Selain keempat marga itu, ada juga marga lain yang jelas berasal dari Simalungun. Di Simalungun bawah ada: Sitorus, Manurung dan Butar-Butar. Dan di Simalungun atas ada: Sipayung, Silalahi, Simanjorang, Sitopu, Lingga dan Sinurat.[7]

6.      Sistem Kemasyarakatan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Simalungun masih sangat kental dengan warisan pengaruh dari India, yakni dengan adanya kasta dalam masyarakat.[8] Stratifikasi-stratifikasi itu terdiri dari:
  1. Golongan Partuanon (Upper Class)
Golongan ini adalah golongan bangsawan, raja, para menteri dan wakil-wakil raja di wilayah kekuasaan.
  1. Golongan Parumaha (Middle Class)
Golongan ini dihuni oleh kelompok masyarakat yang bebas, tidak punya hubungan darah dengan raja. Mereka adalah rakyat biasa, pemilik ladang dan yang menjalankan roda perekonomian rakyat. Kaum parumaha adalah orang yang siap diminta melayani raja (baik sebagai tentara maupun menyediakan kebutuhan kerajaan).
  1. Golongan Jabolon (Lower Class)
Masyarakat yang termasuk dalam kasta ini adalah budak atau tenaga kerja kasar yang bekerja untuk orang kaya dan raja. Golongan jabolon (budak) adalah orang-orang yang kemerdekaannya dibatasi. Golongan jabolon juga termasuk orang yang terlantar karena orang tua yang tidak jelas, tawanan perang dan orang yang tidak bisa melunasi hutangnya.

7.      Sistem Religi
Suku Simalungun kuno memiliki kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari dukun (datu) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada 3 dewa, yaitu: dewa di atas (dilambangkan dengan warna putih), dewa di tengah (dilambangkan dengan warna merah), dan dewa di bawah (dilambangkan dengan warna hitam). Tiga warna yang mewakili dewa-dewa (putih, merah dan hitam) mendominasi ornamen suku Simalungun mulai dari pakaian (ulos) sampai pada hiasan rumahnya (gorga).

C.    Ansambel Musik Gonrang Simalungun

  1. Mitologi Gonrang
            Pada suatu bulan purnama, turunlah ke dunia ini seorang wanita cantik bernama Rambu Di Bulan dan bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Setelah beberapa lama pasangan suami istri ini akhirnya mempunyai sembilan orang anak; dua laki-laki dan tujuh perempuan. Kesembilan orang itu bernama; Rahat Dipanei, Sahat Manandar, Nondarhayani Bulan, Bangkisania, Rongga Huning, Horainim, Samainim, Medainim, dan Dongmaranim. Setelah dewasa, mereka berniat untuk  mengadakan upacara Tetabuhan dan kedua orang tuannya memenuhi keinginan anaknya. Anak yang tertua yaitu Rahat Dipanei tergerak hatinya untuk membuat seperangkat alat musik. Kemudian ia membuat tujuh buah gendang (gonrang) sesuai dengan jumlah saudara perempuannya yang dikerjakan selama tujuh hari. Rahat Dipanei memberi ketujuh gonrang itu sesuai dengan nama ketujuh saudarinya. Untuk memulai upacara maka ditentukan hari perayaannya yang jatuh pada hari Sukra, yang mempunyai makna pengasih. Sebelum gendang dibunyikan terlebih dahulu disiapkan kebutuhan peradatan untuk upacara itu, antara lain; nitak botara siang, galuh sitabar (pisang), sangka ampilit, silanglang habungan, lampuyang. Kemudian sekapur sirih disuguhkan (isurdukkon) kepada rombongan panggual sebagai penghormatan untuk memulai membunyikan gendang, dimana gual akan segera dimulai.
            Beberapa lama setelah upacara itu, Rahat Dipanei kawin dengan si Rangga Huning. Pada pesta perkawinan itu, juga ditabuh gendang. Pada acara perkawinan ini, gonrang yang dipakai hanya enam buah. Hal ini untuk menjaga kemungkinan terulangnya kembali peristiwa masa lalu terhadap keluarganya, di mana adik perempuan mereka yang paling bungsu (Dongmarainim) hilang, yang diduga diambil oleh orang Bunian, semacam roh halus, pada upacara manggual yang pertama. Dari perkawinan Rahat Dipanei dengan Rangga Huning ini lahirlah anaknya yang bernama Tuan Somarliat, yang mempunyai kesaktian. Dia mampu mengobati segala jenis penyakit dan mampu mengusir roh-roh jahat.[9]

  1. Gonrang Simalungun
Dikalangan masyarakat Simalungun gonrang merupakan musik utama yang selalu hadir dalam acara-acara besar Simalungun seperti pernikahan, kematian dan pesta-pesta adat.[10] Namun dalam perjalanan waktu musik tradisional ini sudah mulai kurang diminati oleh masyarakat Simalungun. Peranan alat musik gonrang dalam acara-acara besar Simalungun telah diambih alih oleh musik keyboard dan alat musik modern lainnya.  Gonrang sendiri mulai mengalami gejala kemunduran sejak tahunn 1940-an dan bahkan hampir punah total. Penyebab kemunduran gonrang ini diakibatkan antara lain: pertama para misionaris Protestan yang masuk ke Simalungun dan melarang pemakian alat musik gonrang karena dianggap terlalu kuat berhubungan dengan upacara-upacara animisme, kedua peristiwa revolusi sosial yang terjadi di Simalungun yaitu istana kerajaan yang ada di Simalungun dibakar, yang yang ketiga akibat hilangnya minat kaum muda masyarakt  Simalungun untuk belajar alat-alat musik gonrang Simalungun.

  1. Gonrang Seperangkat Alat Musik
            Istilah gonrang mencakup dua arti. Pertama, gonrang berkaitan langsung dengan alat musik gendang yang merupakan istilah generetik bagi setiap jenis alat musik tabuh. Kedua, gonrang sebagai alat musik dengan seperangkat alat musik Batak Simalungun yang lengkap, terdiri dari: gonrang (gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon dan gonrang sidua-dua ), gong (ogung dan mongmongan masing-masing dua buah), sarunei (satu buah), dan sitalasayak atau talasayak (dua buah).

a.      Gonrang
            Gonrang adalah alat tabuh yang dibuat dari kayu. Di kalangan masyarakat Simalungun, ada dua jenis komponen musik gonrang yaitu gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon dan gonrang sidua-dua atau gonrang dagang. Pemberian nama terhadap alat musik ini dilatarbelakangi oleh jumlah gonrang yang dipakai. Gonrang sipitu-pitu karena gonrang yang dipakai terdiri atas tujuh buah.
            Cara membuatnya sebagai berikut: Mula-mula memilih salah satu jenis kayu yang akan digunakan, kemudian memotongnya sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Bagian dalam kayu dilobangi sehingga menjadi sebuah tabung, yang biasa disebut baluh. Umumnya penampang bagian muka (bohi) lebih besar dari bagian ekor (ihur). Pada bagian ekor baluh ditutup dengan papan atau kayu yang berbentuk bundar, sedangkan bagian muka dipasangakn kulit binatang, biasanya kulit kerbau atau kulit lembu yang diikat dengan rotan. Permukaan kulit inilah yang dipukul dengan alat pemukul (stik) sehingga gonrang mengeluarkan suara yang nyaring.[11]

1)      Gonrang sipitu-pitu
            Gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon adalah alat musik yang terdiri dari tujuh buah gonrang. Gonrang yang paling besar disebut jangat, yang berfungsi sebagai  bassnya. Dua alat tabuh yang paling kecil disebut hat dan ting (digabungkan menjadi hatting), berfungsi sebagai nada yang paling tinggi. Penabuh jangat dan hatting masing-masing satu orang. Mereka bertugas memainkan gonrang sedemikian rupa dengan pola irama yang konstan untuk masing-masing jenis gual yang dibawakan. Keempat baluh lainnya disebut panongah (penengah), karena memang posisinya berada di tengah (antara jangat dan hatting). Keempat alat tabuh ini dimainkan oleh seorang penabuh sedemikian rupa secara improvisasi berdasarkan alunan melodi sarunei. Para penabuh memainkan gonrang sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan harmoni bunyi musik pada setiap gual yang dibawakan.

2)      Gonrang sidua-dua
            Gonrang sidua-dua atau gonrang dagang terdiri dari sepasang alat musik gonrang. Pasangan yang satu disebut jangat, yaitu alat tabuh yang berukuran besar dan nadanya lebih rendah. Padanan untuk kata jangat itu sendiri dalam bahasa Indonesia adalah inti atau sari. Oleh sebab itu jangat memegang peranan yang inti dalam permainan musik gonrang Simalungun. Jangat berfungsi untuk membawakan pola irama yang yang berkaitan dengan nuansa gual atau jenis gual tertentu. Pola yang dibawakan, sebagai dasar bagi irama yang dimainkan, diulang terus menerus hingga gual tersebut selesai dimainkan
            Pasangan yang satu lagi disebut tikkah, yaitu alat tabuh yang berukuran yang lebih kecil dan bernada lebih tinggi. Kata tikkah berasal dari kata kerja manikkah yang artinya “menemani” dan “menentang”.  Funsinya sesuai dengan arti kata “menemani” dan “menentang”, artinya tikkah dimainkan diantara ataupun sesudah ketukan bunyi pukulan pada jangat, yaitu mengisi uang kosong diantara ketukan tersebut dengan rumusan irama tertentu atupun dengan improvisasi. Namun walaupun gonrang sidua-dua ini hanya terdiri dari atas dua buah gonrang dan dianggap kurang lengkap, tetapi dari segi musik jumlah ini dianggap cukup memenuhi fungsinya.[12]

b.      Gong
            Gong merupakan salah satu kompenen yang penting yang terdapat dalam musik gonrang Simalungun. Gong ini sama dengan gong yang ada pada suku Jawa atau suku lain. Yang membuat berbeda ialah bahwa gong yang ada dalam musik gonrang Simalungun terdiri dari dua jenis ukuran. Ukuran yang lebih besar “sibaggalan” (dua buah) disebut ogung, sedangkan yang lebih kecil “sietekan” disebut mongmongan.[13]

1)      Ogung
            Ogung merupakan komponen  dalam musik gonrang Simalungun, yang terbuat dari logam perunggu atau kuningan. Ogung ini terdiri dari sepasang gong berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 30-40 cm, yang pada bagian pusatnya terdapat tonjolan. Pada umumnya gong-gong yang dipakai untuk ogung dalam musik gonrang Simalungun memiliki ukuran yang kurang lebih sama. 
            Kentungan atau alat pemukul  yang dipakai untuk memukul gong tersebut sangatlah mudah untuk membuatnya. Karena hanya terbuat dari tongkat dengan ukuran tertentu yang mana salah satu ujungnya dibebatkan seutas kain atau karet dengan kuat.[14] Suara ogung akan terdengar nyaring apabila bagian tengahnya dipukul dengan alat pemukul. Kedua ogung dipukul sedemikian rupa secara silih berganti, sesuai dengan ritme lagu yang sedang dimainkan. Fungsi kedua ogung ini sangat vital, yakni sebagai penentu mad sebuah lagu atau gual yang sedang dibawakan. Karena sifatnya yang konstan dan stabil, ogung menjadi kerangka irama dasar bagi seluruh ansambel musik gonrang.

2)      Mongmongan
            Mongmongan adalah sepasang gong yang memiliki ukuran lebih kecil dari ogung, berdiameter antara 15-20 cm. Pada umumnya mongmongan terbuat dari kuningan, bentuknya bundar dan pada bagian tengah terdapat benjolan. Ukuran kedua mongmongan ini tidak persis sama, ada yang lebih besar (mongmongan banggal) dan ada yang lebih kecil (mongmongan etek). Mongmongan dimainkan dengan cara memukul tonjolan dengan sebuah tongkat (tanpa dibebat atau dililit dengan kain atau karet), sehingga menghasilkan suara yang lebih tinggi. Sama seperti ogung, fungsi mongmongan adalah sebagai kerangka irama dasar gonrang. Biasanya mongmongan dipukul silih berganti dengan frekuensi ganda dari pukulan ogung.[15]

c.       Sitalasayak
            Komponen keempat dalam musik gonrang adalah sitalasayak atau talasayak,  yakni terdiri dari sepasang piringan gembreng (simbal) yang memiliki ukuran yang sama terbuat dari logam kuningan. Tetapi pada masa kini komponen keempat dalam musik gonrang ini sudah jarang kita temukan dalam permainan musik gonrang. Hilangnya sitalasayak ini dari permainan musik gonrang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Dugaan orang mungkin disebabkan oleh keberadaan gonrang pada zaman modern ini. Selain itu sitalasayak juga dianggap tidak terlalu penting dan peranannya tidak terlalu vital dalam ansambel musik gonrang Simalungun.[16]

d.      Sarunei
            Komponen kelima dalam musik gonrang Simalungun yakni sarunei. Sarunei adalah sejenis alat musik tiup yag terdiri atas tiga bagian penyusunnya, yakni: baluh, nalih, dan sigumbangi. Baluh atau laras terbuat dari jenis kayu yang keras. Panjang baluh kira-kira 38 cm. Baluh dilobangi sedemikian rupa mulai dari bagain ujung yang satu hingga ujung yang satu lagi. Pada permukaan baluh diberi lubang suara sebanyak tujuh, satu lubang pada bagian bawah dan enam lubang pada bagian atas baluh. Dalam proses pembuatan baluh ini cukup sulit dan membutukan keterampilan yang khusus dan disertai dengan alat-alat khusus pula.

            Nalih adalah bagian perantara baluh dengan lidah atau anak ni sarunei (buluh getar). Panjang nalih kira-kira 4 hingga 6 cm. Pada bagian bawah galuh dipasangkan  sigumbangi yang terbuat dari kayu atau bambu dengan panjang setengah atau dua sepertiga dari panjang baluh. Sigumbangi berfungsi untuk menambah volume suara sarunei. Sigumbangi digunakan  pada saat acara-acara adat. Jika sigumbangi dilepas, menurut kepercayaan orang Simalungun, maka musik yang dimainkan bukan lagi berkenaan dengan acara adat, atau malah ditabukan dalam adat.[17] Sarunei adalah komponen utama dalam rangkaian ansambel gonrang. Fungsi sarunei adalah sebagai melodi utama gual, sedangkan alat musik lainnya sebagai sarana pendukung bagi bunyi melodi utama.

D.    Musik Gonrang Simalungun dan Kegunaannya

            Pembagian karya musik Gonrang Simalungun merupakan akibat langsung dari kecermatan masyarakat tradisional Simalungun dalam hal-hal kepantasan pada suasana tertentu. Sebelum kita melihat musik Gonrang Simalungun dan kegunaannya, pada bagian pertama dan kedua kita akan melihat beberapa jenis upacara dan istilah yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu rakyat serta hubungannya dengan musik gonrang. 

1.   Jenis upacara yang termasuk melibatkan penggunaan musik gonrang, yaitu:

a.       Manraja  yaitu upacara pemahkotaan atau pengangkatan seorang raja baru. Upacara ini diikuti oleh para wewenang keagamaan atau datu maupun oleh adat sebagai peneguh.
b.      Pemakaman Raja
c.       Mangalo-alo Tamuei yaitu acara yang diiringi musik gonrang dan juga penari untuk menyambut kedatangan tamu. Biasanya para pembesar atau tamu raja (agung).
d.      Pembuatan Losung Boras yaitu tempat menumbuk padi menjadi beras atau beras menjadi tepung pada masa itu.
Ø  Manogu losung yaitu pada saat anak muda kampung berusaha memindahkan kayu besar bahan untuk pembuatan losung dari hutan ke kampung. Maka, untuk menghibur mereka supaya tidak merasa lelah, diutuslah seorang anak gadis untuk menari-nari dan menghibur mereka sepanjang perjalanan dari tengah hutan sampai kampung.
Ø  Marsapu-sapu yaitu sebuah acara untuk anak muda-mudi ketika peresmian losung dilangsungkan.
e.       Memasuki rumah baru
f.       Ritual-ritual, seperti: perasukan, penyucian spiritual, dan pengusiran setan (roh jahat)
g.      Pesta Marrondang Bittang yaitu sebuah perayaan meriah atas panen (sering juga disebut sebagai pesta panen).

2.   Istilah-istilah yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu rakyat dan               hubungannya dengan musik gonrang, seperti:

a.       Doding dan Ilah dalam bahasa Indonesia diartikan secara kasar “nyanyian”. Pada masyarakat tradisional Simalungun, istilah doding dan ilah mempunyai arti yang berbeda. Dikatakan doding jika dinyanyikan oleh satu orang (solo) dan jika dinyanyikan oleh banyak orang (nyanyian bersama) mereka sebutlah itu ilah. Namun, pada akhir-akhir ini, bilamana doding dan ilah diadaptasikan ke dalam bentuk ragam karya musik gonrang, maka tidak akan dijumpai adanya perbedaan secara musikal antara kedua jenis lagu tersebut. Satu-satunya yang membuat kedua jenis lagu ini mudah dikenali pada suatu karya musik gonrang yaitu karena kedua jenis lagu ini menggunakan judul khas yang disertai dengan nama daerah asal lagu tersebut. Seperti: Ilah Hinalang, Ilah Siborou, atau Ilah Si Pagar Tongah. Juga judul-judul lagu seperti doding Sinondang, Doding Hutabayu, dan doding Panei, menunjukkan daerah asal lagu tersebut.
b.      Inggou sebuah istilah bahasa Simalungun yang berkaitan erat dengan istilah doding dan ilah. Konsep makna yang benar untuk istilah ini sangat sukar untuk didefinisikan namun, arti inggou yang hampir mendekati yaitu bentuk-bentuk cara mengekspresikan rasa kesedihan dan kerinduan yang merupakan fokus dari konsep inggou tersebut.
c.       Gual sebuah istilah dalam bahasa Simalungun yang paling lazim digunakan saat mengutarakan mengenai suatu lagu untuk ansambel musik gonrang.

3. Musik Gonrang dan Kegunaannya

a.       Musik Gonrang sebagai jenis lagu : Gual
      Ada dua klasifikasi dasar dalam karya-karya musik gonrang. Yang pertama  gual yang dianggap bersifat gembira dan sedih,  dan yang kedua gual yang bergantung pada makna lagu tersebut dan suasana saat gual tersebut dibawakan pada saat upacara-upacara adat atau dibawakan secara khusus untuk maksud sebagai hiburan atau penggembira.

b.      Musik Gonrang sebagai upacara
Ø  Gual Parahot
            Dalam pengelompokannya, seluruh gual menggunakan kata parahot dan sering disebut dengan istilah gual parahot. Seluruh gual parahot terbagi menjadi dua kategori: yang pertama gual yang berkenaan dengan sifat Tuhan yaitu gual parahot urutan 1 sampai dengan 12 dan yang kedua gual yang berkaitan dengan sifat manusia dan alam gaib atau kehidupan fana di bumi (sifat keduniaan) yaitu gual parahot urutan 13 sampai dengan 16.
            Gual parahot harus dimainkan pada urutan yang tetap dan tidak dapat diubah-ubah. Selain sebagai sarana penghormatan kepada Tuhan dan kehidupan manusia,  gual ini  juga bisa dikatakan sebagai “ritus pembukaan” dalam seluruh rangkaian acara. Karena itu harus didengarkan dengan penuh rasa hormat sambil merenungkan makna gual tersebut
            Pada kesempatan ini kita akan melihat ke 16 buah gual parahot dalam budaya Simalungun secara berurutan dan maknanya secara singkat. Parahot Habian yaitu mengacu kepada sifat Tuhan yang Mahabesar,  Mahatinggi, dan Mahakuasa. Parahot Gunung mengacu kepada kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Ibarat kita berdiri di atas gunung dan melihat semua keindahan ke mana kita memandang. Parahot Sidua Jangat mengungkapkan pujian akan kebijaksanaan Sang pencipta yang Mahatinggi. Parahot Ujian Pandei mengungkapkan ke Mahakuasaan Tuhan yang mengetahui, mendengar dan melihat segala sesuatu. Parahot matua. Parahot Narandungan Boru. Parahot Nanrandungan Habian. Parahot Hundu-hunduma Tuhan. Parahot Hundu-hundulma Puang. Parahot Rambing-ranbing Habian. Parahot Rambing-rambing Tanoh Jawa. Parahot Rambing-rambing Raya Tongah. Parahot Dangul-Dangul. Parahot Tus-tus Balai Gonjang. Parahot Potik Layam. Dan Parahot Basaian.

Ø  Gual Adat
               Setelah rangkaian gual parahot[18] berakhir, acara dilanjutkan dengan gual adat. Pada kesempatan ini penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon) dan segenap undangan diperkenankan untuk menari sesuai dengan gilirannya masing-masing. Urutan didasarkan atas kedekatan seseorang dengan pihak Hasuhutan Bolon. Pada kesempatan ini, hubungan kekerabatan Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran jelas ditampakkan, di mana kelima kelompok adat tersebut akan menari bersama-sama (tortor riap).[19]

Ø  Gual Rahatan
      Setelah rangkaian gual adat selesai, maka selanjutnya akan ditampilkan gual rahatan atau sering disebut dengan gual hiburan. Pada kesempatan ini, semua undangan bebas meminta gual untuk dibawakan sesuai dengan pilihan undangan yang hadir itu. Selain itu, kesempatan ini menjadi kesempatan bagi kaum muda dan anak-anak melatih diri untuk belajar manortor dengan bimbingan orang tua.[20]

c.       Musik Gonrang sebagai Tortor Kekerabatan
            Tortor merupakan tarian tradisional daerah Simalungun. Setiap gerakan tortor merupakan kesesuaian antara gerak, pola, dan ketentuan dengan musik khas dalam tortor Simalungun. Pada dasarnya, pengertian manortor bukan hanya sekedar menarik dan melenggak-lenggok, tapi lebih dari itu. Bahwa setiap gerakan yang diciptakan di dalam sebuah tortor mempunyai makna simbolik yang mendalam. Lagi, tortor tidak bisa dipisahkan dengan gonrang. Artinya, tortor akan dibawakan apabila gonrang dibunyikan, demikian sebaliknya.
            Pada suatu acara pesta, semua undangan yang hadir turut serta manortor sebagai ungkapan kegembiraan dan keterlibatan di dalam pesta itu. Demi kelancaran dan untuk memastikan bahwa semua yang hadir terlibat dalam acara tarian, maka dibuatlah suatu pedoman atau ketentuan mengenai urutan menari. Urutan ditentukan atas dasar kedekatan seseorang dengan pihak penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon). Intinya, pada saat manortor (menari) dalam harmoni kekerabatan masyarakat Simalungun.

E.     Makna Gonrang bagi Masyarakat Simalungun

Membudayanya masyarakat Simalungun terlukis secara khas dan musik tradisional gonrang. Dengan bentuk dan karakternya yang unik, gonrang menjadi salah satu wahana untuk mengekspresikan eksistensi jati dirinya secara utuh dan mendalam. Kedalaman seorang Simalungun baik menyangkut isi pikiran, hati, imajinasi serta luapan emosionalnya dimediasi/diperantarai  dalam dan melalui gonrang. Gonrang  menjadi pemuat nilai-nilai budaya Simalungun secara simbolik. Penyampaian kembali nilai-nilai budaya itu terjadi secara simbolik pula. Adapun nilai simbolik-kultural musik gonrang, yakni: nilai religius, nilai sosial dan nilai estetis.

a)    Nilai Religius

Religi dalam konteks budaya Simalungun bukanlah agama dalam arti sebenarnya (formal-institusional). Religi orang Simalungun sebagai landasan nilai dan budaya, selalu terarah dan terasosiasi pada religi tradisional dan orisinal. Sebutan Makhluk Ilahi dalam konteks religius masyarakat Simalungun ialah Naibata.

Pengakuan terhadap Naibata sebagai penguasa segala sesuatu menjadi landasan yang cukup mendasar yang meresapi seluruh  perikehidupan masyarakat Simalungun. Nilai-nilai religius-kultural ini termuat secara simbolik dalam penyajian gonrang (margonrang), khususnya dalam rangkaian gual parahot. Dalam rangkaian gual parahot tampak dengan jelas bagaimana orang Simalungun menunjukkan sikap hormat dan sembah sujud di hadapan Yang Ilahi. Orang Simalungun meyakini bahwa kesejahteraan hanya dicapai bila memperoleh berkat dari Naibata. Alasan mengapa gual parahot tidak boleh ditarikan dimaksudkan agar setiap orang dapat memusatkan perhatian pada makna gual tersebut.

Selain itu, bagi orang Simalungun memainkan alat musik tabuh secara tradisional merupakan salah satu cara untuk memanggil arwah para leluhur. Tujuannya adalah agar para kerabat yang masih hidup di dunia ini dapat “berdialog” dengan arwah atau roh leluhur dari yang bersangkutan. Dialog dengan roh leluhur terjadi dengan perantaraan seorang datu yang bertindak sebagai perantara roh leluhur.

Orang Simalungun juga percaya akan tonduy dan begu-begu. Di kalangan orang Simalungun tradisional terdapat berbagai upacara ritual untuk memanggil tonduy. Jika menurut penglihatan seorang datu seseorang mengalami sakit akibat tonduy-nya meninggalkan tubuhnya, maka segera diadakan upacara mardilo tonduy (memanggil tonduy) atau biasa disebut maranggir. Upacara ritual ini bertujuan untuk mengajak atau memanggil tonduy-nya agar memasuki tubuhnya, sehingga dapat pulih kembali. Dalam upacara ritual ini, penyertaan musik gonrang sangat diperlukan. Dari sini tampak bahwa musik gonrang memiliki nilai religius bagi masyarakat Simalungun. Religi orang Simalungun diungkapkan dalam musik gonrang yakni dalam berbagai upacara ritual keagamaan masyarakat Simalungun tradisional.

b)   Nilai Sosial

Dapat dikatakan bahwa penyajian gonrang turut mengintensifkan tatanan sosial masyarakat Simalungun dengan meneguhkan ikatan kekerabatan, sebagai alat komunikasi dan sebagai sarana hiburan. Kekuatan kekerabatan dihadirkan melalui penegakan adat dalam kehidupan sehari-hari melalui acara-acara seperti tari-tarian adat, yang ditampilkan hampir pada setiap acara pesta. Pada acara adat, gonrang hadir sebagai perantara (mediasi) yang membantu mempererat hubungan kekerabatan.

Gonrang bersama dengan tarian adat (tortor) mengintensifkan kelekatan hubungan kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran.  Relasi dengan sesama semakin terjalin erat karena pada saat manortor setiap orang mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan anggota kelompok kekerabatan Tolu Sahundulam Lima Saodoran secara hangat dan penuh persaudaraan. Gual yang dipilih pada saat manortor adalah gual yang mengingatkan pihak tondong, boru dan sanina akan tata krama keharmonisan sikap dan perilaku di antara mereka.

Nilai sosial lain yang dikandung oleh musik gonrang yaitu penyajian gonrang juga menjadi sarana komunikasi. Dalam dan melalui gonrang, orang Simalungun menyadari sepenuhnya tentang suasana hati yang sedang dikomunikasikan, baik melalui lirik maupun nada musik pengiringnya. Gual yang bertempo cepat menunjukkan suasana gembira dan bahagia. Gual yang bertempo lambat menunjukkan nuansa kesedihan, kecemasan dan kesepian, yang ditampakkan dalam inggou Simalungun. Bagi orang Simalungun membawakan inggou merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menyampaikan dan mengkomunikasikan kedalaman isi hati, yang menunjukkan karakter khas orang Simalungun.

Selain itu, menampilkan gonrang adalah kesempatan yang mendatangkan suasana hiburan bagi orang Simalungun. Salah satu realitas kehidupan masyarakat agraris adalah rutinitas kerja yang berkesinambungan dan kurang kegiatan alternatif untuk dijadikan sarana hiburan. Pada masyarakat Simalungun tradisional, baik kaum tua maupun kaum muda, harus mengadakan acara “selingan” agar terbebas dari rutinitas kerja yang membosankan serta menghasilkan suatu suasana yang baru .

Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan, khususnya pesta yang menyertakan musik gonrang. Pada masyarakat Simalungun tradisional

c)    Nilai Estetis

Orang Simalungun menghayati nilai-nilai estetis dalam musik gonrang yang mengungkapkan suasana hati dan pengakuan akan keindahan. Pargonrang menciptakan musik sedemikian rupa demi pemenuhan dan pemaknaan suatu gual dengan merumuskan simbol-simbol pada musik. Para pemain musik gonrang bertugas memfasilitasi pengungkapan suasana hati pada masing-masing situasi upacara dengan cara “menghidupkan” gual yang dibawakan. Misalnya dalam tortor sombah yang dibawakan oleh boru yang ditujukan pada tondong-nya. Sikap sombah diwujudkan dengan mengatupkan kedua telapak tangan dengan ujung jari menghadap ke atas dan disentuhkan pada dahi. Dengan sikap merendah seperti ini, pihak boru menghampiri pihak tondong sebagai wali dari Tuhan Yang Mahatinggi. Sambil menarikan tortor sombah, pihak boru memohonkan surung dayung (kasih sayang yang manja) dari tondong-nya. Sebaliknya, bila pihak tondong hendak melimpahkan berkat kepada boru-nya, gual yang dipilih adalah gual parahot rambing-rambing, karena gual ini berkaitan dengan aspek Tuhan aspek Tuhan Yang Mahatinggi sebagai sumber belas kasih dan berkat. Sebagai wujud pelimpahan berkat, pada saat menari pihak tondong berulang kali merangkul, mengusap wajah serta menumpangkan tangan di atas kepala boru-nya. Selain mengungkapkan  kedalaman suasana hati, alunan musik gonrang  juga dapat menghantar kita kepada pengalaman estetis yakni pengalaman akan keindahan.

Sebagai karya seni musikal, penyajian musik gonrang memuat nilai-nilai keindahan di dalamnya. Musik gonrang dengan berbagai jenis gual-nya mampu menghantar para pendengar kepada pengalaman estetis sesuai dengan karakteristik masing-masing gual. Arlin Dietrich dalam bukunya mengatakan bahwa:
Gonrang music is fundamentally a succession of variations created bu ornamentation and elaboration on an essential melody. The emotion-producing qualities of musical sound also cannot be proved unquestionably, although the phenomenon of musicians being “carried away by the music” seems to be valid.

F.     Penutup

Gonrang adalah salah satu karya seni musikal orang Batak Simalungun. Perannya amat dekat dengan orang Batak Simalungun, khususnya sebagai pengiring dalam upacara-upacara adat dan keagamaan (dalam masyarakat tradisional). Ansambel musik gonrang bukan hanya sebagai suatu apresiasi seni semata, melainkan juga sebagai wahana untuk mengungkap eksistensi dan jati dirinya dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, para leluhur dan sesamanya. Selain itu, gonrang sebagai suatu karya seni tradisional tetap mempunyai hubungan yang sangat erat dengan struktur adat dan budaya Simalungun yang mendasarinya, yaitu Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Kesalingtergantungan antara musik gonrang dengan konteks budaya Simalungun merupakan suatu hasil dari peradaban yang diciptakan oleh orang Simalungun.

Musik gonrang mengandung nilai-nilai yang cukup berarti bagi masyarakat Simalungun yakni nilai religius, nilai sosial dan nilai estetis. Nilai religius terwujud dalam terlibatnya musik gonrang dalam upacara-upacara keagamaan (ritual-ritual) dalam masyarakat Simalungun. Nilai sosial tampak dari pentingnya musik gonrang dalam acara-acara adat Simalungun yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada kebudayaan Simalungun. Dan nilai estetis terungkap dalam penghayatan orang Simalungun akan musik gonrang sebagai karya seni musikal yang memuat suatu pengalaman estetis. Nilai-nilai ini saling terkait satu sama lain dan membentuk suatu keharmonisan dalam budaya Simalungun. Musik gonrang adalah karya seni yang berharga dari masyarakat Simalungun.





                [1] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar (Tanpa penerbit), 1982, hlm. 13.
[2] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...hlm. 12.
[3] Kerajaan Nagur adalah kerajaan pertama di Simalungun yang kuat dan bersatu sebelum pecah menjadi 4 kerajaan. Kerajaan Nagur tercerai berai akibat tidak bisa mengatur pemerintahan dan akibat timbulnya wabah sampar yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak.
[4] Sortaman Saragih, Orang Simalungun (Depok: Citama Vigora, 2008), hlm. 23.
[5] Sortaman Saragih, Orang Simalungun..., hlm. 23.
[6] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...,hlm. 14.
[7] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...,hlm. 14.
[8] Sortaman Saragih, Orang Simalungun..., hlm. 80.
                [9] Rado Harapan Saragih, Nilai-nilai Simbolik-Kultural Gonrang pada Masyarakat Simalungun: Suatu Uraian Filosofis-Kultural (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Sumatra Utara,2007) Skripsi.
                [10] Gonrang Simalungun, http://Purbasigumonrang.blogspot.com/2009/05gondang-simalungun.htm (tanggal 16 Mei 2010).
                [11] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun (Medan: Bina Media, 2003) hlm. 42-45.
                [12] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun...,hlm.197-198.
                [13] Asal Mula Gong, http:www.gong.tikar.or.id/ ?mn (tangggal 16 Mei 2010).
                [14] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun...,hlm.47-48.
                [15] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 50.
                [16] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 52-53.
                [17] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 53-57.
                [18] Rangkaian gual parahot ditutup dengan gual subsub atau olop-olop [ lih. A.D. Jansen, Gonrang…, hlm. 98].
                [19] A.D. Jansen. Gonrang…, hlm. 99.
                [20] A.D. Jansen, Gonrang…, hlm. 163.

Filsafat: Epikureanisme

EPIKUREANISME
(Poliaman Purba, S.Fil.)

           
  1. Pengantar 
Epikureanisme adalah salah satu aliran filsafat yang paling sering disalah-mengerti oleh kalangan orang-orang awam. Orang kerap memandang aliran ini sebagai suatu paham tentang penyaluran hasrat untuk mencapai kesenangan[1]. Sehingga, Epikurianisme kerap disebut sebagai “filsafat bahagia”[2]. Konsep ini jelas merupakan konsep yang keliru. Pada dasarnya Epikuros pertama-tama menekankan penghindaran akan rasa sakit dan menekankan kenikmatan spiritual sebagai pilihan yang terutama melebihi kenikmatan fisik. Lagi pula bukan hanya sebatas itu ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Epikuros juga mengajarkan doktrin tentang logika, fisika dan etika. Doktinnya ini cukup memberi pengaruh pada kehidupan budaya Yunani dan Romawi.

  1. Epikuros 
Epikuros adalah pendiri aliran filsafat Epikureanisme. Epikuros adalah seorang Yunani yang dilahirkan di Samos pada tahun 341 SM. Sebagai seorang muda, ia pergi ke Athena, di mana ia berkenalan dengan ajaran Demokritos pada tahun 324 SM. Pada tahun 310 SM, ia kembali ke Asia Kecil dan menjadi kepala suatu perguruan di Kolofon. Kelak ia kembali ke Athena dan pada tahun 306 mendirikan suatu perguruan. Ia membuka sekolah di tamannya sendiri. Taman itu menjadi sebuah tempat tinggal yang elegan untuk dirinya sendiri dan teman-temannya. Karena ajarannya diberikan di taman, maka perguruan itu disebut “perguruan taman” dan filsafatnya mendapat nama “filsafat taman”[3]. Dalam tamannya yang dipenuhi dengan patung-patung, dia hidup bahagia sambil mengajar dan berdiskusi tentang filsafat dengan teman-temannya. Dia wafat pada tahun 270 SM.

Epikuros adalah orang yang bertabiat baik dan menarik serta mempunyai jiwa yang ulet. Meskipun miskin dan selalu menderita, namun ia tetap berbahagia, dan dapat menunjukkan jalan kebahagiaan bagi orang lain. Epicuros adalah seorang penulis yang giat, tetapi kebanyakan tulisan-tulisannya telah hilang. Doktrin-doktrinnya dirangkumkan dalam suatu naskah dan diberikan kepada murid-muridnya untuk dipelajari dengan seksama. Dia dianggap sebagai seorang dewa oleh para pengikutnya. Bahkan mereka mengadakan perayaan tahunan untuk menghormati dia[4].

  1. Sejarah Singkat
Zaman sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda sekali dengan zaman Aristoteles. Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai dengan pemerintahan Aleksander Agung, zaman yang disebut zaman helenisme. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Salah satunya ialah aliran Epikureanisme[5].

Epikurianisme merupakan aliran yang berpengaruh dalam kehidupan budaya Yunani dan Romawi dari zaman Epicuros abad ke 4 SM sampai abad ke 5 SM. Dalam kurun waktu ini terdapat catatan panjang tentang polemik antara kaum Epikurean di satu pihak dan kaum Stoa, kaum Skeptik, dan filsuf-filsuf Aristotelian atau Peripatetik di lain pihak.

Pengikut awal Epicuros adalah Hermachus dan kemudian Polystratus. Awalnya mazhab ini menegaskan tentang teori nilai. Kesenangan dipandang sebagai kebaikan tertinggi dan filsafat moral dapat diangkat dari sini. Abad pertama SM, sejumlah filsuf yang hebat tampil dalam gerakan ini kurang lebih serempak: Lucretius, Philodemus dan Asclepiades. Pada periode ini, mazhab ini menekankan pendekatan empirisnya pada logika. Logika kaum Stoa dianggap terlalu rasional. Baik filsuf Paripatetik maupun Skeptik juga dikritik karena penggunaan argumen-argumen yang kosong. Pada periode ini juga muncul Cicero. Eklektisisme Cicero memasukkan Epikureanisme sebagai salah satu unsur pentingnya[6].

  1. Ajaran
a.       Pikiran Dasar
Tujuan Epikuros ialah menunjuk jalan ke bahagia. Untuk memperlihatkan jalan pikirannya, yang ditunjuk lebih dahulu ialah musuh-musuh bahagia manusia. Dapatkah bahagia datang, selama ada musuh-musuhnya yang melawan? Tidak. Apakah musuh-musuh itu? Pertama: fatum atau takdir, kedua: dewa-dewa, dan ketiga: rasa takut akan mati. Ketiganya ini menakutkan, dan manusia harus dibebaskan dari ketakutan itu. Bagaimanakah jalannya? Dengan memberi pengertian yang sebenarnya sehingga tampak bahwa ketakutan itu sama sekali tidak beralasan. “Satu-satunya jalan untuk menghilangkan ketakutan itu ialah jika manusia mengerti betul-betul bagaimanakah alam kodrat itu. Andaikata kita tidak takut lagi akan dewa-dewa dan maut, tak perlulah kita mempelajari kodrat”.[7]

b.      Logika
Dalam pikiran Epikuros logika sangat diperlukan sebagai jalan. Logika harus menunjukkan norma-norma sehingga yang benar dapat dipisahkan dari yang salah. Dengan demikian, jelas bahwa logika menjadi alat dalam pelajaran fisika dan keduanya merupakan persiapan untuk etika.

Epikuros berpendapat bahwa pengenalan didapatkan melalui pengamatan. Apa yang benar adalah apa yang diamati pada suatu saat dengan indera. Adapun proses pengamatan terjadi dengan demikian: benda-benda di luar manusia melepaskan gambaran-gambaran yang halus yang kemudian memasuki indera, dengan akibat bahwa manusia memperoleh gagasan tentang benda itu.

Sedangkan Demokritos sama sekali tidak menghargai pengertian indera, bagi Epikuros pengertian inilah satu-satunya sumber pengetahuan. Kritik tidak diperlukan sama sekali. Indera manusia menangkap barang-barang yang ada seperti adanya. Tangkapan kita tidak dapat tidak benar. Sesatan barulah dapat muncul jika orang hendak memberi interpretasi atau keterangan tentang tangkapannya. Akan tetapi, tangkapan sendiri tidak mungkin tersesat. Benar atau tidaknya interpretasi itu tergantung dari mungkin atau tidaknya verifikasi atau pembenaran dengan membandingkannya dengan tangkapan yang langsung. Jadi, apakah yang benar? Hanya yang mempunyai verifikasi dengan tangkapan yang langsung: artinya hanya yang dapat dibuktikan dengan pengenalan indera, dengan penglihatan mata, pendengaran telinga, dan lain sebagainya. Di luar itu tidak ada kebenaran[8].

c.       Fisika
Menurut Epicuros, tiada sesuatu pun yang ada, yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak ada, dan tidak ada sesuatu yang ada, yang kemudian musnah menjadi tidak ada. Jagat raya adalah kekal dan tidak terbatas, dan dibentuk oleh benda yang kita amati dan oleh ruang kosong yang ditempati benda itu. Segala benda disusun dari atom-atom, yang telah ada sejak kekal bersama-sama dengan adanya ruang kosong. Segala atom tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat binasa. Semuanya memiliki bentuk, berat dan besarnya, sekalipun bentuknya berbeda-beda. Itulah sebabnya maka ada benda yang berbeda-beda juga. Atom-atom itu begitu kecil sehingga tidak dapat diamati[9].

Semua atom bergerak. Semula, karena beratnya, semua atom bergerak dari atas ke bawah, sehingga seolah-olah ada hujan atom. Tetapi kemudian ada beberapa atom yang menyimpang, yang mengakibatkan pertabrakan dan penimbunan atom-atom. Kejadian ini menjadikan atom-atom akhirnya berputar-putar, yang lebih berat di tengah, sedang yang lebih ringan di tepi. Demikianlah jagat raya ini terjadi karena gerak dan pertabrakan atom-atom. Para dewa tidak ikut campur dalam penjadian jagat raya dan dalam perkembangannya lebih lanjut[10].

Jiwa tidak lain adalah atom, yaitu atom yang bulat dan licin. Oleh karena itu, pada hakekatnya jiwa adalah tubuh halus yang berada di dalam tubuh. Tanpa tubuh kasar jiwa tidak dapat berada. Setelah orang mati jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom lagi, sehingga jiwa tiada lagi.

Maksud Epikuros dalam mengarang dalilnya itu ialah untuk membebaskan manusia dari ketakutan akan adanya fatum atau takdir dan ketakutan akan dewa-dewa. Akan tetapi, tercapaikah maksud itu? Dalam garis pikiran Epikuros sendiri, dapatkah perbenturan-perbenturan atom-atom itu diubah atau dikalahkan oleh manusia atau dewa-dewa? Jika demikian, apakah atau siapakah yang dapat menjamin keselamatan manusia?

Jika dengan pikiran itu dewa-dewa sudah ”disingkirkan”, masih tinggallah ketakutan akan maut. Epikuros mencoba membantah ini dengan menerangkan bahwa yang disebut mati itu hanya perceraian atom-atom yang sebagai gerombolan merupakan jiwa. Atom-atom itu berlainan dari atom-atom badan; atom-atom jiwa lebih halus, bulat dan licin. Akan tetapi, bagaimanapun juga atom-atom itu juga barang jasmani. Sebetulnya, manusia itu tidak bersangkut paut dengan apa yang disebut mati. Jika atom-atom jiwa kita bercerai, kita tidak ada; dan jika kita ada, atom-atom itu tidak bercerai[11].

d.      Etika
Di dalam etikanya Epikuros bermaksud memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu diancam oleh ketakutan, yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap maut dan terhadap nasib. Padahal ketakutan-ketakutan itu sebenarnya tidak ada dasarnya, tidak masuk akal. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia ini? Di dalam jagat raya segala sesuatu terjadi karena gerak atom-atom. Para dewa tidak menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya.  Mereka menikmati kebahagiaan yang kekal, yang tidak dapat diganggu oleh siapa pun. Manusia tidak mungkin mengganggu mereka. Oleh karena itu mereka tidak akan mengganggu manusia. Itulah sebabnya orang tidak perlu takut terhadap dewa. Juga orang tidak perlu takut terhadap maut. Bukankah setelah orang mati jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom, kembali kepada asalnya? Oleh karena itu tidak ada hukuman di akhirat. Setelah orang mati ia tidak akan menikmati apa-apa dan tidak akan menderita apa-apa. Maut bukanlah hal yang jahat atau hal yang baik. Selama kita hidup kita tidak akan mati, sedang jikalau mati kita tidak ada lagi. Apa perlunya takut terhadap maut? Juga terhadap nasib orang tidak perlu takut. Sebab tidak ada nasib. Kita sendirilah yang menguasai hidup kita dan segala perbuatan kita. Atom dapat berubah arah geraknya. Kemungkinan perubahan memang ada. Kita dapat mengubah pengungkapan kehendak kita. Jadi kita sendiri yang menentukan keadaan kita. Tidak ada nasib[12].

Tujuan hidup adalah hedone (kenikmatan, kepuasan), yang tercapai jikalau batin orang tenang dan tubuhnya sehat. Ketenangan batin timbul jikalau segala keinginan dipuaskan, sehingga tiada sesuatu pun yang diinginkan lagi. Di sini orang hanya akan menikmati saja. Jadi makin sedikit keinginan, makin besar kebahagiaan. Oleh karena itu orang wajib membatasi apa yang dinginkan. Itu tidak berarti bahwa manusia harus mencita-citakan kemiskinan. Kebahagiaan tidak terdiri dari menikmati hal yang melimpah-limpah, sebab juga hal yang sedikit dapat dinikmati. Yang baik ialah, jikalau dalam keadaan yang konkrit perasaan menentukan perbuatan mana yang akan memberi kepuasan. Jikalau orang terpaksa harus memilih dari antara bermacam-macam keinginan, hendaknya dipilih keinginan yang dapat memberi kenikmatan yang mendalam dan yang lama. Orang bijak tahu seni untuk menikmati selama dan sedalam mungkin. Persaudaraan dipandang penting sebagai sarana untuk menambah kenikmatan. Ketenangan batin yang bersifat rohani lebih berbobot dibanding dengan kesehatan badaniah.

  1. Penutup
Epikureanisme telah mampu menyumbangkan sesuatu dalam pemikiran filsafat terutama pada zamannya yakni zaman di mana helenisme sedang berkembang pesat. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafati, yaitu dari filsafat teoritis menjadi filsafat yang praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Epikureanisme termasuk di dalamnya. Epikureanisme merupakan aliran yang bersifat etis yang menekankan persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis.



BIBLIOGRAFI

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1974.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang. Penerbit Universitas Sriwijaya. 2001
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980.
Mascia, Carmin T.O.R. A History of Philosophy. New Jersey. St. Anthony Guild Press. 1957.
Mudhofir, Ali. Kamus: Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1996.
Sahakian, William S. Realms of Philosophy. Cambridge. Schenkman Publishing Company Inc. 1965.
Sudiarja, A. dkk. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bagsanya. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.





[1] William S. Sahakian, Realms of Philosophy (Cambridge. Schenkman Publishing Company Inc., 1965), hlm. 134
[2] A. Sudiarja SJ dkk, Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006), hlm. 1207
[3] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1207
[4] Carmin Mascia T.O.R., A History of Philosophy,( New Jersey. St. Anthony Guild Press. 1957), hlm. 105    
[5] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980), hlm. 54
[6] Lorens Bagus. Kamus Filsafat, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000), hlm.
[7] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1208
[8] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1209
[9] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980), hlm. 55
[10] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55
[11] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1210-1211
[12] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55-56

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....