Filsafat yang Membumi
(Poliaman Purba, S.Fil.)
(Poliaman Purba, S.Fil.)
Pada
umumnya, orang menganggap bahwa filsafat itu merupakan suatu pembicaraan yang
sulit dan abstrak. Bagi kebanyakan orang, filsafat adalah suatu ilmu yang
mengawang-awang atau kerap disebut tidak mendarat. Pengalaman beberapa orang
menyangkut filsafat pada umumnya juga sama, khususnya bagi orang-orang yang
pernah mempelajari filsafat. Filsafat kerap dianggap tidak relevan dengan
situasi konkret yang sedang dialami. Mengapa ilmu ini kerap terasa jauh dan
kerap dihindari oleh banyak (calon) pastor dan orang pada umumnya? Apakah
filsafat itu sangat penting?
Filsafat dan Hidup Sehari-hari
Pada
dasarnya pengetahuan filsafat timbul dari pengalaman sehari-hari. Maka, biar
bagaimana pun filsafat tidak akan pernah terlepas dari pengalaman hidup
sehari-hari. Berfilsafat bukanlah suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh
segelintir ahli saja, melainkan merupakan salah satu ciri dari kemanusiaan
kita. Berfilsafat merupakan suatu kegiatan yang terbuka bagi setiap orang[1].
Berfilsafat pada pokoknya terjadi di tengah-tengah kejadian hidup sehari-hari.
Menurut hakikatnya filsafat selalu bertautan dengan permenungan sehari-hari.
Maka, menjadi sesuatu yang salah jika dinyatakan bahwa filsafat itu
mengawang-awang atau tidak mendarat.
Secara
etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara harafiah filsafat berarti cinta akan
kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencari kebijaksanaan[2].
Jadi, filsafat pada hakikatnya mengarah pada suatu kebijaksanaan hidup yang
bisa diterapkan dalam hidup sehari-hari. Berefleksi atau merenung secara
rasional menjadi metode yang digunakan dalam berfilsafat. Objek filsafat itu
sendiri adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia. Filsafat tidak
bisa lepas dari kebijaksanaan sehari-hari yang menyangkut pengalaman hidup.
Memang
tak dapat dipungkiri bahwa kerap terjadi pertentangan antara pengalaman
sehari-hari dan filsafat. Dalam kenyataannya sering muncul suatu konflik antara
pengalaman sehari-hari dan filsafat. Sekalipun demikian, ada baiknya selalu
diingat juga bahwa filsafat lahir atas dasar pengalaman hidup manusia. Biarpun
antara pengalaman sehari-hari dan filsafat kadang-kadang terjadi pertentangan,
filsafat tetap berhubungan erat dengan pengalaman sehari-hari. Filsafat mencari
akar-akar pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Filsafat
hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari[3].
Filsafat bagi Religius Muda
Sebagian
besar imam kita berkarya untuk paroki. Mereka melayani umat lewat perayaan
Ekaristi dan berbagai macam perayaan sakramental lainnya. Mereka mendengarkan
umat yang berkeluh kesah tentang persoalan sehari-hari, memberikan nasihat,
membangun Gereja bersama-sama umat. Kebanyakan aktivitas mereka sangat konkret
karya pastoral[4].
Berbagai
kuliah filsafat selama tiga atau empat tahun diberikan kepada para calon imam
selama pendidikan menuju imamat. Sebelum para calon imam menerima pendidikan
teologi secara intensif, mereka terlebih dahulu menyelesaikan kuliah filsafat.
Filsafat bertindak sebagai “alat bantu teologi” sehingga para calon imam
mempunyai dasar yang kuat untuk mempelajari teologi lebih lanjut. Dengan
demikian, filsafat sangat penting bagi pendidikan calon imam/religius.
Tanggapan
para religius muda terhadap filsafat pada umumnya berbeda-beda. Para calon
imam/religius terlebih dahulu dibekali hidup rohani yang kuat selama satu, dua
dan bahkan sampai tiga tahun misalnya TOR (Tahun Orientasi Rohani) untuk calon
imam diosesan atau tahun novisiat untuk calon imam biarawan. Setelah melewati
masa tersebut mereka akan mulai menggeluti studi filsafat selama empat tahun. Kehidupan
spiritual yang telah dihidupi selama TOR atau novisiat mulai “dirasuki” oleh
filsafat yang kritis dan rasional. Hal ini memberikan kesan tertentu bagi para
religius muda. Religius muda dihadapkan pada suatu hal yang baru dan menantang.
Aktualisasi Filsafat
Apakah
filsafat yang telah dipelajari di bangku kuliah memberikan pengaruh terhadap
hidup para religius muda? Pertanyaan ini akan selalu bergema bagi para religius
muda yang sedang memulai menggeluti studi filsafat. Suatu mata kuliah akan sungguh-sungguh
bermanfaat apabila mata kuliah tersebut memberikan pengaruh nyata kepada
mahasiswa yang sedang mempelajarinya. Daya guna filsafat diharapkan teraplikasi
dalam hidup sehari-hari sebagai seorang religius.
Filsafat
menuntun seseorang untuk mampu berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi
suatu realitas[5]. Kemampuan
tersebut dibutuhkan dalam hidup berkomunitas agar mampu menyeimbangkan keutuhan
pribadi seseorang. Spiritualitas yang matang digabungkan dengan pola pikir yang
kritis dan rasional. Ini akan menghasilkan suatu keseimbangan sehingga mampu
menciptakan suasana yang nyaman dalam hidup komunitas.
Setelah
mengetahui hakikat dan fungsi filsafat, hal selanjutnya yang dilakukan adalah
mengaktualisasikan filsafat tersebut dalam hidup. Filsafat akan menuntun
seseorang untuk semakin bijaksana dalam menjalani hidup kesehariannya.
Kebijaksanaan diperlukan untuk membangun hidup yang lebih baik sebagai seorang
religius muda. Menjadi seorang filsuf muda bukan harus seperti Sokrates yang
dihukum mati karena mempertahankan pendapatnya, melainkan menjadi filsuf
religius yang mencari kebijaksanaan dalam hidup. Seperti pendapat Pytagoras,
menjadi filsuf ialah menjadi orang yang mencintai kebijaksanaan.
Sikap
praktis yang bisa diterapkan dalam mengaktualisasikan filsafat ialah sikap
untuk selalu berefleksi atau merenung. Dalam berhadapan dengan realitas,
religius muda semakin dilatih untuk bersikap kritis, serius, mendasar,
mendalam, dialogis, rasional, reflektif dan bertanggung jawab. Dengan ini
filsafat menjdai sesuatu hal yang nyata dan dapat dialami. Religius muda yang
berkompeten ialah religius muda yang tidak hanya mampu menjawab soal-soal ujian
seputar filsafat melainkan religius muda yang menerapkan apa yang bisa
diterapkan. Alhasil, pepatah Latin tetap bergema yakni, non scholae sed vitae discimus[6].
Penutup
Anggapan
filsafat sebagai ilmu yang mengawang-awang/tidak mendarat mulai terkikis
apabila filsafat itu sudah mulai terbiasa diaktualisasikan secara konkrit dalam
hidup sehari-hari. Filsafat yang membumi akan terasa cukup menolong untuk
memahami dan mengerti segala sesuatu. Filsafat meneruskan hasrat manusia yang
selalu sadar akan dirinya sendiri dan akan dunia. Filsafat mencari akar-akar
pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Itulah sebabnya mengapa
filsafat hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari,
karena di sana bersumberlah kemampuan kita untuk menilai sesuatu.