Rabu, 14 Oktober 2015

Filsafat: Filsafat yang Membumi - Poly Gibran

Filsafat yang Membumi
(Poliaman Purba, S.Fil.)
Pengantar
Pada umumnya, orang menganggap bahwa filsafat itu merupakan suatu pembicaraan yang sulit dan abstrak. Bagi kebanyakan orang, filsafat adalah suatu ilmu yang mengawang-awang atau kerap disebut tidak mendarat. Pengalaman beberapa orang menyangkut filsafat pada umumnya juga sama, khususnya bagi orang-orang yang pernah mempelajari filsafat. Filsafat kerap dianggap tidak relevan dengan situasi konkret yang sedang dialami. Mengapa ilmu ini kerap terasa jauh dan kerap dihindari oleh banyak (calon) pastor dan orang pada umumnya? Apakah filsafat itu sangat penting?

Filsafat dan Hidup Sehari-hari
Pada dasarnya pengetahuan filsafat timbul dari pengalaman sehari-hari. Maka, biar bagaimana pun filsafat tidak akan pernah terlepas dari pengalaman hidup sehari-hari. Berfilsafat bukanlah suatu kegiatan yang harus dilakukan oleh segelintir ahli saja, melainkan merupakan salah satu ciri dari kemanusiaan kita. Berfilsafat merupakan suatu kegiatan yang terbuka bagi setiap orang[1]. Berfilsafat pada pokoknya terjadi di tengah-tengah kejadian hidup sehari-hari. Menurut hakikatnya filsafat selalu bertautan dengan permenungan sehari-hari. Maka, menjadi sesuatu yang salah jika dinyatakan bahwa filsafat itu mengawang-awang atau tidak mendarat.

Secara etimologis, filsafat berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata philo (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Secara harafiah filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan dan filsuf berarti orang yang mencari kebijaksanaan[2]. Jadi, filsafat pada hakikatnya mengarah pada suatu kebijaksanaan hidup yang bisa diterapkan dalam hidup sehari-hari. Berefleksi atau merenung secara rasional menjadi metode yang digunakan dalam berfilsafat. Objek filsafat itu sendiri adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan manusia. Filsafat tidak bisa lepas dari kebijaksanaan sehari-hari yang menyangkut pengalaman hidup.

Memang tak dapat dipungkiri bahwa kerap terjadi pertentangan antara pengalaman sehari-hari dan filsafat. Dalam kenyataannya sering muncul suatu konflik antara pengalaman sehari-hari dan filsafat. Sekalipun demikian, ada baiknya selalu diingat juga bahwa filsafat lahir atas dasar pengalaman hidup manusia. Biarpun antara pengalaman sehari-hari dan filsafat kadang-kadang terjadi pertentangan, filsafat tetap berhubungan erat dengan pengalaman sehari-hari. Filsafat mencari akar-akar pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Filsafat hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari[3].

Filsafat bagi Religius Muda
Sebagian besar imam kita berkarya untuk paroki. Mereka melayani umat lewat perayaan Ekaristi dan berbagai macam perayaan sakramental lainnya. Mereka mendengarkan umat yang berkeluh kesah tentang persoalan sehari-hari, memberikan nasihat, membangun Gereja bersama-sama umat. Kebanyakan aktivitas mereka sangat konkret karya pastoral[4].

Berbagai kuliah filsafat selama tiga atau empat tahun diberikan kepada para calon imam selama pendidikan menuju imamat. Sebelum para calon imam menerima pendidikan teologi secara intensif, mereka terlebih dahulu menyelesaikan kuliah filsafat. Filsafat bertindak sebagai “alat bantu teologi” sehingga para calon imam mempunyai dasar yang kuat untuk mempelajari teologi lebih lanjut. Dengan demikian, filsafat sangat penting bagi pendidikan calon imam/religius.

Tanggapan para religius muda terhadap filsafat pada umumnya berbeda-beda. Para calon imam/religius terlebih dahulu dibekali hidup rohani yang kuat selama satu, dua dan bahkan sampai tiga tahun misalnya TOR (Tahun Orientasi Rohani) untuk calon imam diosesan atau tahun novisiat untuk calon imam biarawan. Setelah melewati masa tersebut mereka akan mulai menggeluti studi filsafat selama empat tahun. Kehidupan spiritual yang telah dihidupi selama TOR atau novisiat mulai “dirasuki” oleh filsafat yang kritis dan rasional. Hal ini memberikan kesan tertentu bagi para religius muda. Religius muda dihadapkan pada suatu hal yang baru dan menantang.

Aktualisasi Filsafat
Apakah filsafat yang telah dipelajari di bangku kuliah memberikan pengaruh terhadap hidup para religius muda? Pertanyaan ini akan selalu bergema bagi para religius muda yang sedang memulai menggeluti studi filsafat. Suatu mata kuliah akan sungguh-sungguh bermanfaat apabila mata kuliah tersebut memberikan pengaruh nyata kepada mahasiswa yang sedang mempelajarinya. Daya guna filsafat diharapkan teraplikasi dalam hidup sehari-hari sebagai seorang religius.

Filsafat menuntun seseorang untuk mampu berpikir kritis dan rasional dalam menghadapi suatu realitas[5]. Kemampuan tersebut dibutuhkan dalam hidup berkomunitas agar mampu menyeimbangkan keutuhan pribadi seseorang. Spiritualitas yang matang digabungkan dengan pola pikir yang kritis dan rasional. Ini akan menghasilkan suatu keseimbangan sehingga mampu menciptakan suasana yang nyaman dalam hidup komunitas.

Setelah mengetahui hakikat dan fungsi filsafat, hal selanjutnya yang dilakukan adalah mengaktualisasikan filsafat tersebut dalam hidup. Filsafat akan menuntun seseorang untuk semakin bijaksana dalam menjalani hidup kesehariannya. Kebijaksanaan diperlukan untuk membangun hidup yang lebih baik sebagai seorang religius muda. Menjadi seorang filsuf muda bukan harus seperti Sokrates yang dihukum mati karena mempertahankan pendapatnya, melainkan menjadi filsuf religius yang mencari kebijaksanaan dalam hidup. Seperti pendapat Pytagoras, menjadi filsuf ialah menjadi orang yang mencintai kebijaksanaan.

Sikap praktis yang bisa diterapkan dalam mengaktualisasikan filsafat ialah sikap untuk selalu berefleksi atau merenung. Dalam berhadapan dengan realitas, religius muda semakin dilatih untuk bersikap kritis, serius, mendasar, mendalam, dialogis, rasional, reflektif dan bertanggung jawab. Dengan ini filsafat menjdai sesuatu hal yang nyata dan dapat dialami. Religius muda yang berkompeten ialah religius muda yang tidak hanya mampu menjawab soal-soal ujian seputar filsafat melainkan religius muda yang menerapkan apa yang bisa diterapkan. Alhasil, pepatah Latin tetap bergema yakni, non scholae sed vitae discimus[6].

Penutup
Anggapan filsafat sebagai ilmu yang mengawang-awang/tidak mendarat mulai terkikis apabila filsafat itu sudah mulai terbiasa diaktualisasikan secara konkrit dalam hidup sehari-hari. Filsafat yang membumi akan terasa cukup menolong untuk memahami dan mengerti segala sesuatu. Filsafat meneruskan hasrat manusia yang selalu sadar akan dirinya sendiri dan akan dunia. Filsafat mencari akar-akar pengalaman sehari-hari dan membuka jalan kepadanya. Itulah sebabnya mengapa filsafat hendaknya selalu mengantar kita kembali ke pengalaman sehari-hari, karena di sana bersumberlah kemampuan kita untuk menilai sesuatu.




            [1] C.A. van Peursen., Orientasi di Alam Filsafat, (Jakarta: Penerbit PT. Gramedia. 1985.), hlm.
            [2] K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani,  (Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1975.),  hlm. 13.
                [3] C.A. van Peursen, Orientasi... , hlm.
            [4] Menurunkan Filsafat ke Bumi, (dalam majalah Hidup (Jakarta) no. 4 thn ke 61),  hlm. 4.
            [5] William S. Sahakian Ph.D, Realms of Philosophy, (Cambridge: Schenkman Publishing Company, Inc.. 1965.),  hlm. xv-xvi.
                [6] Artinya : kita belajar bukan untuk sekolah (nilai) melainkan untuk hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....