MARGA DALAM SIMALUNGUN
(Poliaman Purba, S.Fil.)
(Poliaman Purba, S.Fil.)
Suatu kebiasaan
Orang Batak yang masih ada sampai sekarang ialah bila bertemu dengan sesama
orang Batak mereka akan saling menanyakan/memperkenalkan marganya. Kemudian
setelah itu, pembicaraan akan berjalan seperti biasa. Inilah kekhasan orang
Batak, sebab semua orang Batak pasti memiliki marga. Kebiasaan ini sudah
merupakan tradisi dalam budaya Batak (dalam konteks ini Batak Simalungun).
Marga merupakan suatu kelompok orang-orang yang berasal dari keturunan segaris
berdasarkan garis keturunan pria (patrilineal). Selain menunjukkan identitas
keluarga, marga juga menunjukkan apakah seorang itu Batak Toba atau Batak Karo
atau Batak Simalungun atau Batak Pakpak ataupun Batak Mandailing.
- Sistem Marga
Marga merupakan suatu kelompok
orang-orang yang berasal dari keturunan segaris berdasarkan garis keturunan
pria/patrilineal. Ada
empat marga besar di kalangan masyarakat Simalungun. 1) Purba, 2) Saragih, 3)
Damanik, dan 4) Sinaga. Keempat marga ini, dengan pengecualian marga Damanik
yang tak terbagi ke dalam submarga, terbagi lagi ke dalam submarga atau garis
keturunan (marga) sbb:
Purba
|
Saragih
|
Sinaga
|
Damanik
|
Tondang
|
Garingging
|
Bonor
|
|
Girsang
|
Sumbayak
|
Uruk
|
|
Dasuha
|
Munthe
|
Sitopu
|
|
Tanjung
|
Lingga
|
||
Pakpak
|
|||
Tambak
|
|||
Siboro
|
|||
Sidabalog
|
|||
Sidagambir
|
|||
Sigumonrong
|
Secara praktis
ikatan-ikatan kekerabatan ini lebih berfungsi pada tingkatan submarga daripada
tingkatan marga. Kebanyakan submarga ini dapat ditelusuri genealoginya hingga
ke tingkat generasi seorang nenek moyang milik bersama, sedangkan pada
tingkatan marga hal ini jarang dapat dibuktikan. Maka dalam memberikan nama
keluarga, seorang Batak dapat memilih untuk menggunakan nama marga ataupun
submarganya. Karena nama keluarga Purba Girsang dianggap terlalu panjang atau
terdapat banyak nama keluarga Purba yang ada di lingkungannya, seseorang dapat
memilih namanya untuk dikenal sebagai Tuan Girsang dan bukan sebagai Tuan
Purba. Namun marganya tetap marga Purba dan pada dokumen-dokumen resmi atau
undangan acara perkawinan, baik marga maupun submarganya biasanya turut
dicantumkan.
Istilah marga
ini selalu digunakan untuk mengidentifikasikan seorang pria dengan marganya.
Bila seorang Batak berkata,”Dia dari marga Purba”, kata marga yang di gunakan
di sini langsung menunjukkan bahwa yang bersangkutan adalah seorang pria.
Istilah analog bagi kaum wanita adalah boru
(anak perempuan). “Dia boru Damanik” berarti “Ia (perempuan) bermarga Damanik”.
Namun bila wanita Damanik ini mengucapkan marga ayahnya, ia tidak menggunakan
istilah marga namun istilah yang digunakan adalah panogolan. Silsilah masing-masing individu, berdasarkan identitas
orang tuanya terdiri dari empat buah unsur: marga, submarga, panogolan dan
subpanogolan. Misalnya:
Marga
|
Purba
|
Boru
|
Sinaga
|
||
Submarga
|
Tambak
|
Subboru
|
Bonor
|
||
Marga
|
Purba
|
Boru
|
Purba
|
||
Submarga
|
Tambak
|
Subboru
|
Tambak
|
||
Panogolan
|
Sinaga
|
Panogolan
|
Sinaga
|
||
Subpanogolan
|
Bonor
|
Subpanogolan
|
Bonor
|
- Identitas Kekerabatan
Identitas
kekerabatan paling menentukan bagaimana seorang Batak harus memandang seorang
Batak yang lain dan mengarahkan perilaku yang pantas terhadap yang
bersangkutan, sehingga semua orang Batak (Simalungun) terlibat dalam martutur atau martarombo (menanyakan silsilah yang bersangkutan) sebagai salah
satu aspek percakapan yang pertama kali dilakukan. Martutur/martarombo penting
dalam memilih pasangan hidup; karena aturan mengenai pernikahan eksogami dalam
kaitannya dengan marga diberlakukan dengan ketat. Dalam hal ini pernikahan tidak
boleh dilangsungkan antara dua orang bermarga sama, meskipun mereka keturunan
dari sub-panogolan yang berbeda jauh
selama sekian tingkat keturunan. Hal ini ditabukan sebagai suatu praktik incest
dan diganjar dengan hukuman sangat berat atau bahkan ganjaran berupa hukuman
mati.
- Refleksi dalam Iman Kristiani
Manusia tidak
pernah lepas dari budaya. Sejauh penulis yang ketahui, bagi seorang Kristen
budaya/tradisi tidak pernah menjadi penghalang dalam menghayati iman Kristiani. Demikian juga halnya dengan
budaya/tradisi dalam budaya Batak, dalam hal ini Batak Simalungun. Sistem marga
dan tradisi martutur/martarombo mampu masuk ke dalam penghayatan iman
Kristiani.
Sistem marga
dalam budaya Batak (Simalungun) mampu memunculkan ikatan persaudaraan di antara
sesama marga. Mungkin sebelumnya tidak pernah saling mengenal tetapi oleh
karena mempunyai marga yang sama, seorang Batak mampu menjalin hubungan dengan
sesama marganya. Marga telah mampu mengikat persaudaraan antar sesama Batak.
Demikian juga halnya dengan iman Kristiani. Iman akan Yesus telah mampu
mempersatukan bukan hanya sesama marga atau suku melainkan antarsuku, bahasa,
kebudayaan, bangsa/ras dan kenegaraan. Babtisan telah mampu memunculkan ikatan
persaudaraan di antara kita meskipun terdapat perbedaan marga, suku, bahasa,
budaya, bangsa ataupun negara. Sama seperti sistem marga dalam budaya Batak,
babtisan Kristiani juga telah mempersatukan kita sebagai saudara dalam Kristus.
Kita bukan lagi dihubungkan oleh ikatan darah melainkan oleh ikatan air
(babtisan).
Jadi, sistem
marga dalam budaya Batak (Simalungun) telah mampu memunculkan hal-hal yang baik
dalam kekerabatan. Marga telah mampu menghubungkan jalinan yang mungkin
sebelumnya tidak ada. Memang rasanya terkesan eksklusif, tetapi ada hal yang
cukup baik terdapat didalamnya. Selain itu juga, jika dikembangkan lebih jauh
lagi, bukan hanya sebatas marga lagi yang menyatukan. Bisa dikarenakan
sama-sama memiliki marga, dengan kata lain sama-sama orang Batak. Kita
kembangkan lebih jauh lagi, hubungan antar sesama dijalin oleh karena iman akan
Kristus. Bahkan akhirnya hubungan kita akan berdasarkan cinta kasih. Cinta
kasih melebihi marga, suku, bangsa, bahasa, budaya bahkan agama. Kesadaran akan
cinta kasih akhirnya akan menjadi dasar bagi kita untuk berelasi dengan sesama.
- Penutup
Budaya Batak
Simalungun dalam hal marga tidak belawanan dengan iman Kristiani yang kita
yakini. Dan sebagai manusia yang berbudaya, kita tidak boleh terlepas dari
budaya yang kita miliki melainkan selalu melestarikannya. Sebab budaya
menunjukkan identitas diri, maka sudah sewajarnya kita menghidupinya dalam iman
Kristiani tentunya. Seperti yang diungkapkan dalam uppasa Simalungun,
Dulang
si dua rupa Boras na satumba
Goran
ni bulung-bulung Iboan
hu Jakarta
Ulang
ma hita lupa Horas
hita haganupan
Adat
ni Simalungun Ituppaki Tuhan Naibata[1]
Daftar Pustaka
Jansen, Arlin
Dietrich. Gonrang Simalungun. Medan : Bina Media
Perintis, 2003.
Purba, Angelo. Uppasa Simalungun. Medan : Bina Media Perintis, 2001.
Saragih,
Sortaman. Orang Simalungun. Depok:
CV. Citama Vigora, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar