EPIKUREANISME
(Poliaman Purba, S.Fil.)
(Poliaman Purba, S.Fil.)
Epikureanisme
adalah salah satu aliran filsafat yang paling sering disalah-mengerti oleh
kalangan orang-orang awam. Orang kerap memandang aliran ini sebagai suatu paham
tentang penyaluran hasrat untuk mencapai kesenangan[1].
Sehingga, Epikurianisme kerap disebut sebagai “filsafat bahagia”[2].
Konsep ini jelas merupakan konsep yang keliru. Pada dasarnya Epikuros
pertama-tama menekankan penghindaran akan rasa sakit dan menekankan kenikmatan
spiritual sebagai pilihan yang terutama melebihi kenikmatan fisik. Lagi pula
bukan hanya sebatas itu ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Epikuros juga
mengajarkan doktrin tentang logika, fisika dan etika. Doktinnya ini cukup
memberi pengaruh pada kehidupan budaya Yunani dan Romawi.
- Epikuros
Epikuros
adalah pendiri aliran filsafat Epikureanisme. Epikuros adalah seorang Yunani
yang dilahirkan di Samos pada tahun 341 SM. Sebagai seorang muda, ia pergi ke
Athena, di mana ia berkenalan dengan ajaran Demokritos pada tahun 324 SM. Pada
tahun 310 SM, ia kembali ke Asia Kecil dan menjadi kepala suatu perguruan di
Kolofon. Kelak ia kembali ke Athena dan pada tahun 306 mendirikan suatu
perguruan. Ia membuka sekolah di tamannya sendiri. Taman itu menjadi sebuah
tempat tinggal yang elegan untuk dirinya sendiri dan teman-temannya. Karena
ajarannya diberikan di taman, maka perguruan itu disebut “perguruan taman” dan
filsafatnya mendapat nama “filsafat taman”[3].
Dalam tamannya yang dipenuhi dengan patung-patung, dia hidup bahagia sambil
mengajar dan berdiskusi tentang filsafat dengan teman-temannya. Dia wafat pada tahun 270 SM.
Epikuros
adalah orang yang bertabiat baik dan menarik serta mempunyai jiwa yang ulet.
Meskipun miskin dan selalu menderita, namun ia tetap berbahagia, dan dapat
menunjukkan jalan kebahagiaan bagi orang lain. Epicuros adalah seorang penulis
yang giat, tetapi kebanyakan tulisan-tulisannya telah hilang.
Doktrin-doktrinnya dirangkumkan dalam suatu naskah dan diberikan kepada
murid-muridnya untuk dipelajari dengan seksama. Dia dianggap sebagai seorang
dewa oleh para pengikutnya. Bahkan mereka mengadakan perayaan tahunan untuk
menghormati dia[4].
- Sejarah Singkat
Zaman
sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda sekali dengan zaman Aristoteles.
Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai dengan pemerintahan Aleksander
Agung, zaman yang disebut zaman helenisme. Pada zaman ini ada perpindahan
pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang
praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia.
Salah satunya ialah aliran Epikureanisme[5].
Epikurianisme
merupakan aliran yang berpengaruh dalam kehidupan budaya Yunani dan Romawi dari
zaman Epicuros abad ke 4 SM sampai abad ke 5 SM. Dalam kurun waktu ini terdapat
catatan panjang tentang polemik antara kaum Epikurean di satu pihak dan kaum
Stoa, kaum Skeptik, dan filsuf-filsuf Aristotelian atau Peripatetik di lain
pihak.
Pengikut
awal Epicuros adalah Hermachus dan kemudian Polystratus. Awalnya mazhab ini
menegaskan tentang teori nilai. Kesenangan
dipandang sebagai kebaikan tertinggi dan filsafat moral dapat diangkat dari
sini. Abad pertama SM, sejumlah filsuf yang hebat tampil dalam gerakan ini
kurang lebih serempak: Lucretius, Philodemus dan Asclepiades. Pada periode ini, mazhab ini
menekankan pendekatan empirisnya pada logika. Logika kaum Stoa dianggap terlalu
rasional. Baik filsuf Paripatetik maupun Skeptik juga dikritik karena
penggunaan argumen-argumen yang kosong. Pada periode ini juga muncul Cicero.
Eklektisisme Cicero memasukkan Epikureanisme sebagai salah satu unsur
pentingnya[6].
- Ajaran
a.
Pikiran Dasar
Tujuan
Epikuros ialah menunjuk jalan ke bahagia. Untuk memperlihatkan jalan
pikirannya, yang ditunjuk lebih dahulu ialah musuh-musuh bahagia manusia.
Dapatkah bahagia datang, selama ada musuh-musuhnya yang melawan? Tidak. Apakah
musuh-musuh itu? Pertama: fatum atau
takdir, kedua: dewa-dewa, dan ketiga: rasa takut akan mati. Ketiganya ini
menakutkan, dan manusia harus dibebaskan dari ketakutan itu. Bagaimanakah
jalannya? Dengan memberi pengertian yang sebenarnya sehingga tampak bahwa
ketakutan itu sama sekali tidak beralasan. “Satu-satunya
jalan untuk menghilangkan ketakutan itu ialah jika manusia mengerti betul-betul
bagaimanakah alam kodrat itu. Andaikata kita tidak takut lagi akan dewa-dewa
dan maut, tak perlulah kita mempelajari kodrat”.[7]
b.
Logika
Dalam
pikiran Epikuros logika sangat diperlukan sebagai jalan. Logika harus
menunjukkan norma-norma sehingga yang benar dapat dipisahkan dari yang salah.
Dengan demikian, jelas bahwa logika menjadi alat dalam pelajaran fisika dan
keduanya merupakan persiapan untuk etika.
Epikuros
berpendapat bahwa pengenalan didapatkan melalui pengamatan.
Apa yang benar adalah apa yang diamati pada suatu saat dengan indera. Adapun
proses pengamatan terjadi dengan demikian: benda-benda di luar manusia
melepaskan gambaran-gambaran yang halus yang kemudian memasuki indera, dengan
akibat bahwa manusia memperoleh gagasan tentang benda itu.
Sedangkan Demokritos sama sekali tidak menghargai
pengertian indera, bagi Epikuros pengertian inilah satu-satunya sumber
pengetahuan. Kritik tidak diperlukan sama sekali. Indera manusia menangkap
barang-barang yang ada seperti adanya. Tangkapan kita tidak dapat tidak benar.
Sesatan barulah dapat muncul jika orang hendak memberi interpretasi atau
keterangan tentang tangkapannya. Akan tetapi, tangkapan sendiri tidak mungkin
tersesat. Benar atau tidaknya interpretasi itu tergantung dari mungkin atau
tidaknya verifikasi atau pembenaran dengan membandingkannya dengan tangkapan
yang langsung. Jadi, apakah yang benar? Hanya yang mempunyai verifikasi dengan
tangkapan yang langsung: artinya hanya yang dapat dibuktikan dengan pengenalan
indera, dengan penglihatan mata, pendengaran telinga, dan lain sebagainya. Di
luar itu tidak ada kebenaran[8].
c.
Fisika
Menurut
Epicuros, tiada sesuatu pun yang ada, yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak
ada, dan tidak ada sesuatu yang ada, yang kemudian musnah menjadi tidak ada. Jagat raya adalah kekal dan tidak
terbatas, dan dibentuk oleh benda yang kita amati dan oleh ruang kosong yang
ditempati benda itu. Segala benda disusun dari atom-atom, yang telah ada sejak
kekal bersama-sama dengan adanya ruang kosong. Segala atom tidak dapat
dibagi-bagi dan tidak dapat binasa. Semuanya memiliki bentuk, berat dan besarnya,
sekalipun bentuknya berbeda-beda. Itulah sebabnya maka ada benda yang
berbeda-beda juga. Atom-atom itu begitu kecil sehingga tidak dapat diamati[9].
Semua atom bergerak. Semula, karena beratnya,
semua atom bergerak dari atas ke bawah, sehingga seolah-olah ada hujan atom.
Tetapi kemudian ada beberapa atom yang menyimpang, yang mengakibatkan
pertabrakan dan penimbunan atom-atom. Kejadian ini menjadikan atom-atom
akhirnya berputar-putar, yang lebih berat di tengah, sedang yang lebih ringan
di tepi. Demikianlah jagat raya ini terjadi karena gerak dan pertabrakan
atom-atom. Para dewa tidak ikut campur dalam penjadian jagat raya dan dalam
perkembangannya lebih lanjut[10].
Jiwa tidak lain adalah atom, yaitu atom yang bulat
dan licin. Oleh karena itu, pada hakekatnya jiwa adalah tubuh halus yang berada
di dalam tubuh. Tanpa tubuh kasar jiwa tidak dapat berada. Setelah orang mati
jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom lagi, sehingga jiwa tiada lagi.
Maksud Epikuros dalam mengarang dalilnya itu ialah
untuk membebaskan manusia dari ketakutan akan adanya fatum atau takdir dan ketakutan akan dewa-dewa. Akan tetapi,
tercapaikah maksud itu? Dalam garis pikiran Epikuros sendiri, dapatkah
perbenturan-perbenturan atom-atom itu diubah atau dikalahkan oleh manusia atau
dewa-dewa? Jika demikian, apakah atau siapakah yang dapat menjamin keselamatan
manusia?
Jika dengan pikiran itu dewa-dewa sudah
”disingkirkan”, masih tinggallah ketakutan akan maut. Epikuros mencoba
membantah ini dengan menerangkan bahwa yang disebut mati itu hanya perceraian
atom-atom yang sebagai gerombolan merupakan jiwa. Atom-atom itu berlainan dari
atom-atom badan; atom-atom jiwa lebih halus, bulat dan licin. Akan tetapi,
bagaimanapun juga atom-atom itu juga barang jasmani. Sebetulnya, manusia itu
tidak bersangkut paut dengan apa yang disebut mati. Jika atom-atom jiwa kita
bercerai, kita tidak ada; dan jika kita ada, atom-atom itu tidak bercerai[11].
d.
Etika
Di dalam etikanya Epikuros bermaksud memberikan
ketenangan batin (ataraxia) kepada
manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu diancam oleh ketakutan,
yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap maut dan terhadap nasib.
Padahal ketakutan-ketakutan itu sebenarnya tidak ada dasarnya, tidak masuk
akal. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia ini? Di dalam
jagat raya segala sesuatu terjadi karena gerak atom-atom. Para dewa tidak
menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya.
Mereka menikmati kebahagiaan yang kekal, yang tidak dapat diganggu oleh
siapa pun. Manusia tidak mungkin mengganggu mereka. Oleh karena itu mereka
tidak akan mengganggu manusia. Itulah sebabnya orang tidak perlu takut terhadap
dewa. Juga orang tidak perlu takut terhadap maut. Bukankah setelah orang mati
jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom, kembali kepada asalnya? Oleh karena itu
tidak ada hukuman di akhirat. Setelah orang mati ia tidak akan menikmati
apa-apa dan tidak akan menderita apa-apa. Maut bukanlah hal yang jahat atau hal
yang baik. Selama kita hidup kita tidak akan mati, sedang jikalau mati kita tidak
ada lagi. Apa perlunya takut terhadap maut? Juga terhadap nasib orang tidak
perlu takut. Sebab tidak ada nasib. Kita sendirilah yang menguasai hidup kita
dan segala perbuatan kita. Atom dapat berubah arah geraknya. Kemungkinan
perubahan memang ada. Kita dapat mengubah pengungkapan kehendak kita. Jadi kita
sendiri yang menentukan keadaan kita. Tidak ada nasib[12].
Tujuan hidup adalah hedone (kenikmatan, kepuasan), yang tercapai jikalau batin orang
tenang dan tubuhnya sehat. Ketenangan batin timbul jikalau segala keinginan
dipuaskan, sehingga tiada sesuatu pun yang diinginkan lagi. Di sini orang hanya
akan menikmati saja. Jadi makin sedikit keinginan, makin besar kebahagiaan.
Oleh karena itu orang wajib membatasi apa yang dinginkan. Itu tidak berarti
bahwa manusia harus mencita-citakan kemiskinan. Kebahagiaan tidak terdiri dari
menikmati hal yang melimpah-limpah, sebab juga hal yang sedikit dapat
dinikmati. Yang baik ialah, jikalau dalam keadaan yang konkrit perasaan
menentukan perbuatan mana yang akan memberi kepuasan. Jikalau orang terpaksa
harus memilih dari antara bermacam-macam keinginan, hendaknya dipilih keinginan
yang dapat memberi kenikmatan yang mendalam dan yang lama. Orang bijak tahu
seni untuk menikmati selama dan sedalam mungkin. Persaudaraan dipandang penting
sebagai sarana untuk menambah kenikmatan. Ketenangan batin yang bersifat rohani
lebih berbobot dibanding dengan kesehatan badaniah.
- Penutup
Epikureanisme
telah mampu menyumbangkan sesuatu dalam pemikiran filsafat terutama pada
zamannya yakni zaman di mana helenisme sedang berkembang pesat. Pada zaman ini
ada perpindahan pemikiran filsafati, yaitu dari filsafat teoritis menjadi
filsafat yang praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan
cita-cita hidup manusia. Epikureanisme termasuk di dalamnya. Epikureanisme
merupakan aliran yang bersifat etis yang menekankan persoalan-persoalan tentang
kebijaksanaan hidup yang praktis.
BIBLIOGRAFI
Bagus,
Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Bertens,
K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta.
Penerbit Kanisius. 1974.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang. Penerbit Universitas
Sriwijaya. 2001
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980.
Mascia, Carmin T.O.R. A History of Philosophy. New Jersey. St.
Anthony Guild Press. 1957.
Mudhofir, Ali. Kamus: Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta.
Gadjah Mada University Press. 1996.
Sahakian, William S. Realms of Philosophy. Cambridge.
Schenkman Publishing Company Inc. 1965.
Sudiarja, A. dkk. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bagsanya. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2006.
[1] William S. Sahakian, Realms of Philosophy (Cambridge. Schenkman Publishing Company Inc.,
1965), hlm. 134
[2] A. Sudiarja SJ dkk, Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat
Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka
Utama. 2006), hlm. 1207
[3] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1207
[4] Carmin Mascia T.O.R., A History of Philosophy,( New Jersey. St. Anthony Guild Press.
1957), hlm. 105
[5] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah
Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980), hlm. 54
[7] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1208
[8] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1209
[9] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius.
1980), hlm. 55
[10] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55
[11] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1210-1211
[12] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55-56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar