Jumat, 13 November 2015

Filsafat: Epikureanisme

EPIKUREANISME
(Poliaman Purba, S.Fil.)

           
  1. Pengantar 
Epikureanisme adalah salah satu aliran filsafat yang paling sering disalah-mengerti oleh kalangan orang-orang awam. Orang kerap memandang aliran ini sebagai suatu paham tentang penyaluran hasrat untuk mencapai kesenangan[1]. Sehingga, Epikurianisme kerap disebut sebagai “filsafat bahagia”[2]. Konsep ini jelas merupakan konsep yang keliru. Pada dasarnya Epikuros pertama-tama menekankan penghindaran akan rasa sakit dan menekankan kenikmatan spiritual sebagai pilihan yang terutama melebihi kenikmatan fisik. Lagi pula bukan hanya sebatas itu ajaran yang disampaikan oleh Epikuros. Epikuros juga mengajarkan doktrin tentang logika, fisika dan etika. Doktinnya ini cukup memberi pengaruh pada kehidupan budaya Yunani dan Romawi.

  1. Epikuros 
Epikuros adalah pendiri aliran filsafat Epikureanisme. Epikuros adalah seorang Yunani yang dilahirkan di Samos pada tahun 341 SM. Sebagai seorang muda, ia pergi ke Athena, di mana ia berkenalan dengan ajaran Demokritos pada tahun 324 SM. Pada tahun 310 SM, ia kembali ke Asia Kecil dan menjadi kepala suatu perguruan di Kolofon. Kelak ia kembali ke Athena dan pada tahun 306 mendirikan suatu perguruan. Ia membuka sekolah di tamannya sendiri. Taman itu menjadi sebuah tempat tinggal yang elegan untuk dirinya sendiri dan teman-temannya. Karena ajarannya diberikan di taman, maka perguruan itu disebut “perguruan taman” dan filsafatnya mendapat nama “filsafat taman”[3]. Dalam tamannya yang dipenuhi dengan patung-patung, dia hidup bahagia sambil mengajar dan berdiskusi tentang filsafat dengan teman-temannya. Dia wafat pada tahun 270 SM.

Epikuros adalah orang yang bertabiat baik dan menarik serta mempunyai jiwa yang ulet. Meskipun miskin dan selalu menderita, namun ia tetap berbahagia, dan dapat menunjukkan jalan kebahagiaan bagi orang lain. Epicuros adalah seorang penulis yang giat, tetapi kebanyakan tulisan-tulisannya telah hilang. Doktrin-doktrinnya dirangkumkan dalam suatu naskah dan diberikan kepada murid-muridnya untuk dipelajari dengan seksama. Dia dianggap sebagai seorang dewa oleh para pengikutnya. Bahkan mereka mengadakan perayaan tahunan untuk menghormati dia[4].

  1. Sejarah Singkat
Zaman sesudah Aristoteles memang zaman yang berbeda sekali dengan zaman Aristoteles. Zaman ini adalah zaman yang baru, yang dimulai dengan pemerintahan Aleksander Agung, zaman yang disebut zaman helenisme. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafat, yaitu dari filsafat yang teoritis menjadi filsafat yang praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Salah satunya ialah aliran Epikureanisme[5].

Epikurianisme merupakan aliran yang berpengaruh dalam kehidupan budaya Yunani dan Romawi dari zaman Epicuros abad ke 4 SM sampai abad ke 5 SM. Dalam kurun waktu ini terdapat catatan panjang tentang polemik antara kaum Epikurean di satu pihak dan kaum Stoa, kaum Skeptik, dan filsuf-filsuf Aristotelian atau Peripatetik di lain pihak.

Pengikut awal Epicuros adalah Hermachus dan kemudian Polystratus. Awalnya mazhab ini menegaskan tentang teori nilai. Kesenangan dipandang sebagai kebaikan tertinggi dan filsafat moral dapat diangkat dari sini. Abad pertama SM, sejumlah filsuf yang hebat tampil dalam gerakan ini kurang lebih serempak: Lucretius, Philodemus dan Asclepiades. Pada periode ini, mazhab ini menekankan pendekatan empirisnya pada logika. Logika kaum Stoa dianggap terlalu rasional. Baik filsuf Paripatetik maupun Skeptik juga dikritik karena penggunaan argumen-argumen yang kosong. Pada periode ini juga muncul Cicero. Eklektisisme Cicero memasukkan Epikureanisme sebagai salah satu unsur pentingnya[6].

  1. Ajaran
a.       Pikiran Dasar
Tujuan Epikuros ialah menunjuk jalan ke bahagia. Untuk memperlihatkan jalan pikirannya, yang ditunjuk lebih dahulu ialah musuh-musuh bahagia manusia. Dapatkah bahagia datang, selama ada musuh-musuhnya yang melawan? Tidak. Apakah musuh-musuh itu? Pertama: fatum atau takdir, kedua: dewa-dewa, dan ketiga: rasa takut akan mati. Ketiganya ini menakutkan, dan manusia harus dibebaskan dari ketakutan itu. Bagaimanakah jalannya? Dengan memberi pengertian yang sebenarnya sehingga tampak bahwa ketakutan itu sama sekali tidak beralasan. “Satu-satunya jalan untuk menghilangkan ketakutan itu ialah jika manusia mengerti betul-betul bagaimanakah alam kodrat itu. Andaikata kita tidak takut lagi akan dewa-dewa dan maut, tak perlulah kita mempelajari kodrat”.[7]

b.      Logika
Dalam pikiran Epikuros logika sangat diperlukan sebagai jalan. Logika harus menunjukkan norma-norma sehingga yang benar dapat dipisahkan dari yang salah. Dengan demikian, jelas bahwa logika menjadi alat dalam pelajaran fisika dan keduanya merupakan persiapan untuk etika.

Epikuros berpendapat bahwa pengenalan didapatkan melalui pengamatan. Apa yang benar adalah apa yang diamati pada suatu saat dengan indera. Adapun proses pengamatan terjadi dengan demikian: benda-benda di luar manusia melepaskan gambaran-gambaran yang halus yang kemudian memasuki indera, dengan akibat bahwa manusia memperoleh gagasan tentang benda itu.

Sedangkan Demokritos sama sekali tidak menghargai pengertian indera, bagi Epikuros pengertian inilah satu-satunya sumber pengetahuan. Kritik tidak diperlukan sama sekali. Indera manusia menangkap barang-barang yang ada seperti adanya. Tangkapan kita tidak dapat tidak benar. Sesatan barulah dapat muncul jika orang hendak memberi interpretasi atau keterangan tentang tangkapannya. Akan tetapi, tangkapan sendiri tidak mungkin tersesat. Benar atau tidaknya interpretasi itu tergantung dari mungkin atau tidaknya verifikasi atau pembenaran dengan membandingkannya dengan tangkapan yang langsung. Jadi, apakah yang benar? Hanya yang mempunyai verifikasi dengan tangkapan yang langsung: artinya hanya yang dapat dibuktikan dengan pengenalan indera, dengan penglihatan mata, pendengaran telinga, dan lain sebagainya. Di luar itu tidak ada kebenaran[8].

c.       Fisika
Menurut Epicuros, tiada sesuatu pun yang ada, yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak ada, dan tidak ada sesuatu yang ada, yang kemudian musnah menjadi tidak ada. Jagat raya adalah kekal dan tidak terbatas, dan dibentuk oleh benda yang kita amati dan oleh ruang kosong yang ditempati benda itu. Segala benda disusun dari atom-atom, yang telah ada sejak kekal bersama-sama dengan adanya ruang kosong. Segala atom tidak dapat dibagi-bagi dan tidak dapat binasa. Semuanya memiliki bentuk, berat dan besarnya, sekalipun bentuknya berbeda-beda. Itulah sebabnya maka ada benda yang berbeda-beda juga. Atom-atom itu begitu kecil sehingga tidak dapat diamati[9].

Semua atom bergerak. Semula, karena beratnya, semua atom bergerak dari atas ke bawah, sehingga seolah-olah ada hujan atom. Tetapi kemudian ada beberapa atom yang menyimpang, yang mengakibatkan pertabrakan dan penimbunan atom-atom. Kejadian ini menjadikan atom-atom akhirnya berputar-putar, yang lebih berat di tengah, sedang yang lebih ringan di tepi. Demikianlah jagat raya ini terjadi karena gerak dan pertabrakan atom-atom. Para dewa tidak ikut campur dalam penjadian jagat raya dan dalam perkembangannya lebih lanjut[10].

Jiwa tidak lain adalah atom, yaitu atom yang bulat dan licin. Oleh karena itu, pada hakekatnya jiwa adalah tubuh halus yang berada di dalam tubuh. Tanpa tubuh kasar jiwa tidak dapat berada. Setelah orang mati jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom lagi, sehingga jiwa tiada lagi.

Maksud Epikuros dalam mengarang dalilnya itu ialah untuk membebaskan manusia dari ketakutan akan adanya fatum atau takdir dan ketakutan akan dewa-dewa. Akan tetapi, tercapaikah maksud itu? Dalam garis pikiran Epikuros sendiri, dapatkah perbenturan-perbenturan atom-atom itu diubah atau dikalahkan oleh manusia atau dewa-dewa? Jika demikian, apakah atau siapakah yang dapat menjamin keselamatan manusia?

Jika dengan pikiran itu dewa-dewa sudah ”disingkirkan”, masih tinggallah ketakutan akan maut. Epikuros mencoba membantah ini dengan menerangkan bahwa yang disebut mati itu hanya perceraian atom-atom yang sebagai gerombolan merupakan jiwa. Atom-atom itu berlainan dari atom-atom badan; atom-atom jiwa lebih halus, bulat dan licin. Akan tetapi, bagaimanapun juga atom-atom itu juga barang jasmani. Sebetulnya, manusia itu tidak bersangkut paut dengan apa yang disebut mati. Jika atom-atom jiwa kita bercerai, kita tidak ada; dan jika kita ada, atom-atom itu tidak bercerai[11].

d.      Etika
Di dalam etikanya Epikuros bermaksud memberikan ketenangan batin (ataraxia) kepada manusia. Hal ini disebabkan karena ketenangan batin itu diancam oleh ketakutan, yaitu ketakutan terhadap murka para dewa, terhadap maut dan terhadap nasib. Padahal ketakutan-ketakutan itu sebenarnya tidak ada dasarnya, tidak masuk akal. Bukankah para dewa tidak ikut campur dalam urusan dunia ini? Di dalam jagat raya segala sesuatu terjadi karena gerak atom-atom. Para dewa tidak menjadikan jagat raya dan tidak mengurusinya.  Mereka menikmati kebahagiaan yang kekal, yang tidak dapat diganggu oleh siapa pun. Manusia tidak mungkin mengganggu mereka. Oleh karena itu mereka tidak akan mengganggu manusia. Itulah sebabnya orang tidak perlu takut terhadap dewa. Juga orang tidak perlu takut terhadap maut. Bukankah setelah orang mati jiwanya dilarutkan ke dalam atom-atom, kembali kepada asalnya? Oleh karena itu tidak ada hukuman di akhirat. Setelah orang mati ia tidak akan menikmati apa-apa dan tidak akan menderita apa-apa. Maut bukanlah hal yang jahat atau hal yang baik. Selama kita hidup kita tidak akan mati, sedang jikalau mati kita tidak ada lagi. Apa perlunya takut terhadap maut? Juga terhadap nasib orang tidak perlu takut. Sebab tidak ada nasib. Kita sendirilah yang menguasai hidup kita dan segala perbuatan kita. Atom dapat berubah arah geraknya. Kemungkinan perubahan memang ada. Kita dapat mengubah pengungkapan kehendak kita. Jadi kita sendiri yang menentukan keadaan kita. Tidak ada nasib[12].

Tujuan hidup adalah hedone (kenikmatan, kepuasan), yang tercapai jikalau batin orang tenang dan tubuhnya sehat. Ketenangan batin timbul jikalau segala keinginan dipuaskan, sehingga tiada sesuatu pun yang diinginkan lagi. Di sini orang hanya akan menikmati saja. Jadi makin sedikit keinginan, makin besar kebahagiaan. Oleh karena itu orang wajib membatasi apa yang dinginkan. Itu tidak berarti bahwa manusia harus mencita-citakan kemiskinan. Kebahagiaan tidak terdiri dari menikmati hal yang melimpah-limpah, sebab juga hal yang sedikit dapat dinikmati. Yang baik ialah, jikalau dalam keadaan yang konkrit perasaan menentukan perbuatan mana yang akan memberi kepuasan. Jikalau orang terpaksa harus memilih dari antara bermacam-macam keinginan, hendaknya dipilih keinginan yang dapat memberi kenikmatan yang mendalam dan yang lama. Orang bijak tahu seni untuk menikmati selama dan sedalam mungkin. Persaudaraan dipandang penting sebagai sarana untuk menambah kenikmatan. Ketenangan batin yang bersifat rohani lebih berbobot dibanding dengan kesehatan badaniah.

  1. Penutup
Epikureanisme telah mampu menyumbangkan sesuatu dalam pemikiran filsafat terutama pada zamannya yakni zaman di mana helenisme sedang berkembang pesat. Pada zaman ini ada perpindahan pemikiran filsafati, yaitu dari filsafat teoritis menjadi filsafat yang praktis. Ada banyak aliran, yang semuanya berusaha menentukan cita-cita hidup manusia. Epikureanisme termasuk di dalamnya. Epikureanisme merupakan aliran yang bersifat etis yang menekankan persoalan-persoalan tentang kebijaksanaan hidup yang praktis.



BIBLIOGRAFI

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000.
Bertens, K. Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1974.
Effendy, Mochtar. Ensiklopedi Agama dan Filsafat. Palembang. Penerbit Universitas Sriwijaya. 2001
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980.
Mascia, Carmin T.O.R. A History of Philosophy. New Jersey. St. Anthony Guild Press. 1957.
Mudhofir, Ali. Kamus: Teori dan Aliran dalam Filsafat dan Teologi. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 1996.
Sahakian, William S. Realms of Philosophy. Cambridge. Schenkman Publishing Company Inc. 1965.
Sudiarja, A. dkk. Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bagsanya. Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006.





[1] William S. Sahakian, Realms of Philosophy (Cambridge. Schenkman Publishing Company Inc., 1965), hlm. 134
[2] A. Sudiarja SJ dkk, Karya Lengkap Driyarkara. Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya, (Jakarta. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. 2006), hlm. 1207
[3] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1207
[4] Carmin Mascia T.O.R., A History of Philosophy,( New Jersey. St. Anthony Guild Press. 1957), hlm. 105    
[5] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980), hlm. 54
[6] Lorens Bagus. Kamus Filsafat, (Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. 2000), hlm.
[7] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1208
[8] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1209
[9] Harun Hadiwijono, (Sari Sejarah Filsafat Barat 1. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 1980), hlm. 55
[10] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55
[11] A. Sudiarja SJ dkk. .... hlm. 1210-1211
[12] Harun Hadiwijono, ..... hlm. 55-56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....