Rabu, 22 Maret 2017

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak



DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK 
(Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak)
Poliaman Purba S.Fil.


           A. Pendahuluan
Perang Padri[1] adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan perang yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri/Ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau – Sumatera Barat dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud adalah perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan Kaum Adat yang padahal telah memeluk agama Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri/Ulama, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Adapun perang Padri ini merembes sampai ke daerah Tanah Batak bagian Selatan, Tengah dan Utara, secara khusus daerah Mandailing dan Angkola. Hingga tahun 1833, selain dari aspek sosial, politik dan adat, perang Padri memberikan dampak tersendiri bagi orang Batak di bidang kehidupan religius/beragama. Di bawah ini akan dipaparkan secara sederhana tentang dampak perang Padri bagi orang Batak dalam kaitannya dengan perjumpaan agama Islam dan Kristen di Tanah Batak.

  

      B. Selayang Pandang Agama Islam di Tanah Batak Selatan dan Utara
Tanah Batak merupakan sebagian dari wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Sumatera Utara. Penginjilan masuk ke daerah Tanah Batak pada abad ke-19 yang sebagian besar penduduknya beragama tradisional (beragama suku). Pada tahun 1842, Tanah Batak pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda meliputi suatu keresidenan Tapanuli yang sebelumnya mencakup masuknya provinsi Sumatera Barat.[2]
Sebagian besar dari Tanah Batak meliputi Pakpak-Dairi, Samosir, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), Angkola dan Mandailing dan sebagian kecil meliputi Tanah Karo dan Simalungun. Di daerah Mandailing dan Angkola, sebagai dampak dari pergaulan dengan tetangga mereka di pesisir timur Sumatera Utara maupun Minangkabau yang telah menganut Islam sejak abad ke-16, sebagian besar masyarakat Batak telah masuk Islam jauh sebelum tahun 1820. Ada salah faktor yang membuat masyakat Batak tertarik masuk Islam adalah faktor ekonomi, karena sebagian besar kaum Islam adalah pedagang dan membawa keuntungan secara ekomonis.[3]
Namun proses islamisasi menjadi lebih gencar karena adanya invasi perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol dari Minangkabau.      Dengan adanya perang Padri yang melanda ke Tanah Batak, membawa dampak dalam proses pengkristenan di Tanah Batak, khususnya di bagian utara. Hal ini disebabkan oleh tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara. Peristiwa ini mengantar masyarakat Batak ke bentuk kepercayaan baru yakni Kristen. Pada tahun 1863 di Tanah Utara agama Kristen dapat berkembang dengan baik.[4]

C.  Perang Padri di Tanah Batak
Perang Padri berawal dari pertentangan dari kaum adat dan kaum ulama di Minangkabau. Kaum adat mendapat tekanan dari kaum ulama (Padri) hingga mengakibatkan konflik senjata yang tidak terelakkan. Karena situasi yang terjepit, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda. Dengan adanyanya situasi tersebut situasi semakin memuncak khususnya di daerah Minangkabau sehingga konflik menyebar ke arah Mandailing-Tapanuli Selatan. Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol dari Minangkabau menerobos Tanah Batak hingga ke jantung Tanah Batak (Silindung dan Toba) sambil mengislamkan penduduknya dengan cara kekerasan dan kekejaman. Banyak penduduk yang tidak bersedia masuk Islam dibunuh.[5]
Gerakan Padri ini merupakan gerakan pembaharuan Islam puritan di dataran tinggi Minangkabau. Gerakan ini mulai dilancarkan pada tahun 1803 oleh tiga haji yang baru pulang dari Mekkah. Orang Minangkabu yang merupakan tetangga orang Batak di sebelah selatan Tanah Batak mempunyai sistem matrilineal dan telah memeluk Islam mungkin pada abad ke 16 atau ke-17. Perang saudara di antara kaum Padri dan kaum adat berubah menjadi perang kolonial pada tahun 1821 ketika Belanda mengintervensi dan berpihak kepada kaum adat. Pada tahun yang sama, salah seorang pemimpin religional Padri, Tuanku Rao menyerbu Mandailing-Tapanuli Selatan. Selain memaksa agama mereka, kaum Padri membakar dan merampas serta memerintah dengan teror.[6]
Invasi pasukan Padri ke Tanah Batak khususnya Mandailing di bawah pimpinan Tuanku Rao dilaksanakan dengan sistem kekerasan yang tidak hanya dilatarbelakangi motif politik dan keagamaan tetapi juga alasan balas dendam pribadi. Tuanku Rao dengan nama asli Pongki Nangolngolan Sinambela lahir sekitar tahun 1787 yang adalah keturunan Raja Si Singamangaraja VIII dan IX; ayahnya Gindoporang Sinambela adalah anak dari  Si Singamangaraja VIII, saudara dari Si Singamangaraja IX. Sedangkan ibunya Gana boru Sinambela adalah putri dari Si Singamangaraja XI. Dengan adanya hubungan incest antara paman dengan kemenakannya, Pongki Nangolngolan dibesarkan ibunya di Singkel tetapi pada usia 9 tahun, ia kembali ke kampung halamannya di Bakkara, namun hal itu menjadi aib bagi masyarakat setempat. Demi menjaga dan menutup aib tersebut, Pongki Nangolngolan disingkirkan dan akhirnya terdampar di Minangkabau. Di sanalah, ia masuk Islam dan mendapat beberapa nama baru: Muhammad Zainal Amiruddin alias Umar Khattab dengan gelar Tuanku Rao.[7]
Pada tahun 1816 Tuanku Rao dan Tuanku Lelo memimpin invasi Padri ke Tanah Batak yang mencapai puncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara. Perang Padri ini menewaskan ribuan orang baik karena penyerangan bersenjata maupun wabah epidemi akibat perang tersebut. Perang Padri ini merupakan suatu upaya untuk mengislamisasi masyarakat Tanah Batak. Perang Padri ini menciptakan luka bagi orang Batak.


      D. Dampak Perang Padri bagi Orang Batak
Perang Padri yang berpuncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara mengakibatkan ratusan ribu orang tewas, baik karena penyerangan bersenjata maupun epidemi (wabah penyakit pes akibat perang itu). Pengalaman traumatik ini membuat banyak orang Batak di bagian Utara – boleh jadi hingga sekarang ini – melihat Islam sebagai momok, dan membuat masyarakat Batak mengalami “impasse” (kebuntuan, kemacetan perkembangan) di segala bidang, baik dalam masyarakat maupun dalam kerohanian, dan keadaan ini kelak ikut mendorong mereka menerima agama Kristen. Dengan kata lain, tanpa disadari dan disengaja, perang Padri telah “mempersiapkan” pengkristenan Tanah Batak, khususnya di bagian utara.[8]
Menurut pendapat J. Pardede, seorang penulis sejarah Kekristenan di Tanah Batak, serbuan pasukan Padri ini ke Tanah Batak memang hanya berlangsung singkat, namun berhasil menggoncangkan kepercayaan terhadap agama tradisional dan kedudukan raja-raja dinasti Sisingamangaraja sebagai “raja-datu”, yakni “dewa yang dapat dilihat dan yang rohnya dapat kita kenal”. Untuk penduduk Tanah Batak Selatan dan Utara, pendudukan Paderi merupakan malapetaka terbesar sepanjang masa, yang mengakibatkan korban ratusan ribu jiwa dan kerugian materi yang tak terhingga nilainya. Untuk Tanah Batak Selatan, tentara Padri berjasa menghapuskan – sekurang-kurangnya menipiskan – kegelapan/jahiliah dan menanamkan bibit-bibit agama Islam, sehingga setengah abad kemudian Tanah Batak Selatan sudah didominasi agama Islam (Ugama Silom Bonjol). Paganisme in splendid isolation telah didobrak dan agama tradisional ini dirasakan tidak cocok lagi dengan tuntutan zaman.[9]
Untuk Tanah Batak Utara, tentara Padri berjasa membuka kemungkinan berkembangnya agama Kristen. Kedengarannya sebagai suatu kontradiksi, tetapi alasannya sederhana sekali. Dengan tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara, penduduk mengerti bahwa kuasa khusus dinasti Singamangaraja dengan “sahala harajaon” (sifat kekuasaan) dan “sahala hasangapon” (sifat dihormati)-nya ternyata tidaklah lestari. Dengan goncangnya kepercayaan terhadap wibawa khusus Raja Singamangaraja, turut pula goncang kepercayaan terhadap agama tradisional. Di atas reruntuhan kepercayaan itulah sejak 1863 di Tanah Batak Utara dapat berkembang agama Kristen.[10]
Pada tahun 1833, pasukan Belanda mengalahkan pasukan Padri. Setelah itu, pemerintah Hindia Belanda menata administrasi pemerintahan kolonial di daerah Mandailing dan Angkola. Sejak waktu itu, perkembangan Islam justru semakin pesat, karena didukung oleh pemerintah kolonial. Agama Islam menyebar dengan cepat ke seluruh Tapanuli Selatan yang telah menjadi aman itu, kendati kaum Padri kalah. Para pemimpin menganggap bahwa agama asli tidak dapat dipulihkan kembali, sehingga kemudian mereka menganut agama Islam dan mencontoh cara-cara berpakaian dan unsur-unsur budaya Melayu-Islam lainnya. Ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Waktu itu hampir tidak ada misionaris, dan sulit bagi Belanda untuk menyebarkan agama Kristen karena tindakan semacam itu akan membahayakan seluruh strategi yang mengharapkan bantuan golongan “hitam” (Muslim anti-Padri dan pro-adat) di Sumatra Barat. Sejak kurun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses islamisasi.[11]
Pada situasi seperti itulah para zendeling – dari Belanda, kemudian Jerman, yaitu dari badan zending Rheinische Missions – Gesellschaft (RMG) – datang dan bekerja di lingkungan masyarakat Batak (karena itu cabangnya di Tanah Batak disebut juga Batakmission); mula-mula di Tapanuli Selatan dan Tengah yang mayoritas sudah Islam ini. Di sana-sini RMG berhasil mengkristenkan sejumlah penduduk yang sudah beragama Islam, termasuk pemuka masyarakat. Pada tahun 1876 penduduk daerah Sipirok, misalnya, 10% beragama Kristen, dan pada akhir abad ke-19 meningkat menjadi 21%.[12]
Walaupun berhasil mengkristenkan sejumlah penduduk dan tokoh, namun para zendeling RMG lebih banyak menghadapi penolakan, bahkan ada dari antara mereka yang sudah Kristen kembali ke agama Islam. Mereka menghalalkan perpindahan agama demi mengamankan ataupun meraih jabatan sebagai raja atau kepala kampung. Dan gejala seperti ini muncul lagi nanti setelah zaman Jepang, pada zaman Revolusi. Sementara itu di sisi lain, banyak orang Batak di Tapanuli Selatan terdorong menjadi Islam justru karena mereka melihat zending dan kekristenan sebagai bagian dari kekuatan imperialis Barat. Menghadapi kenyataan penolakan itu, sudah sejak 1863 beberapa zendeling RMG (antara lain I.L. Nommensen) mengambil keputusan untuk masuk ke jatung Tanah Batak, yaitu di bagian utara, yang sebagian besar penduduknya masih menganut agama suku, walaupun ada juga yang terus melanjutkan pekerjaan mereka di daerah Selatan.[13]
Setelah bekerja di jantung Tanah Batak, para zendeling RMG harus berhadapan dengan kenyataan bahwa salah seorang raja orang Batak, yaitu Si Singamangaraja XII, yang nota bene telah lama menjalin hubungan baik dengan Aceh yang Islam (kendati Si Singamangaraja XII sendiri tidak pernah menjadi Islam), menghambat pekerjaan zending karena beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Melalui perjuangan yang berat, akhirnya Nommensen dan beberapa rekannya dari badan zending RMG berhasil membangun komunitas Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak. Dengan demikian komunitas Kristen Batak hidup di tengah-tengah himpitan. Di satu pihak mereka harus hidup berdampingan dengan komunitas Islam Batak, terutama yang ada di Selatan dan Tengah, sedang di pihak lain mereka harus menghadapi Belanda yang berniat menjajah mereka. Memang tidak sedikit orang Batak Kristen yang menjadi pegawai atau pejabat di dalam tatanan sistem pemerintah kolonial Belanda (seperti juga dari kalangan Batak Islam), tetapi tidak sedikit pula yang sadar bahwa mereka terjajah, sehingga bangkit berjuang melawan penjajahan.[14]
RMG sendiri berharap bahwa pemerintah kolonial membantu mereka menginjili masyarakat Batak yang masih beragama suku, dalam rangka membendung terobosan Islam ke kawasan utara Tanah Batak. Tetapi hingga akhir abada ke-19 hal itu tidak terjadi, karena pemerintah Hindia Belanda secara formal-institusional dan berdasarkan undang-undang hanya memberi bantuan atau subsidi kepada RMG sejauh menyangkut kegiatan yang merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, antara lain di bidang pendidikan dan kesehatan. Kalaupun ada pejabat pemerintah kolonial yang mendukung penginjilan, menurut penjelasan resmi pemerintah, hal itu lebih merupakan sikap dan minat pribadi dari pejabat yang bersangkutan. Karena itu, tak jarang pihak zending menuduh pemerintah mendukung Islam, antara lain karena pemerintah tidak mengizinkan badan zending menggunakan dana subsidi untuk membiayai karya penginjilan. Sementara itu pihak Islam sebaliknya juga menilai bahwa pemerintah kolonial tidak adil, terlalu memihak kepada zending atau orang Kristen, terutama sejak akhir abad ke-19. Akibatnya, sering kali tak terhindarkan terjadinya ketegangan segitiga: zending (bersama umat Kristen), pemerintah kolonial, dan masyarakat Islam.[15]


      E. Refleksi Penulis
Dari uraian historis singkat di atas, kita melihat bahwa perang Padri membawa dampak yang cukup membekas bagi orang Batak. Perang Padri sebenarnya mengakibat luka yang cukup dalam dalam sejarah etnis suku Batak. Harus diakui bahwa beberapa bagian dari sejarah kelam ini tampaknya sengaja disamarkan atau direduksi, misalnya tentang pembantaian mengerikan atas etnis suku Batak yang tidak mau masuk Islam dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan ada sejarahwan yang berpendapat bahwa pembantaian yang berlandaskan dakwah Islam yang dilakukan oleh pasukan Padri, di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol, adalah suatu usaha pemusnahan etnis. Mungkin pendapat ini terlalu berani dan ekstrim. Namun, kiranya kenyataan ini patut dikaji lebih objektif lagi.
Pelajaran penting yang penulis petik dari analisis historis ini adalah kiranya kita semakin hati-hati dengan gerakan, lembaga, atau orang apa pun yang menggunakan kedok agama untuk memprovokasi orang melakukan kekerasan terhadap sesamanya. Kiranya pelajaran ini masih sangat aktual hingga saat ini di Indonesia. Masih sering muncul adanya klaim yang membenarkan kekerasan untuk membela “Yang Suci” atau “Yang Ilahi”. Secara konkrit itu diwujudkan dengan membunuh sesama manusia atas kedok perintah Tuhan, mengatas-namakan Tuhan.
            Bagi penulis, adalah hal menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, Ma (guru besar sejarah dan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah – Jakarta) dalam kata pengantarnya dalam buku “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” yang dikarang oleh Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang. Ia mengatakan bahwa ada tiga tanda yang paling relevan di Indonesia yang menjadi tanda bahaya agama menjadi jahat. Pertama, klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claims). Setiap agama – khususnya Kristen dan Islam – mengandung klaim-klaim kebenaran yang merupakan landasan keimanan, di mana seluruh struktur dan institusi agama berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia. Kedua, klaim kebenaran mutlak bukan hanya mengakibatkan terjadinya abuse terhadap kitab suci, tetapi juga mendorong munculnya misionarisme yang sangat bersemangat dengan menggunakan segala macam cara demi “menyelamatkan orang-orang berdosa”, baik di lingkungan pemeluk agama sendiri dan dengan pemeluk agama lain. Ketiga, pada tahap selanjutnya, perjumpaan lebih keras bisa terjadi, ketika semua ini diikuti dengan declaration of holy war untuk mencapai agenda-agenda dan tujuan yang bertentangan dengan kesucian agama.[16]
            Menurut Azyumardi Azra, perjumpaan yang keras antara Kristen dan Islam di Indonesia bersumber setidak-tidaknya dari lima faktor. Pertama, penerbitan tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan pihak agama tertentu tentang agama lain yang dipandang para pemeluknya tidak sesuai dengan apa yang mereka imani dan karena itu dianggap mencermarkan/menistakan agama mereka. Dalam hal ini juga termasuk tulisan-tulisan (biasanya tidak jelas sumbernya) yang berisi “rencana”penyebaran agama. Kedua, usaha penyebaran agama secara agresif. Ketiga, penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan rumah ibadah tanpa izin jelas di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu. Keempat, penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama. Kelima, kecurigaan timbal balik berkenaan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia.[17]
            Gagasan atau ide yang mengatakan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan bisa dianggap sebagai teknik untuk menghindari konflik keagamaan sepertinya sebuah paham yang paradoksal, sebab tampaknya perbedaan agama seakan-akan justru lebih banyak mendorong lahirnya lebih banyak konflik ketimbang menyelesaikannya. Kebebasan beragama dapat dilihat sebagai bagian dari masalah dan sama sekali tidak menjadi bagian dari solusi. Dalam kenyataannya, pengamatan ini, sampai suatu kadar yang tertentu, mengandung kebenarannya juga, sebab pelaksanaan kebebasan beragama atau berkeyakinan memang bisa mendorong lahirnya konflik dengan mereka yang tidak berbagi keyakinan yang sama.[18]
            Berangkat dari tema tulisan ini, penulis mengelaborasi pendapat Romo Mudji Sutrisno, SJ menyangkut fenomena kekerasan atas nama agama yang sedang hangat akhir-akhir ini di Indonesia. Di masa depan, kiranya agama mempunyai dua fungsi yang mesti ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi kritis-profetis hendak mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu, kita mesti berani pula melakukan auto-kritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalistis. Fungsi agama sebagai pembebasan mengarah kepada semakin dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik.[19]
Bagi manusia, agama memberikan kerangka pengertian hidup. Tidak hanya berdasarkan enak tidak enak, tetapi memberikan dimensi kualitas hidup: menunjuk mana yang baik dan lebih baik, mana yang lebih benar, lebih manusiawi, dan lebih sesuai dengan panggilan manusia dalam Tuhan. Warta pokok agama Kristen tercermin dalam Injil yang mengatakan bahwa Allah mencintai, menebus, dan merukunkan satu sama lain. Dalam wujud kabar gembira Injil ini adalah jalan dialog, jalan cinta, bukan kekerasan, kebencian, atau permusuhan. Martin Luther King Jr. pernah berkata: “Kegelapan takkan pernah sanggup mengusir kegelapan. Hanya teranglah yang sanggup mengusir kegelapan.” Kekerasan tidak dapat menyelesaikan kekerasan. Bahkan, membuatnya menjadi lingkaran setan balas dendam. Tindakan kekerasan memiliki kelemahan besar: justru membuat tindakan itu membuahkan apa yang sebenarnya ingin dilenyapkan. Kekerasan hanya akan memperbanyak kejahatan. Kebencian bahkan tidak mampu mengusir kebencian. Yang dapat mengusir kebencian hanyalah cinta. “Ada satu yang mesti dipegang teguh, bahwa bencana jangan diperangi dengan menciptakan bencana yang lebih besar lagi,” kata Paus Paulus VI dalam Populorum Progessio.



Bibliografi

Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015.
Lindholm, Tore dkk (ed.). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Sutrisno, Mudji. Ide-ide Pencerahan. Jakarta: Penerbit Obor, 2004.
Van Schie, G. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3. Jakarta: Penerbit Obor, 1995.


[1] Adalah kurang jelas dan pasti kata “padri/paderi” ini berasal dari terminologi mana. Ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata “Pidari” nama tempat di Sumatera Barat, dan ada pula yang berpendapat kata paderi berasal dari kata “Padre”, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama. [Lihat G. Van Schie Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995), hlm. 77.]
[2] G. Van Schie Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995), hlm. 77.
[3] G. Van Schie Rangkuman Sejarah ..., hlm. 77.
[4] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 101.
[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[6] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 107-108.
[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 108.
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108.
[10] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108-109.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 109-110.
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 110-112.
[13] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 113.
[14] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 114-115.
[15] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 115.
[16] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar”, dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. xv.
[17] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” ..., hlm. xv-xvi.
[18] Malcolm D. Evans, “Analisis Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik”, dalam Tore Lindholm, dkk (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 93-94.
[19] Mudji Sutrisno, “Agama Inklusif” dalam Mudji Sutrisno, Ide-ide Pencerahan (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hlm. 261-262.



Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....