Rabu, 22 Maret 2017

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak



DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK 
(Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak)
Poliaman Purba S.Fil.


           A. Pendahuluan
Perang Padri[1] adalah peperangan yang berlangsung di Sumatera Barat dan sekitarnya terutama di kawasan Kerajaan Pagaruyung dari tahun 1803 hingga 1838. Perang ini merupakan perang yang pada awalnya akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. Perang Padri dimulai dengan munculnya pertentangan sekelompok ulama yang dijuluki sebagai Kaum Padri/Ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan yang marak dilakukan oleh kalangan masyarakat yang disebut Kaum Adat di kawasan Kerajaan Pagaruyung, Minangkabau – Sumatera Barat dan sekitarnya. Kebiasaan yang dimaksud adalah perjudian, penyabungan ayam, penggunaan madat, minuman keras, tembakau, sirih, dan juga aspek hukum adat matriarkat mengenai warisan, serta longgarnya pelaksanaan kewajiban ritual formal agama Islam. Tidak adanya kesepakatan Kaum Adat yang padahal telah memeluk agama Islam untuk meninggalkan kebiasaan tersebut memicu kemarahan Kaum Padri/Ulama, sehingga pecahlah peperangan pada tahun 1803.
Adapun perang Padri ini merembes sampai ke daerah Tanah Batak bagian Selatan, Tengah dan Utara, secara khusus daerah Mandailing dan Angkola. Hingga tahun 1833, selain dari aspek sosial, politik dan adat, perang Padri memberikan dampak tersendiri bagi orang Batak di bidang kehidupan religius/beragama. Di bawah ini akan dipaparkan secara sederhana tentang dampak perang Padri bagi orang Batak dalam kaitannya dengan perjumpaan agama Islam dan Kristen di Tanah Batak.

  

      B. Selayang Pandang Agama Islam di Tanah Batak Selatan dan Utara
Tanah Batak merupakan sebagian dari wilayah yang sekarang dikenal dengan nama Sumatera Utara. Penginjilan masuk ke daerah Tanah Batak pada abad ke-19 yang sebagian besar penduduknya beragama tradisional (beragama suku). Pada tahun 1842, Tanah Batak pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda meliputi suatu keresidenan Tapanuli yang sebelumnya mencakup masuknya provinsi Sumatera Barat.[2]
Sebagian besar dari Tanah Batak meliputi Pakpak-Dairi, Samosir, Silindung, Pantai Barat (Sibolga dan sekitarnya), Angkola dan Mandailing dan sebagian kecil meliputi Tanah Karo dan Simalungun. Di daerah Mandailing dan Angkola, sebagai dampak dari pergaulan dengan tetangga mereka di pesisir timur Sumatera Utara maupun Minangkabau yang telah menganut Islam sejak abad ke-16, sebagian besar masyarakat Batak telah masuk Islam jauh sebelum tahun 1820. Ada salah faktor yang membuat masyakat Batak tertarik masuk Islam adalah faktor ekonomi, karena sebagian besar kaum Islam adalah pedagang dan membawa keuntungan secara ekomonis.[3]
Namun proses islamisasi menjadi lebih gencar karena adanya invasi perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol dari Minangkabau.      Dengan adanya perang Padri yang melanda ke Tanah Batak, membawa dampak dalam proses pengkristenan di Tanah Batak, khususnya di bagian utara. Hal ini disebabkan oleh tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara. Peristiwa ini mengantar masyarakat Batak ke bentuk kepercayaan baru yakni Kristen. Pada tahun 1863 di Tanah Utara agama Kristen dapat berkembang dengan baik.[4]

C.  Perang Padri di Tanah Batak
Perang Padri berawal dari pertentangan dari kaum adat dan kaum ulama di Minangkabau. Kaum adat mendapat tekanan dari kaum ulama (Padri) hingga mengakibatkan konflik senjata yang tidak terelakkan. Karena situasi yang terjepit, kaum adat meminta bantuan kepada Belanda. Dengan adanyanya situasi tersebut situasi semakin memuncak khususnya di daerah Minangkabau sehingga konflik menyebar ke arah Mandailing-Tapanuli Selatan. Perang Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol dari Minangkabau menerobos Tanah Batak hingga ke jantung Tanah Batak (Silindung dan Toba) sambil mengislamkan penduduknya dengan cara kekerasan dan kekejaman. Banyak penduduk yang tidak bersedia masuk Islam dibunuh.[5]
Gerakan Padri ini merupakan gerakan pembaharuan Islam puritan di dataran tinggi Minangkabau. Gerakan ini mulai dilancarkan pada tahun 1803 oleh tiga haji yang baru pulang dari Mekkah. Orang Minangkabu yang merupakan tetangga orang Batak di sebelah selatan Tanah Batak mempunyai sistem matrilineal dan telah memeluk Islam mungkin pada abad ke 16 atau ke-17. Perang saudara di antara kaum Padri dan kaum adat berubah menjadi perang kolonial pada tahun 1821 ketika Belanda mengintervensi dan berpihak kepada kaum adat. Pada tahun yang sama, salah seorang pemimpin religional Padri, Tuanku Rao menyerbu Mandailing-Tapanuli Selatan. Selain memaksa agama mereka, kaum Padri membakar dan merampas serta memerintah dengan teror.[6]
Invasi pasukan Padri ke Tanah Batak khususnya Mandailing di bawah pimpinan Tuanku Rao dilaksanakan dengan sistem kekerasan yang tidak hanya dilatarbelakangi motif politik dan keagamaan tetapi juga alasan balas dendam pribadi. Tuanku Rao dengan nama asli Pongki Nangolngolan Sinambela lahir sekitar tahun 1787 yang adalah keturunan Raja Si Singamangaraja VIII dan IX; ayahnya Gindoporang Sinambela adalah anak dari  Si Singamangaraja VIII, saudara dari Si Singamangaraja IX. Sedangkan ibunya Gana boru Sinambela adalah putri dari Si Singamangaraja XI. Dengan adanya hubungan incest antara paman dengan kemenakannya, Pongki Nangolngolan dibesarkan ibunya di Singkel tetapi pada usia 9 tahun, ia kembali ke kampung halamannya di Bakkara, namun hal itu menjadi aib bagi masyarakat setempat. Demi menjaga dan menutup aib tersebut, Pongki Nangolngolan disingkirkan dan akhirnya terdampar di Minangkabau. Di sanalah, ia masuk Islam dan mendapat beberapa nama baru: Muhammad Zainal Amiruddin alias Umar Khattab dengan gelar Tuanku Rao.[7]
Pada tahun 1816 Tuanku Rao dan Tuanku Lelo memimpin invasi Padri ke Tanah Batak yang mencapai puncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara. Perang Padri ini menewaskan ribuan orang baik karena penyerangan bersenjata maupun wabah epidemi akibat perang tersebut. Perang Padri ini merupakan suatu upaya untuk mengislamisasi masyarakat Tanah Batak. Perang Padri ini menciptakan luka bagi orang Batak.


      D. Dampak Perang Padri bagi Orang Batak
Perang Padri yang berpuncak pada tahun 1818-1820 di Tanah Batak Utara mengakibatkan ratusan ribu orang tewas, baik karena penyerangan bersenjata maupun epidemi (wabah penyakit pes akibat perang itu). Pengalaman traumatik ini membuat banyak orang Batak di bagian Utara – boleh jadi hingga sekarang ini – melihat Islam sebagai momok, dan membuat masyarakat Batak mengalami “impasse” (kebuntuan, kemacetan perkembangan) di segala bidang, baik dalam masyarakat maupun dalam kerohanian, dan keadaan ini kelak ikut mendorong mereka menerima agama Kristen. Dengan kata lain, tanpa disadari dan disengaja, perang Padri telah “mempersiapkan” pengkristenan Tanah Batak, khususnya di bagian utara.[8]
Menurut pendapat J. Pardede, seorang penulis sejarah Kekristenan di Tanah Batak, serbuan pasukan Padri ini ke Tanah Batak memang hanya berlangsung singkat, namun berhasil menggoncangkan kepercayaan terhadap agama tradisional dan kedudukan raja-raja dinasti Sisingamangaraja sebagai “raja-datu”, yakni “dewa yang dapat dilihat dan yang rohnya dapat kita kenal”. Untuk penduduk Tanah Batak Selatan dan Utara, pendudukan Paderi merupakan malapetaka terbesar sepanjang masa, yang mengakibatkan korban ratusan ribu jiwa dan kerugian materi yang tak terhingga nilainya. Untuk Tanah Batak Selatan, tentara Padri berjasa menghapuskan – sekurang-kurangnya menipiskan – kegelapan/jahiliah dan menanamkan bibit-bibit agama Islam, sehingga setengah abad kemudian Tanah Batak Selatan sudah didominasi agama Islam (Ugama Silom Bonjol). Paganisme in splendid isolation telah didobrak dan agama tradisional ini dirasakan tidak cocok lagi dengan tuntutan zaman.[9]
Untuk Tanah Batak Utara, tentara Padri berjasa membuka kemungkinan berkembangnya agama Kristen. Kedengarannya sebagai suatu kontradiksi, tetapi alasannya sederhana sekali. Dengan tewasnya Singamangaraja X dalam pertempuran di Bakkara, penduduk mengerti bahwa kuasa khusus dinasti Singamangaraja dengan “sahala harajaon” (sifat kekuasaan) dan “sahala hasangapon” (sifat dihormati)-nya ternyata tidaklah lestari. Dengan goncangnya kepercayaan terhadap wibawa khusus Raja Singamangaraja, turut pula goncang kepercayaan terhadap agama tradisional. Di atas reruntuhan kepercayaan itulah sejak 1863 di Tanah Batak Utara dapat berkembang agama Kristen.[10]
Pada tahun 1833, pasukan Belanda mengalahkan pasukan Padri. Setelah itu, pemerintah Hindia Belanda menata administrasi pemerintahan kolonial di daerah Mandailing dan Angkola. Sejak waktu itu, perkembangan Islam justru semakin pesat, karena didukung oleh pemerintah kolonial. Agama Islam menyebar dengan cepat ke seluruh Tapanuli Selatan yang telah menjadi aman itu, kendati kaum Padri kalah. Para pemimpin menganggap bahwa agama asli tidak dapat dipulihkan kembali, sehingga kemudian mereka menganut agama Islam dan mencontoh cara-cara berpakaian dan unsur-unsur budaya Melayu-Islam lainnya. Ketika itu agama Kristen tidak mungkin menjadi suatu pilihan. Waktu itu hampir tidak ada misionaris, dan sulit bagi Belanda untuk menyebarkan agama Kristen karena tindakan semacam itu akan membahayakan seluruh strategi yang mengharapkan bantuan golongan “hitam” (Muslim anti-Padri dan pro-adat) di Sumatra Barat. Sejak kurun 1850-an berbagai kelompok Kristen mengeluh bahwa kebijakan pemerintah amat mendukung proses islamisasi.[11]
Pada situasi seperti itulah para zendeling – dari Belanda, kemudian Jerman, yaitu dari badan zending Rheinische Missions – Gesellschaft (RMG) – datang dan bekerja di lingkungan masyarakat Batak (karena itu cabangnya di Tanah Batak disebut juga Batakmission); mula-mula di Tapanuli Selatan dan Tengah yang mayoritas sudah Islam ini. Di sana-sini RMG berhasil mengkristenkan sejumlah penduduk yang sudah beragama Islam, termasuk pemuka masyarakat. Pada tahun 1876 penduduk daerah Sipirok, misalnya, 10% beragama Kristen, dan pada akhir abad ke-19 meningkat menjadi 21%.[12]
Walaupun berhasil mengkristenkan sejumlah penduduk dan tokoh, namun para zendeling RMG lebih banyak menghadapi penolakan, bahkan ada dari antara mereka yang sudah Kristen kembali ke agama Islam. Mereka menghalalkan perpindahan agama demi mengamankan ataupun meraih jabatan sebagai raja atau kepala kampung. Dan gejala seperti ini muncul lagi nanti setelah zaman Jepang, pada zaman Revolusi. Sementara itu di sisi lain, banyak orang Batak di Tapanuli Selatan terdorong menjadi Islam justru karena mereka melihat zending dan kekristenan sebagai bagian dari kekuatan imperialis Barat. Menghadapi kenyataan penolakan itu, sudah sejak 1863 beberapa zendeling RMG (antara lain I.L. Nommensen) mengambil keputusan untuk masuk ke jatung Tanah Batak, yaitu di bagian utara, yang sebagian besar penduduknya masih menganut agama suku, walaupun ada juga yang terus melanjutkan pekerjaan mereka di daerah Selatan.[13]
Setelah bekerja di jantung Tanah Batak, para zendeling RMG harus berhadapan dengan kenyataan bahwa salah seorang raja orang Batak, yaitu Si Singamangaraja XII, yang nota bene telah lama menjalin hubungan baik dengan Aceh yang Islam (kendati Si Singamangaraja XII sendiri tidak pernah menjadi Islam), menghambat pekerjaan zending karena beranggapan bahwa zending adalah wahana dan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Melalui perjuangan yang berat, akhirnya Nommensen dan beberapa rekannya dari badan zending RMG berhasil membangun komunitas Kristen di tengah-tengah masyarakat Batak. Dengan demikian komunitas Kristen Batak hidup di tengah-tengah himpitan. Di satu pihak mereka harus hidup berdampingan dengan komunitas Islam Batak, terutama yang ada di Selatan dan Tengah, sedang di pihak lain mereka harus menghadapi Belanda yang berniat menjajah mereka. Memang tidak sedikit orang Batak Kristen yang menjadi pegawai atau pejabat di dalam tatanan sistem pemerintah kolonial Belanda (seperti juga dari kalangan Batak Islam), tetapi tidak sedikit pula yang sadar bahwa mereka terjajah, sehingga bangkit berjuang melawan penjajahan.[14]
RMG sendiri berharap bahwa pemerintah kolonial membantu mereka menginjili masyarakat Batak yang masih beragama suku, dalam rangka membendung terobosan Islam ke kawasan utara Tanah Batak. Tetapi hingga akhir abada ke-19 hal itu tidak terjadi, karena pemerintah Hindia Belanda secara formal-institusional dan berdasarkan undang-undang hanya memberi bantuan atau subsidi kepada RMG sejauh menyangkut kegiatan yang merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah, antara lain di bidang pendidikan dan kesehatan. Kalaupun ada pejabat pemerintah kolonial yang mendukung penginjilan, menurut penjelasan resmi pemerintah, hal itu lebih merupakan sikap dan minat pribadi dari pejabat yang bersangkutan. Karena itu, tak jarang pihak zending menuduh pemerintah mendukung Islam, antara lain karena pemerintah tidak mengizinkan badan zending menggunakan dana subsidi untuk membiayai karya penginjilan. Sementara itu pihak Islam sebaliknya juga menilai bahwa pemerintah kolonial tidak adil, terlalu memihak kepada zending atau orang Kristen, terutama sejak akhir abad ke-19. Akibatnya, sering kali tak terhindarkan terjadinya ketegangan segitiga: zending (bersama umat Kristen), pemerintah kolonial, dan masyarakat Islam.[15]


      E. Refleksi Penulis
Dari uraian historis singkat di atas, kita melihat bahwa perang Padri membawa dampak yang cukup membekas bagi orang Batak. Perang Padri sebenarnya mengakibat luka yang cukup dalam dalam sejarah etnis suku Batak. Harus diakui bahwa beberapa bagian dari sejarah kelam ini tampaknya sengaja disamarkan atau direduksi, misalnya tentang pembantaian mengerikan atas etnis suku Batak yang tidak mau masuk Islam dalam jumlah yang cukup besar. Bahkan ada sejarahwan yang berpendapat bahwa pembantaian yang berlandaskan dakwah Islam yang dilakukan oleh pasukan Padri, di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku Imam Bonjol, adalah suatu usaha pemusnahan etnis. Mungkin pendapat ini terlalu berani dan ekstrim. Namun, kiranya kenyataan ini patut dikaji lebih objektif lagi.
Pelajaran penting yang penulis petik dari analisis historis ini adalah kiranya kita semakin hati-hati dengan gerakan, lembaga, atau orang apa pun yang menggunakan kedok agama untuk memprovokasi orang melakukan kekerasan terhadap sesamanya. Kiranya pelajaran ini masih sangat aktual hingga saat ini di Indonesia. Masih sering muncul adanya klaim yang membenarkan kekerasan untuk membela “Yang Suci” atau “Yang Ilahi”. Secara konkrit itu diwujudkan dengan membunuh sesama manusia atas kedok perintah Tuhan, mengatas-namakan Tuhan.
            Bagi penulis, adalah hal menarik mencermati apa yang disampaikan oleh Prof. Dr. Azyumardi Azra, Ma (guru besar sejarah dan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah – Jakarta) dalam kata pengantarnya dalam buku “Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia” yang dikarang oleh Pdt. Prof. Dr. Jan S. Aritonang. Ia mengatakan bahwa ada tiga tanda yang paling relevan di Indonesia yang menjadi tanda bahaya agama menjadi jahat. Pertama, klaim-klaim kebenaran mutlak (absolute truth claims). Setiap agama – khususnya Kristen dan Islam – mengandung klaim-klaim kebenaran yang merupakan landasan keimanan, di mana seluruh struktur dan institusi agama berdiri. Ketika penafsiran-penafsiran tertentu terhadap klaim-klaim kebenaran itu dipandang dan dipahami secara rigid dan literal, dan sebagai satu-satunya kebenaran yang menuntut keseragaman, maka inilah awal dari bahaya yang merusak agama, membuat agama menjadi jahat, dan akhirnya merusak kehidupan manusia. Kedua, klaim kebenaran mutlak bukan hanya mengakibatkan terjadinya abuse terhadap kitab suci, tetapi juga mendorong munculnya misionarisme yang sangat bersemangat dengan menggunakan segala macam cara demi “menyelamatkan orang-orang berdosa”, baik di lingkungan pemeluk agama sendiri dan dengan pemeluk agama lain. Ketiga, pada tahap selanjutnya, perjumpaan lebih keras bisa terjadi, ketika semua ini diikuti dengan declaration of holy war untuk mencapai agenda-agenda dan tujuan yang bertentangan dengan kesucian agama.[16]
            Menurut Azyumardi Azra, perjumpaan yang keras antara Kristen dan Islam di Indonesia bersumber setidak-tidaknya dari lima faktor. Pertama, penerbitan tulisan-tulisan yang diterbitkan kalangan pihak agama tertentu tentang agama lain yang dipandang para pemeluknya tidak sesuai dengan apa yang mereka imani dan karena itu dianggap mencermarkan/menistakan agama mereka. Dalam hal ini juga termasuk tulisan-tulisan (biasanya tidak jelas sumbernya) yang berisi “rencana”penyebaran agama. Kedua, usaha penyebaran agama secara agresif. Ketiga, penggunaan rumah sebagai tempat ritual secara bersama-sama atau pembangunan rumah ibadah tanpa izin jelas di lingkungan masyarakat penganut agama tertentu. Keempat, penetapan dan penerapan ketentuan pemerintah yang dipandang diskriminatif dan membatasi penyebaran agama. Kelima, kecurigaan timbal balik berkenaan posisi dan peranan agama dalam negara-bangsa Indonesia.[17]
            Gagasan atau ide yang mengatakan bahwa kebebasan beragama atau berkeyakinan bisa dianggap sebagai teknik untuk menghindari konflik keagamaan sepertinya sebuah paham yang paradoksal, sebab tampaknya perbedaan agama seakan-akan justru lebih banyak mendorong lahirnya lebih banyak konflik ketimbang menyelesaikannya. Kebebasan beragama dapat dilihat sebagai bagian dari masalah dan sama sekali tidak menjadi bagian dari solusi. Dalam kenyataannya, pengamatan ini, sampai suatu kadar yang tertentu, mengandung kebenarannya juga, sebab pelaksanaan kebebasan beragama atau berkeyakinan memang bisa mendorong lahirnya konflik dengan mereka yang tidak berbagi keyakinan yang sama.[18]
            Berangkat dari tema tulisan ini, penulis mengelaborasi pendapat Romo Mudji Sutrisno, SJ menyangkut fenomena kekerasan atas nama agama yang sedang hangat akhir-akhir ini di Indonesia. Di masa depan, kiranya agama mempunyai dua fungsi yang mesti ditonjolkan, yaitu fungsi kritis-profetis dan fungsi pembebasan. Fungsi kritis-profetis hendak mengkritik keyakinan lama dan menyadarkan nilai-nilai yang dilupakan, terutama hormat pada martabat kemanusiaan. Lalu, kita mesti berani pula melakukan auto-kritik, misalnya terhadap gejala agama yang terlalu formalistis. Fungsi agama sebagai pembebasan mengarah kepada semakin dihormatinya martabat manusia. Ini berarti agama berperan membuat orang lebih mampu mengambil keputusan secara bertanggung jawab dalam kultur modern yang mekanistik.[19]
Bagi manusia, agama memberikan kerangka pengertian hidup. Tidak hanya berdasarkan enak tidak enak, tetapi memberikan dimensi kualitas hidup: menunjuk mana yang baik dan lebih baik, mana yang lebih benar, lebih manusiawi, dan lebih sesuai dengan panggilan manusia dalam Tuhan. Warta pokok agama Kristen tercermin dalam Injil yang mengatakan bahwa Allah mencintai, menebus, dan merukunkan satu sama lain. Dalam wujud kabar gembira Injil ini adalah jalan dialog, jalan cinta, bukan kekerasan, kebencian, atau permusuhan. Martin Luther King Jr. pernah berkata: “Kegelapan takkan pernah sanggup mengusir kegelapan. Hanya teranglah yang sanggup mengusir kegelapan.” Kekerasan tidak dapat menyelesaikan kekerasan. Bahkan, membuatnya menjadi lingkaran setan balas dendam. Tindakan kekerasan memiliki kelemahan besar: justru membuat tindakan itu membuahkan apa yang sebenarnya ingin dilenyapkan. Kekerasan hanya akan memperbanyak kejahatan. Kebencian bahkan tidak mampu mengusir kebencian. Yang dapat mengusir kebencian hanyalah cinta. “Ada satu yang mesti dipegang teguh, bahwa bencana jangan diperangi dengan menciptakan bencana yang lebih besar lagi,” kata Paus Paulus VI dalam Populorum Progessio.



Bibliografi

Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015.
Lindholm, Tore dkk (ed.). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh?. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Sutrisno, Mudji. Ide-ide Pencerahan. Jakarta: Penerbit Obor, 2004.
Van Schie, G. Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3. Jakarta: Penerbit Obor, 1995.


[1] Adalah kurang jelas dan pasti kata “padri/paderi” ini berasal dari terminologi mana. Ada yang berpendapat bahwa kata ini berasal dari kata “Pidari” nama tempat di Sumatera Barat, dan ada pula yang berpendapat kata paderi berasal dari kata “Padre”, bahasa Portugis, yang artinya pendeta, dalam hal ini adalah ulama. [Lihat G. Van Schie Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995), hlm. 77.]
[2] G. Van Schie Rangkuman Sejarah Gereja Kristiani dalam Konteks Sejarah Agama-Agama Lain vol. 3 (Jakarta: Penerbit Obor, 1995), hlm. 77.
[3] G. Van Schie Rangkuman Sejarah ..., hlm. 77.
[4] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. 101.
[5] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[6] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 106.
[7] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 107-108.
[8] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ...., hlm. 108.
[9] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108.
[10] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 108-109.
[11] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 109-110.
[12] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 110-112.
[13] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 113.
[14] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 114-115.
[15] Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan ..., hlm. 115.
[16] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar”, dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 2015), hlm. xv.
[17] Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” ..., hlm. xv-xvi.
[18] Malcolm D. Evans, “Analisis Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik”, dalam Tore Lindholm, dkk (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 93-94.
[19] Mudji Sutrisno, “Agama Inklusif” dalam Mudji Sutrisno, Ide-ide Pencerahan (Jakarta: Penerbit Obor, 2004), hlm. 261-262.



Jumat, 26 Februari 2016

Lagu: Pancarkan Damai - cipt. poly purba ofmcap.

Marilah hai saudara ...
pandanglah sesamamu ...
yakinlah kita 'kan gapai cinta-Nya
Mari satukan hati...
gapailah keadilan ..
jujur hati mu ... pancarkan damai!

 


Lagu: Terpujilah Kristus Raja - cipt. poly purba


Yesus Kristus adalah Raja Semesta Alam
Ia yang telah bangkit dari maut, telah mengalahkan kuasa dosa...
Mari nyanyikan alleluya bagi-Nya...
Sorakkan Alleluya...



Jumat, 13 November 2015

Budaya: Makna dan Nilai Musik Gonrang bagi Masyarakat Simalungun

Makna dan Nilai Musik Gonrang
bagi Masyarakat Simalungun
(Poliaman Purba, S.Fil.)
    
          A.    Pengantar

            Gonrang adalah salah satu hasil dari kesenian masyarakat Simalungun yang mempunyai struktur dan fungsi dalam masyarakat Simalungun. Gonrang adalah salah satu hasil karya seni masyarakat Simalungun. Gonrang memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat Simalungun. Gonrang itu sendiri terdiri dari beberapa macam alat musik yang masing-masing memiliki makna. Gonrang tidak bisa terlepas dari acara adat dalam budaya Simalungun. Secara spontan kehadiran Gonrang dalam budaya Simalungun bermakna ganda yakni bersifat religi/sakral/adat dan bersifat rekreatif. Gonrang dalam masyarakat Simalungun memiliki banyak fungsi dalam kehidupan. Selain itu gonrang juga mengungkapkan suatu cita/harapan, karakter, sifat, cita rasa seni dari masyarakat Simalungun.

B.     Masyarakat Simalungun

1.      Topografi dan Letak Geografis
Daerah Simalungun adalah daerah yang diapit oleh wilayah Asahan, Deli Serdang, Dairi dan Tapanuli. Hal ini memberi gambaran bahwa tanah Simalungun “didesak” dari segala penjuru, sehingga wilayah Simalungun itu menjadi simou, dan sampai sekarang sulit menentukan dari mana sampai ke mana daerah Simalungun itu. [1] Walaupun demikian dapat juga diketahui bahwa wilayah Simalungun membentang dari daerah tinggi Raja, Serbelawan, Pematang Siantar, Panei Tongah, Raya, Purba, Saribu Dolok, sampai pada pinggiran Danau Toba: Haranggaol, Tiga Ras, Sidamanik dan Sindar Raya. Wilayah Simalungun mempunyai tanah yang subur dan pemandangan yang indah. Tak mengherankan bila sayur-mayur dan buah-buahan yang terbaik menjadi andalan utama masyarakat Simalungun.

2.      Siapakah Suku Batak Simalungun?
Simalungun adalah salah  satu dari sub Batak dan sekaligus menjadi nama sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Barangkali tidak banyak orang non Batak yang mengetahui keberadaan suku Simalungun. Karena secara kuantitatif, masyarakat Simalungun adalah kelompok minoritas bila dibandingkan dengan sub Batak Toba. Simalungun merupakan salah satu suku dalam Batak di antara sub lainnya, yakni: Toba, Karo Mandailing, Pakpak dan Angkola. Meskipun Simalungun adalah tanah leluhur orang Simalungun, namun belakangan ini secara statistik orang Simalungun hanyalah penduduk masyarakat peringkat ke 3 setelah Jawa dan Toba. Orang Simalungun lebih banyak berdomisili di luar daerah Simalungun.
Asal-usul nama Simalungun sebenarnya masih menjadi pertanyaan: dari mana asal-usul kata “Simalungun”? Ada beberapa pendapat yang dapat menjelaskannya:[2]

1. Menurut Drs. U.H. Damanik, Simalungun berasal dari kata si-ma-lungun. Si adalah kata penunjuk, ma adalah awalan dan lungun berarti sunyi atau rindu.
2. Menurut Drs. K. Sipayung, Simalungun berasal dari siou-ma-lungun. Siou berarti daerah, ma adalah awalan dan lungun adalah sunyi atau sepi. Jadi Simalungun berarti daerah yang sepi.
3. Menurut T. Ms. Purba Raya, Simalungun berasal dari Silaou-ma-lungun. Dengan menghubungkan sejarah runtuhnya Kerajaan Nagur. [3]
4. Menurut D. Kenan Purba SH, Simalungun berasal dari Sima-lungun, sima artinya sisa dan lungun berarti kesedihan. Jadi Simalungun berarti sisa dari kesedihan.
            Dari sekian banyak pendapat tentang asal-usul nama simalungun, kebanyakan orang menerima kata simalungun berasal dari simou-lungun, sesuai dengan pendapat D. Kenan Purba SH. Simou artinya samar-samar yaitu antara nampak dan tidak kelihatan dengan jelas, tetapi jelas ada dan lungun berarti sunyi/lengang, karena wilayah itu dulunya adalah sepi.

2.      Asal-usul Suku Simalungun
Berbicara tentang asal-usul suku Simalungun sering mengundang kontroversi dan beraneka ragam penuturan. Namun yang dipakai sebagai patokan adalah bahan yang mempunyai  bukti penelitian sejarah yang kuat. Menurut penelitian ilmiah, seluruh penduduk nusantara berasal dari Hindia Belakang (India Selatan). “Menurut penelitian Prof. G. Ferrard, seorang antropolog Amerika menyimpulkan bahwa kedatangan penduduk ke nusantara terjadi dalam dua gelombang. Periode pertama disebut Proto Melayu dan periode yang kedua disebut Deutero Melayu”.[4] Proto Melayu datang sekitar tahun 1000 SM dan mendiami pesisir pantai nusantara. Kelompok ini diyakini sebagai nenek moyang suku Batak (Simalungun), Toraja, Dayak dan Nias. Dan Deutero Melayu datang sekitar tahun 500 SM dan mendesak kelompok Proto Melayu untuk pindah ke pegunungan. Dan kelompok ini diyakini sebagai nenek moyang dari suku Jawa.[5]

3.      Mata Pencaharian
Mata pencaharian orang Simalungun pada umumnya ialah berladang (marjuma) dan membuka hutan (mangimas) untuk menanam padi, ubi dan jagung sebagai bahan makanan pokok. Di daerah yang lebih subur dan tinggi  sekarang, masyarakat menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Profesi lain yang tidak kalah pendapatannya dengan bertani ialah menyadap nira (maragad).

4.      Bahasa
Masyarakat Simalungun memakai bahasa yang sama, tetapi masing-masing daerah punya dialek yang khas dan berbeda. Walaupun mempunyai dialek yang berbeda, pada umumnya masyarakat yang berlainan dialek mengerti dan tahu maksudnya. Ada empat dialek yang terdapat di Simalungun, yaitu: dialek Silima Kuta, dialek Raya, dialek Topi Pasir (tepi pantai) dan dialek Jahe-Jahe. Dan aksara yang terdapat di Simalungun disebut surat si sapuluh siah.

5.      Marga di Simalungun
Ada empat marga (nama keluarga) asli Simalungun yang populer dengan akronim SISADAPUR, yaitu: Sinaga, Saragih, Damanik dan Purba. Keempat marga ini dihubungkan dengan raja-raja yang pernah berkuasa di Simalungun. [6] Selain keempat marga itu, ada juga marga lain yang jelas berasal dari Simalungun. Di Simalungun bawah ada: Sitorus, Manurung dan Butar-Butar. Dan di Simalungun atas ada: Sipayung, Silalahi, Simanjorang, Sitopu, Lingga dan Sinurat.[7]

6.      Sistem Kemasyarakatan
Sistem kekerabatan dalam masyarakat Simalungun masih sangat kental dengan warisan pengaruh dari India, yakni dengan adanya kasta dalam masyarakat.[8] Stratifikasi-stratifikasi itu terdiri dari:
  1. Golongan Partuanon (Upper Class)
Golongan ini adalah golongan bangsawan, raja, para menteri dan wakil-wakil raja di wilayah kekuasaan.
  1. Golongan Parumaha (Middle Class)
Golongan ini dihuni oleh kelompok masyarakat yang bebas, tidak punya hubungan darah dengan raja. Mereka adalah rakyat biasa, pemilik ladang dan yang menjalankan roda perekonomian rakyat. Kaum parumaha adalah orang yang siap diminta melayani raja (baik sebagai tentara maupun menyediakan kebutuhan kerajaan).
  1. Golongan Jabolon (Lower Class)
Masyarakat yang termasuk dalam kasta ini adalah budak atau tenaga kerja kasar yang bekerja untuk orang kaya dan raja. Golongan jabolon (budak) adalah orang-orang yang kemerdekaannya dibatasi. Golongan jabolon juga termasuk orang yang terlantar karena orang tua yang tidak jelas, tawanan perang dan orang yang tidak bisa melunasi hutangnya.

7.      Sistem Religi
Suku Simalungun kuno memiliki kepercayaan yang berhubungan dengan pemakaian mantera-mantera dari dukun (datu) disertai persembahan kepada roh-roh nenek moyang yang selalu didahului panggilan kepada 3 dewa, yaitu: dewa di atas (dilambangkan dengan warna putih), dewa di tengah (dilambangkan dengan warna merah), dan dewa di bawah (dilambangkan dengan warna hitam). Tiga warna yang mewakili dewa-dewa (putih, merah dan hitam) mendominasi ornamen suku Simalungun mulai dari pakaian (ulos) sampai pada hiasan rumahnya (gorga).

C.    Ansambel Musik Gonrang Simalungun

  1. Mitologi Gonrang
            Pada suatu bulan purnama, turunlah ke dunia ini seorang wanita cantik bernama Rambu Di Bulan dan bertemu dengan seorang laki-laki yang kelak menjadi suaminya. Setelah beberapa lama pasangan suami istri ini akhirnya mempunyai sembilan orang anak; dua laki-laki dan tujuh perempuan. Kesembilan orang itu bernama; Rahat Dipanei, Sahat Manandar, Nondarhayani Bulan, Bangkisania, Rongga Huning, Horainim, Samainim, Medainim, dan Dongmaranim. Setelah dewasa, mereka berniat untuk  mengadakan upacara Tetabuhan dan kedua orang tuannya memenuhi keinginan anaknya. Anak yang tertua yaitu Rahat Dipanei tergerak hatinya untuk membuat seperangkat alat musik. Kemudian ia membuat tujuh buah gendang (gonrang) sesuai dengan jumlah saudara perempuannya yang dikerjakan selama tujuh hari. Rahat Dipanei memberi ketujuh gonrang itu sesuai dengan nama ketujuh saudarinya. Untuk memulai upacara maka ditentukan hari perayaannya yang jatuh pada hari Sukra, yang mempunyai makna pengasih. Sebelum gendang dibunyikan terlebih dahulu disiapkan kebutuhan peradatan untuk upacara itu, antara lain; nitak botara siang, galuh sitabar (pisang), sangka ampilit, silanglang habungan, lampuyang. Kemudian sekapur sirih disuguhkan (isurdukkon) kepada rombongan panggual sebagai penghormatan untuk memulai membunyikan gendang, dimana gual akan segera dimulai.
            Beberapa lama setelah upacara itu, Rahat Dipanei kawin dengan si Rangga Huning. Pada pesta perkawinan itu, juga ditabuh gendang. Pada acara perkawinan ini, gonrang yang dipakai hanya enam buah. Hal ini untuk menjaga kemungkinan terulangnya kembali peristiwa masa lalu terhadap keluarganya, di mana adik perempuan mereka yang paling bungsu (Dongmarainim) hilang, yang diduga diambil oleh orang Bunian, semacam roh halus, pada upacara manggual yang pertama. Dari perkawinan Rahat Dipanei dengan Rangga Huning ini lahirlah anaknya yang bernama Tuan Somarliat, yang mempunyai kesaktian. Dia mampu mengobati segala jenis penyakit dan mampu mengusir roh-roh jahat.[9]

  1. Gonrang Simalungun
Dikalangan masyarakat Simalungun gonrang merupakan musik utama yang selalu hadir dalam acara-acara besar Simalungun seperti pernikahan, kematian dan pesta-pesta adat.[10] Namun dalam perjalanan waktu musik tradisional ini sudah mulai kurang diminati oleh masyarakat Simalungun. Peranan alat musik gonrang dalam acara-acara besar Simalungun telah diambih alih oleh musik keyboard dan alat musik modern lainnya.  Gonrang sendiri mulai mengalami gejala kemunduran sejak tahunn 1940-an dan bahkan hampir punah total. Penyebab kemunduran gonrang ini diakibatkan antara lain: pertama para misionaris Protestan yang masuk ke Simalungun dan melarang pemakian alat musik gonrang karena dianggap terlalu kuat berhubungan dengan upacara-upacara animisme, kedua peristiwa revolusi sosial yang terjadi di Simalungun yaitu istana kerajaan yang ada di Simalungun dibakar, yang yang ketiga akibat hilangnya minat kaum muda masyarakt  Simalungun untuk belajar alat-alat musik gonrang Simalungun.

  1. Gonrang Seperangkat Alat Musik
            Istilah gonrang mencakup dua arti. Pertama, gonrang berkaitan langsung dengan alat musik gendang yang merupakan istilah generetik bagi setiap jenis alat musik tabuh. Kedua, gonrang sebagai alat musik dengan seperangkat alat musik Batak Simalungun yang lengkap, terdiri dari: gonrang (gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon dan gonrang sidua-dua ), gong (ogung dan mongmongan masing-masing dua buah), sarunei (satu buah), dan sitalasayak atau talasayak (dua buah).

a.      Gonrang
            Gonrang adalah alat tabuh yang dibuat dari kayu. Di kalangan masyarakat Simalungun, ada dua jenis komponen musik gonrang yaitu gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon dan gonrang sidua-dua atau gonrang dagang. Pemberian nama terhadap alat musik ini dilatarbelakangi oleh jumlah gonrang yang dipakai. Gonrang sipitu-pitu karena gonrang yang dipakai terdiri atas tujuh buah.
            Cara membuatnya sebagai berikut: Mula-mula memilih salah satu jenis kayu yang akan digunakan, kemudian memotongnya sesuai dengan ukuran yang diperlukan. Bagian dalam kayu dilobangi sehingga menjadi sebuah tabung, yang biasa disebut baluh. Umumnya penampang bagian muka (bohi) lebih besar dari bagian ekor (ihur). Pada bagian ekor baluh ditutup dengan papan atau kayu yang berbentuk bundar, sedangkan bagian muka dipasangakn kulit binatang, biasanya kulit kerbau atau kulit lembu yang diikat dengan rotan. Permukaan kulit inilah yang dipukul dengan alat pemukul (stik) sehingga gonrang mengeluarkan suara yang nyaring.[11]

1)      Gonrang sipitu-pitu
            Gonrang sipitu-pitu atau gonrang bolon adalah alat musik yang terdiri dari tujuh buah gonrang. Gonrang yang paling besar disebut jangat, yang berfungsi sebagai  bassnya. Dua alat tabuh yang paling kecil disebut hat dan ting (digabungkan menjadi hatting), berfungsi sebagai nada yang paling tinggi. Penabuh jangat dan hatting masing-masing satu orang. Mereka bertugas memainkan gonrang sedemikian rupa dengan pola irama yang konstan untuk masing-masing jenis gual yang dibawakan. Keempat baluh lainnya disebut panongah (penengah), karena memang posisinya berada di tengah (antara jangat dan hatting). Keempat alat tabuh ini dimainkan oleh seorang penabuh sedemikian rupa secara improvisasi berdasarkan alunan melodi sarunei. Para penabuh memainkan gonrang sedemikian rupa dengan tetap memperhatikan harmoni bunyi musik pada setiap gual yang dibawakan.

2)      Gonrang sidua-dua
            Gonrang sidua-dua atau gonrang dagang terdiri dari sepasang alat musik gonrang. Pasangan yang satu disebut jangat, yaitu alat tabuh yang berukuran besar dan nadanya lebih rendah. Padanan untuk kata jangat itu sendiri dalam bahasa Indonesia adalah inti atau sari. Oleh sebab itu jangat memegang peranan yang inti dalam permainan musik gonrang Simalungun. Jangat berfungsi untuk membawakan pola irama yang yang berkaitan dengan nuansa gual atau jenis gual tertentu. Pola yang dibawakan, sebagai dasar bagi irama yang dimainkan, diulang terus menerus hingga gual tersebut selesai dimainkan
            Pasangan yang satu lagi disebut tikkah, yaitu alat tabuh yang berukuran yang lebih kecil dan bernada lebih tinggi. Kata tikkah berasal dari kata kerja manikkah yang artinya “menemani” dan “menentang”.  Funsinya sesuai dengan arti kata “menemani” dan “menentang”, artinya tikkah dimainkan diantara ataupun sesudah ketukan bunyi pukulan pada jangat, yaitu mengisi uang kosong diantara ketukan tersebut dengan rumusan irama tertentu atupun dengan improvisasi. Namun walaupun gonrang sidua-dua ini hanya terdiri dari atas dua buah gonrang dan dianggap kurang lengkap, tetapi dari segi musik jumlah ini dianggap cukup memenuhi fungsinya.[12]

b.      Gong
            Gong merupakan salah satu kompenen yang penting yang terdapat dalam musik gonrang Simalungun. Gong ini sama dengan gong yang ada pada suku Jawa atau suku lain. Yang membuat berbeda ialah bahwa gong yang ada dalam musik gonrang Simalungun terdiri dari dua jenis ukuran. Ukuran yang lebih besar “sibaggalan” (dua buah) disebut ogung, sedangkan yang lebih kecil “sietekan” disebut mongmongan.[13]

1)      Ogung
            Ogung merupakan komponen  dalam musik gonrang Simalungun, yang terbuat dari logam perunggu atau kuningan. Ogung ini terdiri dari sepasang gong berbentuk bundar dengan diameter berkisar antara 30-40 cm, yang pada bagian pusatnya terdapat tonjolan. Pada umumnya gong-gong yang dipakai untuk ogung dalam musik gonrang Simalungun memiliki ukuran yang kurang lebih sama. 
            Kentungan atau alat pemukul  yang dipakai untuk memukul gong tersebut sangatlah mudah untuk membuatnya. Karena hanya terbuat dari tongkat dengan ukuran tertentu yang mana salah satu ujungnya dibebatkan seutas kain atau karet dengan kuat.[14] Suara ogung akan terdengar nyaring apabila bagian tengahnya dipukul dengan alat pemukul. Kedua ogung dipukul sedemikian rupa secara silih berganti, sesuai dengan ritme lagu yang sedang dimainkan. Fungsi kedua ogung ini sangat vital, yakni sebagai penentu mad sebuah lagu atau gual yang sedang dibawakan. Karena sifatnya yang konstan dan stabil, ogung menjadi kerangka irama dasar bagi seluruh ansambel musik gonrang.

2)      Mongmongan
            Mongmongan adalah sepasang gong yang memiliki ukuran lebih kecil dari ogung, berdiameter antara 15-20 cm. Pada umumnya mongmongan terbuat dari kuningan, bentuknya bundar dan pada bagian tengah terdapat benjolan. Ukuran kedua mongmongan ini tidak persis sama, ada yang lebih besar (mongmongan banggal) dan ada yang lebih kecil (mongmongan etek). Mongmongan dimainkan dengan cara memukul tonjolan dengan sebuah tongkat (tanpa dibebat atau dililit dengan kain atau karet), sehingga menghasilkan suara yang lebih tinggi. Sama seperti ogung, fungsi mongmongan adalah sebagai kerangka irama dasar gonrang. Biasanya mongmongan dipukul silih berganti dengan frekuensi ganda dari pukulan ogung.[15]

c.       Sitalasayak
            Komponen keempat dalam musik gonrang adalah sitalasayak atau talasayak,  yakni terdiri dari sepasang piringan gembreng (simbal) yang memiliki ukuran yang sama terbuat dari logam kuningan. Tetapi pada masa kini komponen keempat dalam musik gonrang ini sudah jarang kita temukan dalam permainan musik gonrang. Hilangnya sitalasayak ini dari permainan musik gonrang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Dugaan orang mungkin disebabkan oleh keberadaan gonrang pada zaman modern ini. Selain itu sitalasayak juga dianggap tidak terlalu penting dan peranannya tidak terlalu vital dalam ansambel musik gonrang Simalungun.[16]

d.      Sarunei
            Komponen kelima dalam musik gonrang Simalungun yakni sarunei. Sarunei adalah sejenis alat musik tiup yag terdiri atas tiga bagian penyusunnya, yakni: baluh, nalih, dan sigumbangi. Baluh atau laras terbuat dari jenis kayu yang keras. Panjang baluh kira-kira 38 cm. Baluh dilobangi sedemikian rupa mulai dari bagain ujung yang satu hingga ujung yang satu lagi. Pada permukaan baluh diberi lubang suara sebanyak tujuh, satu lubang pada bagian bawah dan enam lubang pada bagian atas baluh. Dalam proses pembuatan baluh ini cukup sulit dan membutukan keterampilan yang khusus dan disertai dengan alat-alat khusus pula.

            Nalih adalah bagian perantara baluh dengan lidah atau anak ni sarunei (buluh getar). Panjang nalih kira-kira 4 hingga 6 cm. Pada bagian bawah galuh dipasangkan  sigumbangi yang terbuat dari kayu atau bambu dengan panjang setengah atau dua sepertiga dari panjang baluh. Sigumbangi berfungsi untuk menambah volume suara sarunei. Sigumbangi digunakan  pada saat acara-acara adat. Jika sigumbangi dilepas, menurut kepercayaan orang Simalungun, maka musik yang dimainkan bukan lagi berkenaan dengan acara adat, atau malah ditabukan dalam adat.[17] Sarunei adalah komponen utama dalam rangkaian ansambel gonrang. Fungsi sarunei adalah sebagai melodi utama gual, sedangkan alat musik lainnya sebagai sarana pendukung bagi bunyi melodi utama.

D.    Musik Gonrang Simalungun dan Kegunaannya

            Pembagian karya musik Gonrang Simalungun merupakan akibat langsung dari kecermatan masyarakat tradisional Simalungun dalam hal-hal kepantasan pada suasana tertentu. Sebelum kita melihat musik Gonrang Simalungun dan kegunaannya, pada bagian pertama dan kedua kita akan melihat beberapa jenis upacara dan istilah yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu rakyat serta hubungannya dengan musik gonrang. 

1.   Jenis upacara yang termasuk melibatkan penggunaan musik gonrang, yaitu:

a.       Manraja  yaitu upacara pemahkotaan atau pengangkatan seorang raja baru. Upacara ini diikuti oleh para wewenang keagamaan atau datu maupun oleh adat sebagai peneguh.
b.      Pemakaman Raja
c.       Mangalo-alo Tamuei yaitu acara yang diiringi musik gonrang dan juga penari untuk menyambut kedatangan tamu. Biasanya para pembesar atau tamu raja (agung).
d.      Pembuatan Losung Boras yaitu tempat menumbuk padi menjadi beras atau beras menjadi tepung pada masa itu.
Ø  Manogu losung yaitu pada saat anak muda kampung berusaha memindahkan kayu besar bahan untuk pembuatan losung dari hutan ke kampung. Maka, untuk menghibur mereka supaya tidak merasa lelah, diutuslah seorang anak gadis untuk menari-nari dan menghibur mereka sepanjang perjalanan dari tengah hutan sampai kampung.
Ø  Marsapu-sapu yaitu sebuah acara untuk anak muda-mudi ketika peresmian losung dilangsungkan.
e.       Memasuki rumah baru
f.       Ritual-ritual, seperti: perasukan, penyucian spiritual, dan pengusiran setan (roh jahat)
g.      Pesta Marrondang Bittang yaitu sebuah perayaan meriah atas panen (sering juga disebut sebagai pesta panen).

2.   Istilah-istilah yang sangat penting terhadap pemahaman tradisi lagu rakyat dan               hubungannya dengan musik gonrang, seperti:

a.       Doding dan Ilah dalam bahasa Indonesia diartikan secara kasar “nyanyian”. Pada masyarakat tradisional Simalungun, istilah doding dan ilah mempunyai arti yang berbeda. Dikatakan doding jika dinyanyikan oleh satu orang (solo) dan jika dinyanyikan oleh banyak orang (nyanyian bersama) mereka sebutlah itu ilah. Namun, pada akhir-akhir ini, bilamana doding dan ilah diadaptasikan ke dalam bentuk ragam karya musik gonrang, maka tidak akan dijumpai adanya perbedaan secara musikal antara kedua jenis lagu tersebut. Satu-satunya yang membuat kedua jenis lagu ini mudah dikenali pada suatu karya musik gonrang yaitu karena kedua jenis lagu ini menggunakan judul khas yang disertai dengan nama daerah asal lagu tersebut. Seperti: Ilah Hinalang, Ilah Siborou, atau Ilah Si Pagar Tongah. Juga judul-judul lagu seperti doding Sinondang, Doding Hutabayu, dan doding Panei, menunjukkan daerah asal lagu tersebut.
b.      Inggou sebuah istilah bahasa Simalungun yang berkaitan erat dengan istilah doding dan ilah. Konsep makna yang benar untuk istilah ini sangat sukar untuk didefinisikan namun, arti inggou yang hampir mendekati yaitu bentuk-bentuk cara mengekspresikan rasa kesedihan dan kerinduan yang merupakan fokus dari konsep inggou tersebut.
c.       Gual sebuah istilah dalam bahasa Simalungun yang paling lazim digunakan saat mengutarakan mengenai suatu lagu untuk ansambel musik gonrang.

3. Musik Gonrang dan Kegunaannya

a.       Musik Gonrang sebagai jenis lagu : Gual
      Ada dua klasifikasi dasar dalam karya-karya musik gonrang. Yang pertama  gual yang dianggap bersifat gembira dan sedih,  dan yang kedua gual yang bergantung pada makna lagu tersebut dan suasana saat gual tersebut dibawakan pada saat upacara-upacara adat atau dibawakan secara khusus untuk maksud sebagai hiburan atau penggembira.

b.      Musik Gonrang sebagai upacara
Ø  Gual Parahot
            Dalam pengelompokannya, seluruh gual menggunakan kata parahot dan sering disebut dengan istilah gual parahot. Seluruh gual parahot terbagi menjadi dua kategori: yang pertama gual yang berkenaan dengan sifat Tuhan yaitu gual parahot urutan 1 sampai dengan 12 dan yang kedua gual yang berkaitan dengan sifat manusia dan alam gaib atau kehidupan fana di bumi (sifat keduniaan) yaitu gual parahot urutan 13 sampai dengan 16.
            Gual parahot harus dimainkan pada urutan yang tetap dan tidak dapat diubah-ubah. Selain sebagai sarana penghormatan kepada Tuhan dan kehidupan manusia,  gual ini  juga bisa dikatakan sebagai “ritus pembukaan” dalam seluruh rangkaian acara. Karena itu harus didengarkan dengan penuh rasa hormat sambil merenungkan makna gual tersebut
            Pada kesempatan ini kita akan melihat ke 16 buah gual parahot dalam budaya Simalungun secara berurutan dan maknanya secara singkat. Parahot Habian yaitu mengacu kepada sifat Tuhan yang Mahabesar,  Mahatinggi, dan Mahakuasa. Parahot Gunung mengacu kepada kebesaran Tuhan sebagai pencipta. Ibarat kita berdiri di atas gunung dan melihat semua keindahan ke mana kita memandang. Parahot Sidua Jangat mengungkapkan pujian akan kebijaksanaan Sang pencipta yang Mahatinggi. Parahot Ujian Pandei mengungkapkan ke Mahakuasaan Tuhan yang mengetahui, mendengar dan melihat segala sesuatu. Parahot matua. Parahot Narandungan Boru. Parahot Nanrandungan Habian. Parahot Hundu-hunduma Tuhan. Parahot Hundu-hundulma Puang. Parahot Rambing-ranbing Habian. Parahot Rambing-rambing Tanoh Jawa. Parahot Rambing-rambing Raya Tongah. Parahot Dangul-Dangul. Parahot Tus-tus Balai Gonjang. Parahot Potik Layam. Dan Parahot Basaian.

Ø  Gual Adat
               Setelah rangkaian gual parahot[18] berakhir, acara dilanjutkan dengan gual adat. Pada kesempatan ini penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon) dan segenap undangan diperkenankan untuk menari sesuai dengan gilirannya masing-masing. Urutan didasarkan atas kedekatan seseorang dengan pihak Hasuhutan Bolon. Pada kesempatan ini, hubungan kekerabatan Tolu Sahundulan dan Lima Saodoran jelas ditampakkan, di mana kelima kelompok adat tersebut akan menari bersama-sama (tortor riap).[19]

Ø  Gual Rahatan
      Setelah rangkaian gual adat selesai, maka selanjutnya akan ditampilkan gual rahatan atau sering disebut dengan gual hiburan. Pada kesempatan ini, semua undangan bebas meminta gual untuk dibawakan sesuai dengan pilihan undangan yang hadir itu. Selain itu, kesempatan ini menjadi kesempatan bagi kaum muda dan anak-anak melatih diri untuk belajar manortor dengan bimbingan orang tua.[20]

c.       Musik Gonrang sebagai Tortor Kekerabatan
            Tortor merupakan tarian tradisional daerah Simalungun. Setiap gerakan tortor merupakan kesesuaian antara gerak, pola, dan ketentuan dengan musik khas dalam tortor Simalungun. Pada dasarnya, pengertian manortor bukan hanya sekedar menarik dan melenggak-lenggok, tapi lebih dari itu. Bahwa setiap gerakan yang diciptakan di dalam sebuah tortor mempunyai makna simbolik yang mendalam. Lagi, tortor tidak bisa dipisahkan dengan gonrang. Artinya, tortor akan dibawakan apabila gonrang dibunyikan, demikian sebaliknya.
            Pada suatu acara pesta, semua undangan yang hadir turut serta manortor sebagai ungkapan kegembiraan dan keterlibatan di dalam pesta itu. Demi kelancaran dan untuk memastikan bahwa semua yang hadir terlibat dalam acara tarian, maka dibuatlah suatu pedoman atau ketentuan mengenai urutan menari. Urutan ditentukan atas dasar kedekatan seseorang dengan pihak penyelenggara pesta (Hasuhutan Bolon). Intinya, pada saat manortor (menari) dalam harmoni kekerabatan masyarakat Simalungun.

E.     Makna Gonrang bagi Masyarakat Simalungun

Membudayanya masyarakat Simalungun terlukis secara khas dan musik tradisional gonrang. Dengan bentuk dan karakternya yang unik, gonrang menjadi salah satu wahana untuk mengekspresikan eksistensi jati dirinya secara utuh dan mendalam. Kedalaman seorang Simalungun baik menyangkut isi pikiran, hati, imajinasi serta luapan emosionalnya dimediasi/diperantarai  dalam dan melalui gonrang. Gonrang  menjadi pemuat nilai-nilai budaya Simalungun secara simbolik. Penyampaian kembali nilai-nilai budaya itu terjadi secara simbolik pula. Adapun nilai simbolik-kultural musik gonrang, yakni: nilai religius, nilai sosial dan nilai estetis.

a)    Nilai Religius

Religi dalam konteks budaya Simalungun bukanlah agama dalam arti sebenarnya (formal-institusional). Religi orang Simalungun sebagai landasan nilai dan budaya, selalu terarah dan terasosiasi pada religi tradisional dan orisinal. Sebutan Makhluk Ilahi dalam konteks religius masyarakat Simalungun ialah Naibata.

Pengakuan terhadap Naibata sebagai penguasa segala sesuatu menjadi landasan yang cukup mendasar yang meresapi seluruh  perikehidupan masyarakat Simalungun. Nilai-nilai religius-kultural ini termuat secara simbolik dalam penyajian gonrang (margonrang), khususnya dalam rangkaian gual parahot. Dalam rangkaian gual parahot tampak dengan jelas bagaimana orang Simalungun menunjukkan sikap hormat dan sembah sujud di hadapan Yang Ilahi. Orang Simalungun meyakini bahwa kesejahteraan hanya dicapai bila memperoleh berkat dari Naibata. Alasan mengapa gual parahot tidak boleh ditarikan dimaksudkan agar setiap orang dapat memusatkan perhatian pada makna gual tersebut.

Selain itu, bagi orang Simalungun memainkan alat musik tabuh secara tradisional merupakan salah satu cara untuk memanggil arwah para leluhur. Tujuannya adalah agar para kerabat yang masih hidup di dunia ini dapat “berdialog” dengan arwah atau roh leluhur dari yang bersangkutan. Dialog dengan roh leluhur terjadi dengan perantaraan seorang datu yang bertindak sebagai perantara roh leluhur.

Orang Simalungun juga percaya akan tonduy dan begu-begu. Di kalangan orang Simalungun tradisional terdapat berbagai upacara ritual untuk memanggil tonduy. Jika menurut penglihatan seorang datu seseorang mengalami sakit akibat tonduy-nya meninggalkan tubuhnya, maka segera diadakan upacara mardilo tonduy (memanggil tonduy) atau biasa disebut maranggir. Upacara ritual ini bertujuan untuk mengajak atau memanggil tonduy-nya agar memasuki tubuhnya, sehingga dapat pulih kembali. Dalam upacara ritual ini, penyertaan musik gonrang sangat diperlukan. Dari sini tampak bahwa musik gonrang memiliki nilai religius bagi masyarakat Simalungun. Religi orang Simalungun diungkapkan dalam musik gonrang yakni dalam berbagai upacara ritual keagamaan masyarakat Simalungun tradisional.

b)   Nilai Sosial

Dapat dikatakan bahwa penyajian gonrang turut mengintensifkan tatanan sosial masyarakat Simalungun dengan meneguhkan ikatan kekerabatan, sebagai alat komunikasi dan sebagai sarana hiburan. Kekuatan kekerabatan dihadirkan melalui penegakan adat dalam kehidupan sehari-hari melalui acara-acara seperti tari-tarian adat, yang ditampilkan hampir pada setiap acara pesta. Pada acara adat, gonrang hadir sebagai perantara (mediasi) yang membantu mempererat hubungan kekerabatan.

Gonrang bersama dengan tarian adat (tortor) mengintensifkan kelekatan hubungan kekerabatan Tolu Sahundulan Lima Saodoran.  Relasi dengan sesama semakin terjalin erat karena pada saat manortor setiap orang mempunyai kesempatan untuk bertemu dengan anggota kelompok kekerabatan Tolu Sahundulam Lima Saodoran secara hangat dan penuh persaudaraan. Gual yang dipilih pada saat manortor adalah gual yang mengingatkan pihak tondong, boru dan sanina akan tata krama keharmonisan sikap dan perilaku di antara mereka.

Nilai sosial lain yang dikandung oleh musik gonrang yaitu penyajian gonrang juga menjadi sarana komunikasi. Dalam dan melalui gonrang, orang Simalungun menyadari sepenuhnya tentang suasana hati yang sedang dikomunikasikan, baik melalui lirik maupun nada musik pengiringnya. Gual yang bertempo cepat menunjukkan suasana gembira dan bahagia. Gual yang bertempo lambat menunjukkan nuansa kesedihan, kecemasan dan kesepian, yang ditampakkan dalam inggou Simalungun. Bagi orang Simalungun membawakan inggou merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk menyampaikan dan mengkomunikasikan kedalaman isi hati, yang menunjukkan karakter khas orang Simalungun.

Selain itu, menampilkan gonrang adalah kesempatan yang mendatangkan suasana hiburan bagi orang Simalungun. Salah satu realitas kehidupan masyarakat agraris adalah rutinitas kerja yang berkesinambungan dan kurang kegiatan alternatif untuk dijadikan sarana hiburan. Pada masyarakat Simalungun tradisional, baik kaum tua maupun kaum muda, harus mengadakan acara “selingan” agar terbebas dari rutinitas kerja yang membosankan serta menghasilkan suatu suasana yang baru .

Pesta merupakan salah satu bentuk acara selingan, khususnya pesta yang menyertakan musik gonrang. Pada masyarakat Simalungun tradisional

c)    Nilai Estetis

Orang Simalungun menghayati nilai-nilai estetis dalam musik gonrang yang mengungkapkan suasana hati dan pengakuan akan keindahan. Pargonrang menciptakan musik sedemikian rupa demi pemenuhan dan pemaknaan suatu gual dengan merumuskan simbol-simbol pada musik. Para pemain musik gonrang bertugas memfasilitasi pengungkapan suasana hati pada masing-masing situasi upacara dengan cara “menghidupkan” gual yang dibawakan. Misalnya dalam tortor sombah yang dibawakan oleh boru yang ditujukan pada tondong-nya. Sikap sombah diwujudkan dengan mengatupkan kedua telapak tangan dengan ujung jari menghadap ke atas dan disentuhkan pada dahi. Dengan sikap merendah seperti ini, pihak boru menghampiri pihak tondong sebagai wali dari Tuhan Yang Mahatinggi. Sambil menarikan tortor sombah, pihak boru memohonkan surung dayung (kasih sayang yang manja) dari tondong-nya. Sebaliknya, bila pihak tondong hendak melimpahkan berkat kepada boru-nya, gual yang dipilih adalah gual parahot rambing-rambing, karena gual ini berkaitan dengan aspek Tuhan aspek Tuhan Yang Mahatinggi sebagai sumber belas kasih dan berkat. Sebagai wujud pelimpahan berkat, pada saat menari pihak tondong berulang kali merangkul, mengusap wajah serta menumpangkan tangan di atas kepala boru-nya. Selain mengungkapkan  kedalaman suasana hati, alunan musik gonrang  juga dapat menghantar kita kepada pengalaman estetis yakni pengalaman akan keindahan.

Sebagai karya seni musikal, penyajian musik gonrang memuat nilai-nilai keindahan di dalamnya. Musik gonrang dengan berbagai jenis gual-nya mampu menghantar para pendengar kepada pengalaman estetis sesuai dengan karakteristik masing-masing gual. Arlin Dietrich dalam bukunya mengatakan bahwa:
Gonrang music is fundamentally a succession of variations created bu ornamentation and elaboration on an essential melody. The emotion-producing qualities of musical sound also cannot be proved unquestionably, although the phenomenon of musicians being “carried away by the music” seems to be valid.

F.     Penutup

Gonrang adalah salah satu karya seni musikal orang Batak Simalungun. Perannya amat dekat dengan orang Batak Simalungun, khususnya sebagai pengiring dalam upacara-upacara adat dan keagamaan (dalam masyarakat tradisional). Ansambel musik gonrang bukan hanya sebagai suatu apresiasi seni semata, melainkan juga sebagai wahana untuk mengungkap eksistensi dan jati dirinya dalam hubungannya dengan Yang Ilahi, para leluhur dan sesamanya. Selain itu, gonrang sebagai suatu karya seni tradisional tetap mempunyai hubungan yang sangat erat dengan struktur adat dan budaya Simalungun yang mendasarinya, yaitu Tolu Sahundulan Lima Saodoran. Kesalingtergantungan antara musik gonrang dengan konteks budaya Simalungun merupakan suatu hasil dari peradaban yang diciptakan oleh orang Simalungun.

Musik gonrang mengandung nilai-nilai yang cukup berarti bagi masyarakat Simalungun yakni nilai religius, nilai sosial dan nilai estetis. Nilai religius terwujud dalam terlibatnya musik gonrang dalam upacara-upacara keagamaan (ritual-ritual) dalam masyarakat Simalungun. Nilai sosial tampak dari pentingnya musik gonrang dalam acara-acara adat Simalungun yang cukup memberikan kontribusi yang besar pada kebudayaan Simalungun. Dan nilai estetis terungkap dalam penghayatan orang Simalungun akan musik gonrang sebagai karya seni musikal yang memuat suatu pengalaman estetis. Nilai-nilai ini saling terkait satu sama lain dan membentuk suatu keharmonisan dalam budaya Simalungun. Musik gonrang adalah karya seni yang berharga dari masyarakat Simalungun.





                [1] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah Simalungun, Pematangsiantar (Tanpa penerbit), 1982, hlm. 13.
[2] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...hlm. 12.
[3] Kerajaan Nagur adalah kerajaan pertama di Simalungun yang kuat dan bersatu sebelum pecah menjadi 4 kerajaan. Kerajaan Nagur tercerai berai akibat tidak bisa mengatur pemerintahan dan akibat timbulnya wabah sampar yang menelan korban jiwa dalam jumlah yang banyak.
[4] Sortaman Saragih, Orang Simalungun (Depok: Citama Vigora, 2008), hlm. 23.
[5] Sortaman Saragih, Orang Simalungun..., hlm. 23.
[6] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...,hlm. 14.
[7] T.B.A. Purba Tambak, Sejarah ...,hlm. 14.
[8] Sortaman Saragih, Orang Simalungun..., hlm. 80.
                [9] Rado Harapan Saragih, Nilai-nilai Simbolik-Kultural Gonrang pada Masyarakat Simalungun: Suatu Uraian Filosofis-Kultural (Pematangsiantar: Fakultas Filsafat Universitas Katolik St. Thomas Sumatra Utara,2007) Skripsi.
                [10] Gonrang Simalungun, http://Purbasigumonrang.blogspot.com/2009/05gondang-simalungun.htm (tanggal 16 Mei 2010).
                [11] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun: Struktur dan Fungsinya dalam Masyarakat Simalungun (Medan: Bina Media, 2003) hlm. 42-45.
                [12] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun...,hlm.197-198.
                [13] Asal Mula Gong, http:www.gong.tikar.or.id/ ?mn (tangggal 16 Mei 2010).
                [14] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun...,hlm.47-48.
                [15] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 50.
                [16] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 52-53.
                [17] Arlin Dietrich Jansen, Gonrang Simalungun..., hlm. 53-57.
                [18] Rangkaian gual parahot ditutup dengan gual subsub atau olop-olop [ lih. A.D. Jansen, Gonrang…, hlm. 98].
                [19] A.D. Jansen. Gonrang…, hlm. 99.
                [20] A.D. Jansen, Gonrang…, hlm. 163.

Sejarah Gereja: Dampak Perang Padri di Tanah Batak

DAMPAK PERANG PADRI DI TANAH BATAK  (Suatu Refleksi Historis atas Perjumpaan Kristen dan Islam di Tanah Batak) Poliaman Purba S.Fil....